Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Scientific PT Morula Indonesia, Prof Arief Boediono Ph.D mengatakan saat ini orang ke klinik fertilitas bukan hanya karena dia mandul atau tidak bisa memiliki anak. Salah satu yang mereka inginkan adalah memiliki anak yang sehat dan terbebas dari beberapa risiko penyakit turunan. "Jadi, mereka sebenarnya subur dan bisa punya anak, tapi mereka ingin lakukan screening embrio (anak) mereka," kata Arief dalam Media Gathering bersama Morula IV pada 23 Januari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arief mengatakan teknologi Pre-Implantation Genetic Testing for Aneuploidy alias PGT-A merupakan cara mendeteksi masalah kromosom pada embrio. Hal itu bisa mencegah terjadinya keguguran pada pasien ibu dan calon bayi tabung. Dengan mendeteksi mana kromosom yang bermasalah dan mengeliminasi kromosom itu, maka bisa menurunkan risiko pasangan mendapatkan anak dengan kromosom tidak stabil yang berdampak pada beberapa masalah kesehatan, seperti penyakit Down syndrome.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teknologi PGT-A juga bisa memberikan manfaat bagi pasangan yang memiliki kondisi sudah melakukan bayi tabung berkali-kali dan belum berhasil untuk hamil. Kondisi pasangan yang memiliki riwayat keguguran berulang pun cocok menggunakan teknologi ini. Kondisi lain yang pas menggunakan teknologi PGT-A adalah pasangan yang memiliki kelainan bawaan pada kehamilan sebelumnya, atau ibu yang sudah berusia lanjut. "Menggunakan teknologi PGT-A yang akan diambil adalah embrio yang terbaik," katanya.
Arief menilai teknologi PGT-A merupakan teknologi bayi tabung unggulan terbaru untuk screening kromosom pada embrio yang dimiliki untuk membantu memaksimalkan keberhasilan kehamilan dalam program bayi tabung (IVF). "Teknologi ini memungkinkan proses seleksi embrio sehingga embrio yang dimasukkan ke dalam rahim merupakan embrio dengan kromosom normal dan diharapkan mempunyai tingkat keberhasilan hamil lebih tinggi," katanya.
Arief mengatakan, yang dicek dalam proses PGT A ini adalah embrio. Pengecekan dilakukan oleh ahli di laboratorium. Karena yang diperiksa adalah embrio, maka zat itu merupakan kombinasi antara ovum dan sperma yang sudah terjadi pembuahan. "Embrio, artinya sudah ada fertilisasi (melalui bayi tabung), dan usia embrio yang di-screening kira-kira sudah berkembang selama 5 hari," kata Arief.
Arief menambahkan bahwa dengan teknologi PGT-A, maka pasangan akan mengurangi berbagai biaya tambahan. Misalnya jangan sampai ketika sudah melakukan proses bayi tabung, maka embrio yang tertanam ternyata abnormal. Sehingga bisa saja, proses bayi tabung itu gagal. Akibatnya, pasangan harus mengeluarkan kocek lebih dalam untuk mengulang proses bayi tabung itu. Risiko lain, anak yang dihasilkan dari embrio tanpa menggunakan teknologi PGT-A memiliki kromosom berlebih. Sehingga ketika tumbuh menjadi anak, maka akan mengalami kelainan fisik maupun mental.
Menurut Arief, ketika pembuahan dengan bayi tabung, yang lebih banyak dilihat adalah kondisi fisik ovum dan sperma. Misalnya ovumnya bulat sempurna, lalu spermanya lincah ketika berenang. Namun ketika dicek melalui teknologi PGT-A, maka inti dari kromosomnya yang dicek lebih dalam. "Genetiknya itu yang dicek melalui teknologi ini," katanya.
Ketika sudah mendapatkan embrio yang sempurna, maka embrio itu lah yang akan ditempelkan kembali ke rahim ibu untuk berkembang. Artinya, risiko gagal dalam proses bayi tabung ini akan berkurang, sehingga pasangan tidak perlu melakukan prosedur pengulangan bayi tabung akibat kegagalan yang sempat terjadi.
Ia mengingatkan bahwa 60-70 persen kegagalan program bayi tabung terjadi karena kromoson yang tidak normal. Kasus ini terjadi pada wanita usia di atas 38 tahun. Kerusakan kromosom bisa mencapai sekitar 75 persen. Kromosom yang abnormal bisa terjadi pada saat proses pembentukan sel-sel telur dan sperma, serta saat perkembangan embrio. Kegagalan program bayi tabung juga bisa disebabkan karena kromosom yang terlalu banyak atau terlalu sedikit, atau bahkan karena hilangnya serta penambahan DNA. "Kelainan kromosom di atas dikenal sebagai aneuploidy," kata Arief.
Aneuploidy ini bisa menyebabkan kelainan kromososm seperti Down Syndrome dan Edwards Syndrome, Turner Syndrome, Jakob Syndrome, Klinefelter Syndrome dan Triple X serta 60 persen keguguran.
Menurut Arief, berdasarkan studi yang dilakukan timnya pada Januari 2019 hingga September 2022 pada 500 pasien, teknologi PGT-A membantu 68 persen pasangan di kelompok usia 38-39 tahun. Angka itu lebih baik 25 persen dibanding kehamilan Non PGT-A di usia yang sama.
PGT A pun membantu 46 persen keberhasilan di pasangan berusia lebih dari 40 tahun. Jumlah itu lebih baik 19 persen dibanding dari pasien Non-PGT A di usia yang sama.
Data lain mengungkapkan bahwa pasien dalam rentang usia 35-44 tahun memiliki angka kromosom normal yang jumlahnya lebih rendah dibandingkan kromosom tidak normal. "Hal ini menunjukkan bahwa teknologi PGT-A harus direkomendasikan kepada pasien dalam kelompok usia tersebut agar tujuan healthy embryo-healthy baby bisa terpenuhi," katanya.
Teknologi ini juga dapat juga mengidentifikasi embrio dengan kromosom seks yang normal atau sehat dengan mengidentifikasi kromosom 46 XX atau 46 XY, dalam bahasa awam dikenal dengan deteksi jenis kelamin yang normal.
Baca: Aktivitas yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan Calon Ibu setelah Transfer Embrio IVF