Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti sosial vokasi Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengatakan membangun budaya literasi hendaknya dimulai dari generasi termuda saat ini melalui pendidikan sejak dini seperti di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak (TK). "Karena kalau mengandalkan generasi sekarang sulit, pengaruh budaya visual yang sangat kuat saat ini apalagi mereka tidak melalui masa-masa budaya membaca," kata Devie saat dihubungi, Minggu 8 September 2019 malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan secara historis masyarakat Indonesia adalah masyarakat pendongeng. Artinya masyarakat dengan oral culture yang sangat kuat, budaya bicara yang sangat kuat. Lalu masyarakat Indonesia mengalami lompatan tiba-tiba sekarang masuk ke peradaban digital.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari peradaban dogeng ke peradaban digital membuat masyarakat Indonesia belum pernah melewati masa peradaban membaca atau berfikir kritis yang sudah dialami oleh masyarakat Eropa. "Nah kalau kemudian sekarang ada upaya merangsang literasi masyarakat untuk membaca dengan adanya pojok membaca dan sebagainya, tantangannya akan sangat kuat," katanya.
Ia menjelaskan, kehadiran pojok membaca ini belum bisa dirasakan manfaatnya sekarang, karena perlu dibangun dulu dengan generasi yang lebih muda untuk terbiasa membaca. "Kalau generasi yang mau didorong munculkan budaya literasi tapi tidak melewati masa-masa peradaban membaca itu akan sulit," katanya.
Alasannya, kata Devi, ketiga generasi sekarang yang kebanyakan para pekerja melihat ponsel karena kebutuhan akan hiburan. "Hiburan yang murah di tengah tuntutan yang sangat berat, kita tidak jadikan membaca itu sebagai bagian dari liburan," katanya.
Ia mencontohkan, masyarakat di negara Barat menjadikan membaca sebagai liburan paling murah untuk melepaskan kepenatannya. Bacaan yang dibaca seperti novel dan sebagainya tergantung kegemaran masing-masing. "Di negara kita sulit, apalagi budaya visual begitu kuat. Kita ini populasi negara terbesar penonton youtube di dunia loh," katanya.
Devie mengartikan, daya pikat komunikasi visual akan sangat sulit ditandingi. Karena itu budaya literasi harus dimulai dengan generasi sangat muda. Sebagai contoh Finlandia yang berhasil membangun vaksin antik hoaks. Imunisasi dilakukan mulai dari PAUD dan pejuang utamanya adalah guru TK. "Jadi tradisi kesadaran untuk membaca tidak hadir tiba-tiba. Yang namanya budaya itu adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan terus menerus," katanya.
"Jadi kalau bicara kebiasaan harus dilakukan eksperiensnya, gimana mau suka baca kalau pengalaman membacanya saja tidak pernah," kata Devie.
Devie juga mengingatkan membangun budaya membaca juga perlu dukungan pemerintah seperti di Inggris. Buku di Inggris dijual dengan harga murah dirancang dengan kualitas bagus dan tampilan menarik bagi masyarakat untuk membaca. "Bukan salah pebisnis (percetakannya) tapi pemerintah harus memberikan subsidi dan anak-anak dari mulai PAUD sampai SD tidak boleh dikenalkan dengan gadget," kata Devie.
Sebelumnya, bertepatan dengan Hari Literasi Internasional Pemerintah DKI Jakarta meluncurkan ruang membaca buku serta turut langsung dalam kampanye #RuangBacaJakarta di stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Minggu 8 September 2019 pagi.
Gubernur Anies Baswedan menjelaskan tujuan gerakan #RuangBacaJakarta adalah meningkatkan literasi masyarakat. Fasilitas ruang membaca buku yang telah dihadirkan di tengah padatnya aktivitas masyarakat Ibu Kota diharapkan mampu mendorong masyarakat untuk gemar membaca.