KEPAHITAN Benazir Bhutto tiga tahun lalu pekan lalu terhapus. Dulu itu ia dipecat dari jabatan perdana menteri oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan. Pekan lalu, pemungutan suara di parlemen Pakistan mengesahkannya sebagai perdana menteri baru. ''Saya merasa puas sekali ketika mengambil sumpah untuk kedua kalinya,'' kata Benazir, yang dilantik oleh Presiden (sementara) Wasim Sajjad. Tentu, Benazir kini berbeda. Ia kini naik ke pucuk kekuasaan dengan membawa 20 bulan pengalaman sebagai perdana menteri, dan tiga tahun sebagai ketua oposisi. ''Benazir tak usah mempelajari lika-liku jalannya pemerintah. Dan ia tahu persis cara perlawanan oposisi,'' kata kolumnis Mushahid Hussain kepada TEMPO. Pengamat di Pakistan memang melihat Benazir sekarang sebagai orang yang lebih matang. ''Ia telah belajar dari kesalahannya,'' kata Sardar Assef Ali Ahmed, seorang bekas menteri. Contohnya, kabinet koalisi yang akan dibentuknya kecil, berjumlah 12 orang menteri. Dulu, guna menyenangkan partai-partai yang mendukungnya, ia membentuk kabinet 20 menteri. Hubungannya dengan pihak oposisi, yang kini cukup besar, akan lebih bersifat kompromi ketimbang konfrontasi. Benazir pun kabarnya sudah mendapat jaminan dari suaminya, Asif Ali Zardari, dan mertuanya: mereka tak akan mencampuri urusan Benazir. Tiga tahun silam, suaminya dituduh korupsi, yang menyebabkan Benazir jatuh dari kekuasaannya. Mungkin pelajaran yang paling berharga bagi Benazir adalah tidak menentang kekuatan militer meski peran politik kelompok itu tampaknya sudah agak berubah. Menurut pengamat, Benazir beruntung tentara sekarang yang dipimpin Jenderal Abdul Waheed merasa lebih efektif bermain di belakang layar. Benazir juga telah menanamkan iklim optimistis bahwa ia berniat melanjutkan kebijakan ekonomi yang dirintis Moeen Qureshi, perdana menteri sementara yang digantikannya. Terutama, dalam bidang pembaruan fiskal dan privatisasi ekonomi. ''Mencari penyelesaian masalah pengangguran dan inflasi adalah prioritas pemerintah saya,'' kata Benazir dalam pidatonya di muka parlemen. Masalahnya, beranikah Benazir menjalankan kebijakan ekonomi yang diwariskan Qureshi. Kebijakan itu, yang dinilai agak radikal, bisa berhasil karena tak ada oposisi, dan juga karena didukung tentara. Hingga kebijakan bekas wakil presiden Bank Dunia yang tak punya latar belakang politik itu sungguh berani: pemangkasan subsidi, penaikan pajak, pemberantasan korupsi. Tapi sebelum soal ekonomi, problem yang harus segera ditangani Benazir ialah Kashmir, masalah yang sudah berlanjut 45 tahun lebih. Pekan lalu, ketika pendukungnya merayakan kemenangannya, konflik di perbatasan dengan India itu marak lagi, dan menyebabkan hubungan kedua negara tegang (lihat Lagi, Geger Kashmir). Benazir juga berjanji akan memperbaiki hubungan Pakistan dengan Amerika, yang retak gara-gara proyek nuklir di negerinya. Washington menghentikan bantuan ekonominya sebesar US$ 600 juta setiap tahun, sejak 1990. Sebabnya, Islamabad menolak ikut menanda-tangani Pakta Non-Perkembangan Nuklir, dengan alasan, India juga menolaknya. Namun, janji ini bertentangan dengan pidato Benazir yang menjanjikan ''melindungi program nuklir Pakistan dan menjaga kepentingan nasionalnya.'' Apa pun, dalam sistem yang lebih demokratis kini, Benazir punya kesempatan lapang, juga untuk mengubah konstitusi warisan rezim militer di masa Zia Ul-Haq. Yuli Ismartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini