SUDAH 40 tahun lebih Saidah berumah tangga dengan Muslimin.
Pasangan dari Bondowoso, Jawa Timur ini belum juga mendapat
keturunan. Namun keadaan itu tidak membawa keretakan bagi
perkawinan mereka. Untuk meramaikan suasana rumah di Jalan
Sultan Agung, 28 tahun yang lampau mereka menangkat Usman
keponakan Saidah sendiri. Usman diharapkan jadi "pemancing" bagi
rahim Saidah supaya keluar anak -- seperti kepercayaan orang
sini. Tapi ternyata belum membawa berkat juga.
Ketika umur Saidah menanjak tua, harapan untuk mendapatkan anak
pupus sudah. Seluruh perhatian hanya diberikan kepada Usman.
Anak yang cakep dan bisa menghormati kedua orangtua angkatnya.
Sampailah pada satu saat ketika Saidah memasuki usia 60 tahun,
ia merasa ada yang sedang tumbuh di dalam kandungannya. Perutnya
kian hari kian membesar. Ia jadi harap-harap-cemas. Perasaannya
bercampur antara suka dan duka. Suka karena harapan akan
memperoleh anak, tapi cemas karena umurnya yang sudah tua.
Berjalan sedikit saja sudah ngos-ngosan. Kalau makan cepat
kenyang.
Sembilan bulan sudah lewat. Tapi tak ada tanda-tanda hendak
melahirkan. Karena belum pernah melahirkan, Saidah tidak segera
bisa meyakini apakah yang dikandungnya itu benar-benar orok atau
bukan. Tetapi setelah setahun mengandung dan jabang bayi belum
juga menggeliat minta keluar, Saidah mulai curiga.
Bertandang ke tetanga dan bertanya-tanya kepada mereka yang
pernah berpengalaman melahirkan, Saidah mulai yakin bahwa
kandungannya itu tak beres. Saran tetangga supaya ia segera
minta pertolongan pada dokter tidak segera dilaksanakan,
karena ia takut dokter.
Bantuan Dokter
Setelah kandungannya berusia 3 tahun, Muslimin, suaminya
meninggal dunia. Tinggal ia sendiri dan anak angkatnya Usman.
Mereka berusaha melawan gejala penyakit yang datang dari
kandungannya, seperti sesak nafas dan rasa nyeri. Saidah sering
mengeluh. Saran supaya minta bantuan pada seorang dokter tak
bisa ditunda-tunda lagi. Ia berhadapan dengan dokter ketika
kandungannya itu sudah berumur 10 tahun.
Dokter menyarankan agar Saidah memeriksakan penyakitnya pada
dokter kandungan di Banyuwangi. Ia menurut. Tapi ketika sampai
di Banyuwangi ia malahan dioper kembali ke Rumah Sakit Umum
Bondowoso. Di rumahsakit ini ia mendengar perutnya akan
dioperasi. Ia jadi takut.
Ada alasan lain mengapa ia mundur dari rumahsakit itu. Ia tak
punya uang cukup untuk membayar ongkos. Sedangkan uang pensiun
suaminya hanya cukup untuk ongkos hidup Saidah dan Usman.
Untunglah ada Murtada, seorang pekerja sosial yang mendengar
kesulitan Saidah. Pihak rumahsakit dia hubungi dan Saidah bisa
bebas dari ongkos. Setelah menderita hampir 15 tahun dengan
kandungannya itu, Saidah tanggal 24 Mei yang lalu mulai
diperiksa secara terperinci. Pertama-tama dia diminta
memeriksakan jantung ke Jember, karena Bondowoso belum punya
seorang spesialis jantung. Hasil pemeriksaan di Jember
menyebutkan jantung Saidah normal saja.
Seperempat Kwintal
Pulang dari Jember Saidah segera disiapkan untuk dioperasi.
Pekerjaan tersebut akan dipimpin oleh dr Satoto, 35 tahun,
seorang dokter lulusan Universitas Airlangga. Ia sendiri
sebenarnya bukanlah seorang ahli kandungan, apalagi seorang ahli
bedah kandungan. Satoto hanya seorang dokter umum. Tapi ia
memang berpengalaman dalam bidang bedah. "Rata-rata 15 kali
melakukan pembedahan besar dan kecil, tiap bulan," katanya.
Pengalaman ini ia peroleh selama bertugas mendampingi ahli bedah
dr Suhadi di Rumah Sakit Umum Jember. Di RSU Bondowoso sendiri
sebenarnya ada seorang ahli bedah kandungan, dr Ny. Hendro
Cahyono yang menjabat kepala rumahsakit tersebut. Tapi mungkin
ia terlalu sibuk dan menganggap keahlian Satoto sudah cukup
untuk menolong Saidah.
Pembedahan berjalan lancar di bawah pimpinan Satoto yang
pendiam itu. Dibantu tiga mantri dan seorang perawat, Satoto
menyelesaikan pertolongan itu dalam tempo satu setengah jam. Ia
pantas dipuji. Hanya dengan peralatan sederhana ditambah ucapan
"bismillah" pekerjaan itu toh bisa dia selesaikan dengan baik.
Jadi apa yang dikandung Saidah selama 15 tahun ini? Dari
torehan pisau bedah sepanjang 15 cm di dalam perut Saidah
ditemukan tumor kista seberat 25 kg. Satu bentuk tumor jinak
yang terdiri dari gelembung-gelembung berisi air. Berwarna
kuning. Satu-satunya kesulitan dr Satoto ialah ketika ia hendak
memisahkan kista tersebut dari indung telur. Rupanya kista itu
lengket di sana hingga ketika akan dipisahkan menimbulkan
pendarahan yang agak banyak.
"Kista itu pada mulanya hanya berupa bintik kecil yang melekat
pada indung telur. Itulah sebabnya mengapa Saidah tak bisa
hamil," urai dr Satoto. Ketika akan dikubur kista tadi ditampung
ke dalam sebuah baskom. Tumor yang berbobot seperempat kwintal
itu jadi luber dalam baskom tersebut.
Sepuluh hari setelah operasi Saidah sudah bisa meninggalkan
rumah sakit. "Rasanya badan saya ini melayang saking entengnya,"
kata Saidah kepada para tamu yang datang menjenguknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini