Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengesahkan Sebuah Ironi

Dengan pimpinan yang dipilih parlemen, bisakah Komisi Pemberantasan Korupsi menjaga independensinya?

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DWI Ria Latifa bangkit dari duduknya. Anggota parlemen dari PDI Perjuangan ini mengajukan interupsi. Pengeras suara di mejanya yang tiba-tiba saja mati tak menghalanginya. Beralih ke meja lain, ia angkat suara. Nadanya lantang menuju Akbar Tandjung yang baru lima menit berpidato, menutup masa persidangan kedua tahun ini. "Ini ironis," kata Ria Latifa. "Baru saja kita mengesahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi kita sekarang masih dipimpin Ketua Dewan yang telah divonis tiga tahun penjara karena kasus korupsi." Dan sejurus kemudian, ia pun hengkang meninggalkan ruang sidang, diikuti sejumlah anggota Fraksi PDIP lain, seperti Permadi, Firman Djaya Daeli, dan Trimedya Pandjaitan, plus Ida Fauziah dari Partai Kebangkitan Bangsa. Protes Ria tak berlebihan. Baru beberapa saat sebelumnya, Jumat dua pekan lalu itu, sebuah beleid penting diketuk Dewan. Itulah Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang akan melandasi lahirnya sebuah lembaga khusus yang dicita-citakan akan memerangi wabah korupsi yang telah luar biasa menggerogoti negeri ini. Diamanatkan pembentukannya oleh Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengesahan beleid baru ini terbilang amat terlambat. Mestinya, paling telat Agustus tahun lalu badan strategis ini telah terbentuk. Setelah digodok selama 18 bulan, akhirnya Dewan menyepakati pemberian wewenang yang mahaluas. Komisi dinyatakan berhak melakukan penyelidikan, penyidikan, sekaligus penuntutan atas kasus-kasus korupsi senilai di atas Rp 1 miliar yang melibatkan aparat hukum atau pejabat negara dan luas disorot publik. Di pengadilan, perkaranya pun akan ditangani sebuah majelis khusus, terdiri dari tiga hakim pengadilan negeri dan dua hakim ad hoc. "Ini untuk mencegah kasus-kasus korupsi kakap tidak malah kandas di kejaksaan atau pengadilan seperti sebelumnya," kata Ria Latifa. Kewenangan ini bahkan lebih luas dari yang dipunyai ICAC, komisi antikorupsi Hong Kong yang legendaris itu. ICAC hanya boleh melakukan penyidikan, sedangkan penuntutan ditangani kejaksaan. Tapi, perlu diingat, saat ICAC didirikan pada 1974, yang jadi masalah hanyalah korupsi di tubuh polisi. Kejaksaan dan pengadilan Hongkong relatif bersih. Tak cuma bisa menuntut, komisi versi Indonesia ini bahkan bisa melakukan penyadapan, menerobos kerahasiaan bank, memblokir rekening, sampai memerintahkan atasan tersangka untuk memberhentikan sementara pejabat yang sedang diperiksa. Lebih dahsyat lagi, jika dinilai berlarut-larut dan sarat kejanggalan, komisi ini juga berhak mengambil alih penyidikan dari kejaksaan atau kepolisian. Dan permintaan ini tak boleh ditawar. Paling lama 14 hari setelah Komisi mengajukan permintaan, polisi dan jaksa harus telah melimpahkan perkara. "Jika Komisi meminta, kejaksaan tak bisa menolaknya," kata Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra. Tak urung, kata seorang anggota parlemen, ketentuan ini membuat sewot para petinggi kejaksaan. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Barman Zahir, mengaku telah menyampaikan sejumlah keberatan tentang kewenangan Komisi. "Harus ada undang-undang khusus yang mengatur tugas kejaksaan dan Komisi agar tidak tumpang tindih," katanya. Tapi Pelaksana Harian Wakil Jaksa Agung, Bachtiar Fachri Nasution, bersikap lebih diplomatis. Ia menyatakan tak khawatir kewenangan institusinya bakal digerogoti. "Ini kan masih konsep awal, belum tahu akhirnya bagaimana," ujarnya. Memang, segala kewenangan itu pada akhirnya akan sangat bergantung pada kualitas dan integritas personel Komisi kelak. Telah ditetapkan, Komisi akan dipimpin seorang ketua plus empat anggota yang membawahkan empat bidang: pencegahan, penindakan, informasi dan data, serta pengawasan internal. Di sini ada satu soal yang disorot Pengacara Bambang Widjojanto. Di satu sisi, menurut Bambang, Komisi dimaksudkan independen, pemimpinnya tak boleh jadi pengurus partai dan harus melepaskan segala jabatan lain, tapi di sisi lain pemimpin Komisi dipilih oleh Dewan berdasarkan calon yang diajukan Presiden. "Ini kontradiktif," kata Bambang. Ia khawatir dengan mekanisme seperti itu Komisi sangat mungkin bisa digunakan sebagai senjata partai untuk menyerang lawan politiknya atau melindungi kawan separtai. Pemberantasan korupsi memang pada akhirnya berpulang pada political will partai-partai. Dalam konteks itu, protes Ria Latifa menjadi penting. Patutkah seorang terpidana kasus korupsi seperti Akbar Tandjung memimpin sidang untuk memilih personel komisi yang mulia itu? Jika itu yang terjadi, Ria Latifa telah memastikan dia akan kembali bangkit dari duduknya, untuk memsprotes ironi itu. Karaniya Dharmasaputra, Tempo News Room

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus