Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kor di Perpustakaan Tua

Sebuah ”perpustakaan” dibangun perupa Hardiman Radjab di panggung Salihara. Di situlah Momenta Quartet dari New York dan paduan suara Batavia Madrigal Singers memainkan komposisi Tony Prabowo yang berangkat dari sajak-sajak muram Goenawan Mohamad.

3 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Stephanie Griffin berdiri di atas sebuah buku raksasa. Ia menggesek violanya mengiringi soprano Binu Sukaman melantunkan komposisi Kwatrin Musim Gugur. Di belakangnya rak-rak dengan berjilid-jilid buku kuno yang tebal. Sebuah bola dunia ukuran besar terus berputar. Buku-buku raksasa lain terhampar di depannya.

Panggung Teater Salihara, Jakarta Selatan, Kamis dan Jumat (29 dan 30 September) malam itu disulap menjadi perpustakaan. Kita melihat sebuah pertunjukan yang tak lazim dari sebuah konserto atau orkes kamar. Para musisi duduk di tengah tumpukan buku. Para penyanyi menginjak lembaran halaman di lantai. Sudah sedari ruang kosong kita melihat sebuah interior dengan atmosfer yang surealis. Buku-buku dibesarkan dengan ukuran yang berbeda. Kita melihat sebuah permainan skala.

”Saya ingin sebuah konser di antara rak-rak buku,” kata Goenawan Mohamad. Menurut Tony Prabowo, sudah lama ide ini dipendam. Hardiman Radjab yang ditunjuk sebagai penata artistik memang pilihan yang tepat untuk mewujudkan gagasan ini. Perupa ini terkenal dengan karya instalasi yang bertolak dari koper tua.

Akhir-akhir ini ia juga menangani set sejumlah drama musikal, dari pertunjukan Ali Topan besutan koreografer Ari Tulang dan komposer Dian H.P. sampai Onrop! karya Joko Anwar. Pada pentas Diana karya Garin Nugroho, Hardiman menghadirkan sebuah koper dan radio ukuran raksasa. Dan kini ia menampilkan buku-buku kuno dengan berbagai volume. ”Saya riset gambar-gambar Salvador Dali dan M.C. Escher. Terutama yang menampilkan gambar-gambar ruang yang ada bukunya,” katanya.

Perpustakaan yang disodorkan Hardiman mirip sebuah ruang kelam. Perpustakaan tua yang mungkin lama tidak dikunjungi orang. Yang seperti dalam sebait sajak Kwatrin Musim Gugur begitu sepi sampai kalender musim pun diam. Buku-bukunya yang jarang tersentuh tampak berderet rapi dalam tiga buah rak. Rak itu sendiri bukan rak konvensional yang datar, tapi seperti bergelombang di atas sampai menyentuh langit-langit.

Di situ dipajang seri-seri buku tebal berwarna merah marun, cokelat, biru hijau (terbuat dari kayu dan Styrofoam) yang mengesankan buku-buku kelas berat. Almanak, ensiklopedi, kitab babon langka yang berumur ratusan tahun dan mungkin berbahasa Latin, Yunani, atau Jawa kuno serta berisi teks teologi, filsafat, astronomi, kimia, atau syair.

Ketika Binu, Ubiet, dan Aning Katamsi melantunkan suaranya di antara kepungan kitab ganjil tersebut, kita melihat set perpustakaan itu seolah-olah membangun dramatikanya sendiri. Cahaya di belakang rak menyemburkan nuansa merah. Cahaya remang-remang yang hanya cukup untuk membuat para penyanyi membaca partitur itu menampilkan energi suram.

Tiba-tiba kita menyaksikan set perpustakaan garapan Hardiman ini sangat mampu mengejawantahkan komposisi-komposisi Tony yang seolah-olah tidak mengekspresikan perasaan dan pikiran-pikiran murung Goenawan Mohamad yang mengelana ke berbagai penjuru dunia lewat ribuan buku. Perpustakaan itu seolah-olah bisa menjadi metafora bagi sajak-sajak Goenawan yang berbicara tentang perkabungan, kematian, isyarat-isyarat duka. Ruang itu seolah-olah amsal bagi pemakaman. Di ruang itu ada sejarah, ada rahasia. Ada kesakitan yang tersembunyi.

Adapun imaji penonton bisa lebih liar daripada apa yang mereka saksikan. Set yang dibangun Hardiman memang memiliki potensi teateral tinggi. Sementara cara muncul atau posisi berdiri Ubiet atau Binu konvensional, kita bisa membayangkan keduanya keluar dari rak-rak buku atau muncul dari dalam buku. Kita bisa membayangkan buku-buku menjadi tangga. Dan perpindahan para penyanyi dari menara buku satu ke menara buku lain. Piano grand Yamaha yang berada di dalam perpustakaan itu kita bayangkan juga bertimbunan buku dengan sampul tebal yang telah koyak-moyak.

Fantasi itu makin menjadi ketika menyaksikan Pastoral. Ini sajak Goenawan yang mulanya berbicara mengenai alam secara intim tapi kemudian berbicara tentang kartu pos sebuah kota. Begitu layar dibuka, kita melihat empat musisi Momenta Quartet: Emilie-Anne Gendron (violin), Alex Fortes (violin), Stephanie Griffin (viola), Michael Haas (cello), duduk di atas tumpukan buku. Kita juga bisa melihat sebuah buku besar terbuka dan bergerak memutar sendiri. Di atasnya ada tubuh penari Fitri Setyaningsih seperti tengkurap tanpa daya.

Tubuh Fitri seolah-olah meringkuk, lemas. Halaman lembar buku yang terbuka itu kita lihat menampilkan huruf A besar dengan tipografi Latin kuno—membuat kita mengira-ngira buku itu buku apa. Akan halnya layar visual di atas para pemain menampilkan imaji buku putih yang mencucurkan darah. Samar-samar kita menangkap komposisi ini bersinggungan dengan asosiasi-asosiasi sejarah yang perih. Di situ kita melihat tubuh Fitri seolah-olah bagian dari tragedi yang dilupakan. Tragedi yang direkam oleh buku-buku itu tapi tak pernah dibaca generasi berikutnya. Apalagi tatkala penyanyi mengucapkan: ”Aku suka Malaka. Tembok orang Portugis, jalan pada deru pagi, gudang Cina dengan genting tua, liku bandar, warna kapal dan kedai-kedai.

Begitu juga penampilan Batavia Madrigal Singers. Kelompok paduan suara pimpinan Avip Priatna ini menggarap tafsir Toni atas dua sajak GM: Tentang Pantai dan Doa Persembunyian. Kelompok ini baru menyabet lima penghargaan dalam kompetisi paduan suara internasional 57 Certamen International De Habernas Y Polifonia di Spanyol, Juli lalu, termasuk Avip sebagai konduktor terbaik. Bukan sekali ini Avip Priatna menggarap dua sajak Goenawan tersebut. Namun kali ini Tony Prabowo makin puas. ”Tafsir mereka makin kena,” katanya.

Dalam latihan sehari sebelum pertunjukan terlihat 24 anggota Batavia Madrigal Singers cepat menyesuaikan diri dengan set perpustakaan itu. Pengelompokan kelompok tenor, soprano, alto, bas di berbagai sudut ruangan perpustakaan itu terasa enak. Ruang yang penuh oleh buku itu menjadi makin padat. Namun bukan padat yang sesak. Komposisi Tony atas dua sajak GM yang penuh dengan bauran suara lirih, sayup, gaung, lengking, gumam yang tumpang-tindih mampu mereka ucapkan dengan intens.

Dengarlah, tatkala Batavia Madrigal Singer sampai pada bait-bait akhir Tentang Pantai, seluruh suara paduan suara makin naik, naik dan diakhiri dengan suara soprano melengking: Tuhanku, jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan ku. Tiba-tiba kita merasa ada yang tercampakkan. Juga selanjutnya saat Doa Persembunyian yang berkisah tentang Tuhan yang meresap di ruang kayu sebuah gereja dusun di Rumania. Set perpustakaan antah-berantah garapan Hardiman tersebut terasa cocok, sebagai kiasan tempat persembunyian.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus