Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas kursi roda, Nabila Putri menggenggam erat tangan ibunya, Nita Novianty. Tubuh bocah lima tahun itu dibalut t-shirt putih dipadu celana panjang biru. Mulut dan hidung anak bungsu dari pernikahan Nita dengan Ricky Rahmadi, pengusaha yang juga pejabat teras di Partai Golkar, itu tertutup masker hijau. Rabu sore pekan lalu, Nabila baru pulang dari menjalani pengobatan di National University Hospital, Singapura. Bungsu dari lima bersaudara ini adalah pengidap sindrom hemolitik uremik (hemolytic uremic syndrome/HUS), penyakit langka yang menggerogoti fungsi ginjal.
Sekilas, tak ada yang berbeda dengan penampilan Nabila dibanding anak kebanyakan. Tak ada selang infus menancap di pergelangan tangan, atau selang dialisis di perutnya. Itu sebabnya, begitu ia turun dari kursi roda—agar Nabila tak kecapekan—dan berdiri sendiri, orang mengira ia sehat-sehat saja. Padahal, menurut orang tuanya, fungsi ginjal gadis imut itu tinggal 30 persen.
"Nabila bisa bertahan hingga sekarang ini mukjizat," kata Ricky, warga Bintaro Jaya Sektor V, Tangerang, Banten ini saat ditemui Tempo di pintu kedatangan 2E, Bandara Soekarno-Hatta. Maklum, saat dirawat di rumah sakit terdekat dengan rumahnya, akhir Februari lalu, salah satu dokter di sana memperkirakan harapan hidup Nabila tinggal dua jam. Ketika itu, selain kadar ureum dan kreatininnya di atas normal—sebagai dampak merosotnya fungsi ginjal—Nabila mengalami sesak napas hebat (uremic lung) sehingga harus dipasangi ventilator. Tak hanya itu, tekanan darahnya juga ekstratinggi, pernah mencapai 177/133 mmHg—normalnya kurang dari 120/80 mmHg. Kondisi Nabila benar-benar kritis. Ia pun langsung dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Beruntung, atas bantuan sejumlah koleganya, Ricky bisa segera melarikan Nabila ke rumah sakit rujukan di daerah Salemba, Jakarta Pusat itu. Dengan bantuan voorrijder polisi, jarak Bintaro-Salemba yang biasa ditempuh sopir ambulans dalam tiga jam—saking macetnya—cuma dijalani 1 jam 20 menit. Tanpa bantuan voorrijder, kata Koordinator Bidang Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar ini, "Anak saya mungkin sudah mati."
Derita Nabila dimulai pada 25 Februari. Saat itu ia muntah hebat. Hal serupa terjadi sehari berikutnya. Walhasil, Nabila menjalani rawat inap di rumah sakit swasta terdekat. Cek darah dilakukan. Hasilnya, kadar hemoglobinnya jauh di bawah normal, yakni 5 gram/desiliter—dari normal 11 gr/dl. Merasa ada yang tidak beres, dokter minta pengecekan ureum dan kreatinin, dan terbukti kadar keduanya di atas normal. Tercatat, ureum 203 mg/dl dan kreatinin 8,2 mg/dl—normalnya ureum 5-20 mg/dl dan kreatinin 0,3-0,6 mg/dl. Diagnosis: Nabila mengalami sindrom hemolitik uremik, yang ditandai dengan gagal ginjal.
"Kalau hasil laboratorium soal tingginya ureum-kreatinin itu tak ada, gangguan pada ginjal Nabila terlambat ditangani," kata Eka Laksmi, ahli nefrologi anak FKUI-RSCM, yang juga berpraktek di rumah sakit ini. Muntah hebat terjadi, menurut dia, karena ureum dan kreatinin Nabila meningkat secara mendadak. Penanda lain gangguan ginjal adalah bau mulut yang tak enak, hal yang diakui Ricky. "Baunya enggak enak banget, padahal gigi Nabila tak bermasalah," katanya.
Hemolitik uremik adalah sindrom yang ditandai dengan gagal ginjal progresif disertai dengan anemia hemolitik mikroangiopati (matinya pembuluh darah kecil) dan trombositopenia (kekurangan trombosit atau sel-sel keping darah). Penyakit ini ada dua bentuk, yakni yang dikaitkan dengan diare (HUS D+) dan yang tak dikaitkan dengan diare (HUS D-). Sindrom D+ sering terjadi akibat infeksi bakteri Escherichia coli yang nebeng di makanan atau minuman. Pada Juni lalu, sindrom ini merebak di sejumlah negara Eropa, termasuk Jerman, dengan korban ratusan orang. Adapun hemolitik uremik D-, yang lazim disebut atipikal karena penyebabnya belum diketahui, kejadiannya lebih jarang. Mutasi genetik diduga berada di balik munculnya sindrom jenis ini.
Menurut Ricky, Nabila diduga masuk kategori hemolitik atipikal karena tak ada riwayat diare sebelumnya. Untuk memastikannya, saat berobat di Singapura, sampel darah Nabila dikirim ke laboratorium di Kanada. "Dua bulan lagi, baru kami tahu hasilnya," kata Direktur Utama PT Cipta Dasa Investama ini.
Di RSCM, Nabila segera masuk ke unit gawat darurat. Ia mendapat perawatan dari tim dokter multidisiplin, yang dipimpin Profesor Taralan Tambunan, dokter spesialis anak FKUI-RSCM. Selain diberi obat-obatan, Nabila menjalani hemodialisis alias cuci darah dengan metode continuous renal replacement therapy (CRRT alias cuci darah dengan mesin, alat yang tidak tersedia di rumah sakit pertama tempat Nabila dirawat) dan continuous ambulatory peritoneal dialysis (cuci darah melalui perut). Penggunaan CRRT, menurut Eka Laksmi, anggota tim Taralan, berhasil membereskan paru Nabila yang sempat dihajar efek toksik tingginya ureum dan kreatinin. "Cuma 1 x 24 jam menjalani CRRT, paru Nabila bersih. Ini mencengangkan," kata Eka, "Itu sebabnya, pada hari ketiga, ventilator sudah bisa dilepas."
Nabila menjalani perawatan di RSCM hingga akhir Maret lalu. Saat itu, atas masukan sejumlah kolega Ricky, juga pertimbangan tim medis RSCM, Ricky membawa Nabila ke Singapura. Meski sudah mendapat beragam penanganan, fungsi ginjal Nabila belum bisa diatasi. Di Negeri Singa, Nabila ditangani tim dokter yang dipimpin Profesor Yap Hui Kim, Kepala Divisi Pediatric Nephrology National University Hospital. Hingga kini korespondensi antara Profesor Yap dan Taralan mengenai penanganan Nabila terus berlangsung.
Dalam korespondensi inilah diungkap tujuh gangguan kesehatan yang dialami Nabila, dan semuanya dinilai berhubungan. Masing-masing adalah kerusakan akut ginjal yang ditandai dengan adanya penyumbatan di pembuluh darah kecil dan gangguan saluran tubulo yang berfungsi memekatkan urine, hipertensi sangat tinggi, pembesaran otot jantung di bilik kiri, gagal ginjal kronik tahap 4, anemia, serta gangguan mineral dan pembentukan tulang. Selain itu, Nabila mengalami Bell’s Palsy, penyakit yang menyerang saraf wajah sehingga bibir kiri Nabila tertarik ke atas, dan mata kirinya tak bisa menutup. Namun, setelah menjalani terapi, gangguan yang muncul pada Agustus 2010 dan berulang pada Januari 2011 ini sudah bisa ditangani. Pada Rabu sore pekan lalu, wajah Nabila sudah normal lagi.
Ada sejumlah tindakan medis dan segerobak obat harus dikonsumsi Nabila untuk seabrek keluhannya itu. Salah satunya, untuk mengatasi penyakit primer Nabila, yakni atipikal sindrom hemolitik uremik, Yap merekomendasikan obat eculizumab. "Sedikitnya selama enam bulan," katanya.
Obat ini bertujuan mendongkrak fungsi ginjal Nabila sehingga derajat gangguannya bisa diturunkan, dari tahap empat menjadi tahap tiga. Bila hal itu bisa dicapai, fungsi ginjal Nabila yang semula diperkirakan hanya bertahan 1-3 tahun (pada tahap empat) bisa diperpanjang jadi 5-10 tahun (pada tahap tiga). Rencananya, obat akan diberikan pada Desember mendatang. Jika obat diberikan tapi fungsi ginjal Nabila tak membaik (berada di tahap 5), dialisis atau transplantasi ginjal terpaksa dilakukan.
Meski mengalami kemajuan, seperti tak perlu lagi dialisis, Ricky belum puas. Ia akan mencari alternatif pengobatan di negara lain yang punya lebih banyak pengalaman menangani sindrom hemolitik uremik. Jerman, yang Juni lalu banyak menangani sindrom lantaran wabah E-coli dari makanan, diliriknya. Pria bertubuh subur itu belum puas karena di Singapura, seperti juga di RSCM, teka-teki untuk menangani penyakit ginjal langka yang dialami bidadari kecilnya belum juga terjawab. "Istilahnya, second opinion, atau third opinion, terserahlah. Yang penting, saya akan melakukan yang terbaik buat Nabila," katanya.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo