Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Seorang Remaja, Tiga Kematian

Film horor dalam negeri tengah naik daun menyusul kesuksesan Jelangkung. Sayang, masih kental pengaruh Sixth Sense.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Titik Hitam (2002) Produksi : I Sinema dan Prima Entertainment Sutradara : Sentot Sahid Pemain : Winky Wiryawan, Aurora Yahya Penulis Skenario : Jujur Prananto

ADA yang tak lazim pada dua bocah Heru dan Retno. Sementara teman sebaya mereka umumnya bermain petak umpet atau sepak bola, dua sepupu itu malah tenggelam dalam keasyikan bergaul dengan makhluk halus. Bedanya, Retno cuma bisa merasakan, sedangkan Heru bisa melihat sosok dari dunia lain itu. Begitu terus hingga keduanya beranjak remaja.

Sayangnya, tak semua "teman" itu mau bersahabat. Selain kerap mengganggu dalam bentuk menyeramkan, para lelembut itu sesekali menyerang. Meski Heru terkadang tersiksa dengan insting keenamnya itu, keduanya sama-sama penasaran akan kehidupan sesudah kematian. Dan mereka pun membikin janji. Siapa yang meninggal lebih dulu harus menyambangi yang hidup untuk bercerita tentang alam arwah.

Siapa sangka, kedekatan keduanya tak sebatas hubungan spiritual. Retno diam-diam memendam rasa kepada sepupunya itu. Sayang, cintanya bertepuk sebelah tangan. Kematian demi kematian dalam keluarga Heru, serta posisi Heru yang akhirnya menikah dengan wanita lain, menyulitkan realisasi janji mereka. Kebetulan, Retnolah yang lebih dulu berpulang ke rahmatullah.

Itulah petikan adegan Titik Hitam karya Sentot Sahid. Kesuksesan Jelangkung rupa-rupanya mengilhami lahirnya film horor dalam negeri. Sentot juga menempatkan Winky Wiryawan sebagai pemeran utama. Winky sebelumnya sukses memerankan seorang pemburu hantu dalam Jelangkung.

Sementara pendahulunya itu melulu menampilkan adegan horor sepanjang film, Titik Hitam tidak begitu. Ditelisik dari jalan ceritanya, Titik Hitam sesungguhnya menawarkan sesuatu yang berbeda dengan membubuhkan kisah cinta dan drama keluarga. Sayangnya, bumbu itu kelewat banyak dan malah di beberapa bagian mengaburkan alur cerita.

Sang sutradara terlalu berpanjang-panjang menceritakan perjalanan Heru dan Retno sejak kecil, kisah kasih mereka, serta problem keluarga. Hampir satu jam dihabiskan untuk menghadirkan persoalan yang sebetulnya bisa dirangkum menjadi 15 menit saja. Padahal intro film—berupa penuturan Winky tentang kemampuan matanya meneropong alam gaib—cukup sukses menebar ketegangan bagi penggemar film horor. Sayang, tensi itu tak terpelihara dengan baik pada separuh pertama film sehingga penonton sempat "lupa" bahwa ini film horor.

Selain itu, sulit rasanya membayangkan film ini tak terpengaruh film Sixth Sense. Penggambaran Heru kecil yang ketakutan dengan indra keenamnya yang bisa melihat orang-orang mati hampir serupa dengan pengalaman Haley Joel Osment dalam film karya sutradara M. Night Shyamalan itu—lengkap dengan orang tua yang tak percaya dengan pengalaman anaknya dan malah memarahi si bocah. Juga nasihat Retno kepada Heru, "Siapa tahu, mereka (para arwah—Red.) datang justru ingin meminta tolong kepadamu." Itu serupa dengan percakapan Bruce Willis dengan Osment.

Memang sesungguhnya Sentot justru ingin menawarkan sesuatu yang baru: film horor tak mesti membombardir penonton dengan adegan seram sepanjang cerita. Konsep ini mungkin bisa sukses jika ditunjang dengan dialog dan adegan yang matang dari para pemainnya. Agak disayangkan bahwa Winky dan teman-temannya berakting bagai dalam sinetron, bukan di layar lebar. Banyak dialog yang kurang alami dan ekspresi tokoh yang kurang kuat dalam film ini. Padahal, dari awal, film ini sudah menjanjikan. Apalagi dengan dukungan Jujur Prananto, yang sukses menggarap naskah Ada Apa dengan Cinta? karya sutradara Riri Riza.

Kendati demikian, Sentot Sahid, sutradara Titik Hitam, telah memperkaya belantara film Indonesia dengan karyanya. Dosen Institut Kesenian Jakarta ini terbukti menang beberapa kali dalam Festival Film Indonesia untuk kategori film dokumenter. Ia juga tepercaya menangani editing film-film layar lebar yang menang di festival internasional, dari Langitku Rumahku karya Slamet Rahardjo, Daun di Atas Bantal milik Garin Nugroho, hingga Petualangan Sherina garapan sutradara Riri Riza.

Film horor dari masa ke masa selalu mendapat tempat di hati penggemarnya, mulai film Sundel Bolong di era 1980-an hingga tayangan hantu-hantuan yang menggerayangi penonton di semua stasiun televisi swasta pada tahun 2000-an ini. Meski tak menjelaskan kualitas, kini pertanyaannya masih sama: setelah Jelangkung laris, akankah Titik Hitam menuai kesuksesan yang sama?

Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus