Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Penutup Aurat yang Naik Kelas

Muslimah berjilbab bukan lagi pemandangan langka. Perancang top pun mulai meliriknya.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEWI Hughes tampak percaya diri memandu acara Celoteh Anak di sebuah stasiun televisi swasta. Mengenakan baju longgar berwarna merah dipadu sorban merah pula, Hughes tetap lincah. Tidak ada kesan dia terkungkung meski mengenakan busana identitas muslim itu. Hughes tampil modis dengan balutan busana yang menurut dia sesuai dengan standar agama Islam. "Menutupi aurat, tidak transparan, dan tidak menjiplak bentuk tubuh," ujarnya. Awalnya, Hughes mengaku mengalami kontradiksi dalam dirinya. Dia merasa kurang yakin bisa sukses menjadi pemandu acara jika mengenakan busana yang dulu dipandang "primitif" dan hanya dikenal di lingkungan perempuan pesantren pedesaan itu. Namun kekhawatirannya tidak terbukti. Zaman memang telah banyak berubah. Pada 1980-an, sulit membayangkan seorang pemandu acara televisi mengenakan jilbab. Meski Indonesia merupakan salah satu negeri muslim terbesar di dunia, jilbab kala itu dipandang sebagai busana terlarang di sekolah, kampus, dan tempat kerja. Banyak siswi dikeluarkan dari sekolah dan karyawati dipecat dari pekerjaan karena mengenakan pakaian yang antara lain diilhami oleh maraknya Revolusi Iran itu. Namun, seiring dengan kelonggaran yang diberikan pemerintah, kini penggunaan jilbab terus meluas di kalangan perempuan Indonesia di berbagai profesi: eksekutif perusahaan, pekerja pabrik, peneliti laboratorium, dan bahkan artis. Hughes mengaku mengenakannya atas dasar keyakinan untuk memenuhi kewajiban agamanya. Meski demikian, dia mensyaratkan satu hal: jilbab yang dipakainya tetap fashionable. Dia khusus memesan busananya dari perancang Anne Rufaidah. "Rancangannya sesuai dengan jiwa saya," ujar Hughes. Bersama luasnya pemakaian, busana muslimah memang tidak lagi seperti dulu—sangat sederhana dan tidak modis. Penyanyi dan pemain film Ida Royani mengaku sempat dicemooh ketika pertama kali mengenakan busana itu pada 1978. "Kayak ninja aja lu," kata Ida menirukan cemoohan itu. Cemoohan itulah yang belakangan mendorong Ida merancang busana muslimah yang fashionable. Meski dikritik tidak cukup Islami karena melibatkan terlalu banyak warna dan masih menonjolkan kontur tubuh perempuan, rancangan busana muslimah kontemporer justru dipandang sangat berjasa mempopulerkan jilbab. Baju rancangan Ida mulai banyak dikenakan tokoh publik yang dulu enggan memakainya. Istri Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, kata Ida, adalah salah satu pelanggannya. Setelah Ida, belakangan muncul perancang-perancang baru. Salah satunya adalah Anne Rufaidah tadi—Putri Remaja pilihan majalah Gadis yang belakangan menanggalkan blus dan memilih jilbab. Rancangan Anne banyak digemari birokrat dan selebriti. Kalangan artis yang sering muncul di televisi juga berjasa mempopulerkan busana itu. Salah satunya Astri Ivo, yang mulai mengenakannya tiga tahun lalu setelah merasa memahami perintah Al-Quran untuk menutup aurat bagi muslimah. Sekitar tiga tahun lalu pula istri Gubernur Jawa Barat, Rosmiyati Nuriana, memutuskan mengenakan baju muslimah secara permanen. Sebelumnya, dia sudah sering mengenakannya, tapi lebih untuk memenuhi kepentingan sosial dan tuntutan sebagai istri pejabat. "Lama-lama, karena tuntutan nurani, busana muslim menjadi sebuah kebutuhan," ujarnya. Yang menarik, fungsi busana muslimah kini menjadi berkembang jauh. Bukan hanya untuk menutupi aurat karena perintah agama, tapi juga untuk memenuhi fungsi sosial. Bahkan busana ini kemudian berkembang menjadi salah satu alternatif busana untuk menghadiri sebuah acara dan menjadi sebuah tren. Kita bisa melihat, setiap bulan Ramadan pada tahun-tahun belakangan ini, banyak perempuan yang tiba-tiba mengenakan busana muslimah. Artis Peggy Melati Sukma, misalnya. Peggy mengaku tidak mengenakan busana itu dalam keseharian. "Baju muslim yang tertutup rapat hanya sekitar 20 persen dari semua baju saya," katanya. Peggy, yang memiliki lemari baju besar dengan enam pintu, menghitung sekitar dua pintu lemarinya dipenuhi busana muslim. Dia mengenakan busana muslimah hanya untuk acara tertentu. "Ketika memenuhi undangan perkawinan teman, selamatan, atau sunatan," ujarnya. Memang tidak jarang apa yang dilakukan Peggy mendapat kecaman karena ia dianggap tidak konsisten mengenakannya dan justru dipandang merendahkan busana muslim—sehari memakai pakaian seksi, hari berikutnya mengenakan pakaian tertutup. Tapi, bagi Peggy, itu sebuah proses. Dua tahun belakangan ini, dia merasa sudah bergeser ke busana yang lebih sopan. "Tidak pamer pusar ke mana-mana," katanya. Hughes, yang mengenakan busana muslim sehari-hari tidak hanya di televisi, melihat bahwa apa pun alasan orang memakai busana muslim sebaiknya dilihat dengan pandangan positif. "Kalaupun itu menjadi tren, itu tren yang positif," ujarnya, "Tanpa mereka sadari, dan bukan karena dipaksa, banyak orang mengenakan busana muslimah." Busana perempuan yang lebih tertutup dan sopan itu bahkan kini menjadi tren tak hanya di kalangan muslimah. Ramli, salah satu perancang terkemuka Indonesia, mengaku memperoleh pesanan dari pelanggan nonmuslim untuk membuat baju mirip busana muslimah. Rumah-rumah mode pun kini mulai meliriknya. Gerai dan butik busana muslim dibuka di mana-mana. Untuk mendapat busana muslim yang berkualitas bagus, orang tinggal mendatangi gerai Ranti, Shafira, Tazkiyah, dan masih banyak lagi yang ada di pusat perbelanjaan elite seperti Plaza Indonesia, Plaza Senayan, dan Pasaraya. "Setelah banyak tokoh publik mengenakan busana muslimah, banyak orang kemudian mengikutinya," ujar Ramli, "Orang Indonesia ini memang kebanyakan ikut-ikutan." Kian luasnya pasar juga membuat perancang besar seperti Ramli dan Adjie Notonegoro ikut larut. Meski bukan yang utama, sejak 17 tahun lalu, Ramli mengaku selalu menyisipkan desain busana muslimnya dalam setiap peragaan busananya. Di ruang kerja Ramli di lantai dua rumah sekaligus butiknya, di Jalan Semarang, Jakarta, berbagai jenis busana muslimah memang tertata. Ada yang bordiran, yang menjadi ciri khas karya Ramli, ada juga yang dihias dengan payet. Naiknya pamor busana muslim ini tentu juga berkorelasi positif dengan tingginya harga. Busana yang dulunya dianggap kampungan ini bisa berharga puluhan juta rupiah. Namun tidak perlu pusing-pusing. Pemakai busana muslim bisa memilih sendiri gerai sesuai dengan kemampuan koceknya. Hughes lebih suka ke Anne Rufaidah, sementara Peggy memilih butik Shafira atau Tazkiyah. Sementara itu, para perancang juga telah membuat segmentasi pelanggan sendiri. Anne Rufaidah mengaku lebih mengarah ke pangsa pasar kelas menengah. Desain-desainnya dijual dengan harga Rp 300 ribu hingga Rp 2 juta. Sedangkan kreasi Ida Royani lebih mahal, Rp 750 ribu hingga Rp 4,5 juta. Namun mereka berusaha keras membuat kreasi yang bagus. "Kadang bahkan saya sempatkan belanja kancing baju hingga ke Paris," ujar Ida. Ramli dan Adjie jauh di atas mereka. Butik Adjie di Jalan Barito, misalnya, menggelar satu setel busana muslim seharga Rp 15 juta, terdiri atas kain songket, kebaya, dan selendang yang menjadi kerudungnya. Sedangkan Ramli tidak bersedia menyebutkan harga rancangannya. "Ini desain yang artistik, jadi tidak bisa dinilai dengan uang," ujarnya. Orang hanya bisa membayangkannya: pelanggan Ramli antara lain pengusaha Paula Ongky Alexander dan Keluarga Cendana. Berbeda dengan Peggy dan Hughes atau pencinta adibusana kondang, Astri Ivo memilih menjahitkan bajunya ke kakaknya. Koleksi bajunya tidak sebanyak Peggy atau Hughes, yang memiliki busana dalam empat lemari lebih. "Prinsipnya, kalau ada dua baju baru, dua baju lama harus keluar," ujar Astri, yang selalu menyumbangkan bajunya yang lama. Bagaimanapun, para perempuan muslimah ini punya prinsip sama dalam memilih desain bajunya: menjalankan perintah agama tanpa merasa ketinggalan mode. Purwani D. Prabandari, Endah W.S. (Jakarta), Upiek Supriyatun (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus