Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Sebuah terapi tanpa amputasi

Dengan breast conserving therapy, kanker bisa disembuhkan, sementara payudara tetap utuh. namun, terapi ini belum populer di Indonesia. Peralatan juga kurang lengkap.

14 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANKER payudara, apakah pembicaraan tentang penyakit ini belum membosankan Anda? Mungkin sudah, namun masih ada hal-hal baru sekitar penyembuhan penyakit ini, yang jumlah korbannya di Indonesia menduduki peringkat kedua sesudah kanker leher rahim. Sebaliknya, di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, penderita kanker payudara terus meningkat, melampaui kanker leher rahim. Setiap tiga menit, satu wanita dinyatakan terjangkit kanker payudara. Dan setiap sebelas menit, satu jiwa melayang direnggutnya. Pekan lalu, data itu dikemukakan oleh Harjanto Tulusan, dalam sebuah teleseminar yang disiarkan oleh Televisi Pendidikan Indonesia di Jakarta. Ceramah guru besar onkologi dan patologi kandungan di Departemen Kandungan dan Kebidanan dari Universitas Erlangen, Jerman Barat, ini terasa istimewa karena dipancarkan lewat satelit. Dengan demikian, bisa diikuti secara serempak di berbagai kota di Indonesia. Penyelenggara teleseminar yang pertama ini adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan bisa dipantau tak hanya di kota-kota besar, tapi juga di Purwokerto, Banda Aceh, Samarinda, dan Kupang. Kepada para peserta, Harjanto mengingatkan, tantangan terbesar dalam bidang onkologi adalah bagaimana mengintensifkan diagnosa kanker payudara sedini mungkin. ''Itu sangat penting dalam pengobatan kanker payudara. Sebab, hasil penyembuhan yang memuaskan hanya bisa dicapai bila karsinoma payudara terdeteksi pada stadium dini,'' ujarnya. Menurut Harjanto, sekitar 90% pasien stadium dini bisa disembuhkan. Pemeriksaan dini juga memungkinkan terapi yang tak menimbulkan cacat fisik pada pasien. Terapi ini baru dikenal di sini. Keistimewaannya, payudara tidak perlu diangkat. Di kalangan dokter, terapi itu disebut breast conserving therapy (BCT). Sekitar 70% kasus kanker payudara jika terdeteksi dini bisa ditangani dengan BCT. Di negara maju, BCT dipakai secara meluas sejak 1980-an. Maka, kepada Dr. Harjanto, banyak ditanyakan kemungkinan pemakaian terapi itu di Indonesia. Menurut Muchlis Ramli, Kepala Subbagian Bedah Onkologi di Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM, terapi BCT memang belum luas diterapkan di sini. Tapi bukan berarti tak pernah diterapkan. Beberapa rumah sakit di Jakarta pernah melakukannya. ''Namun tak sampai 20 pasien yang pernah ditangani dengan BCT,'' kata Ketua Perkumpulan Ahli Bedah Onkologi Indonesia ini. Ketidakpopuleran BCT di sini sempat dirasakan bintang film Rima Melati. Ketika dinyatakan terkena kanker payudara pada tahun 1990, ia mendapat penjelasan bahwa payudaranya harus diangkat semua. ''Cara pengobatan di sini waktu itu belum memungkinkan tanpa amputasi,'' ujar Rima. Ia pun berobat ke Belanda dan dua gumpalan sel kanker yang menghuni payudaranya bisa diambil, tanpa harus mengangkat seluruh buah dadanya. ''Letak sel kanker saya termasuk yang menguntungkan,'' kata Rima lagi. Akhir Juli lalu, ia dinyatakan sembuh total setelah menjalani 5 kali kemoterapi dan 33 kali radiasi. Tidak semua kanker payudara bisa disembuhkan dengan BCT. Selain kanker itu haruslah pada stadium dini, diameternya mesti di bawah 4 sentimeter dan letaknya tak menyebar. Agar BCT sukses, diperlukan kecermatan dokter maupun ahli patologi anatomi untuk menentukan stadium dengan akurat. Jika akurat, terapi mutakhir ini hasilnya akan seefektif operasi pengangkatan seluruh payudara. Tapi jika salah menentukan terapi, akibatnya justru fatal. Di sini BCT belum populer antara lain karena kondisi pasien. ''Kasus kanker payudara di Indonesia masih ditemukan pada stadium lanjut, yakni sekitar 65-70 persen,'' kata Gunawan Tjahyadi, staf Bagian Patologi Anatomi FKUI/RSCM. Penelitian di RSCM menunjukkan, hanya 2% yang didiagnosis pada stadium I dan 16% pada stadium II. ''Ini memberikan informasi bahwa deteksi dini kanker payudara masih belum terlaksana dengan baik,'' kata Gunawan. Mungkin hal itu disebabkan karena pemeriksaan lewat mamografi atau USG yang mestinya dilakukan wanita berusia 35 tahun ke atas secara teratur, termasuk mahal bagi kebanyakan wanita di sini. Jikapun tidak, ada hambatan rasa malu untuk periksa ke dokter. Padahal, pemeriksaan sendiri bisa dikerjakan dengan ujung jari, dan sebenarnya cukup memadai. Selama kurun 1986-1990, pasien kanker payudara yang dirawat di RSCM ''hanya'' 678 orang. Sebagian besar sudah dalam stadium lanjut yang tak bisa lagi disembuhkan dengan BCT. ''Jadi, apa sudah saatnya BCT dikembangkan di Indonesia?'' Muchlis Ramlie mempersoalkan. Ia bukan menolak BCT, tapi sekadar menyarankan agar terapi itu tak terburu-buru dikembangkan di sini. Masih ada kendala, seperti keahlian dokter yang masih harus ditingkatkan dan peralatan yang jauh dari lengkap. Alat radiasi, misalnya, di Jakarta hanya dimiliki oleh beberapa rumah sakit. Padahal, BCT memerlukan penyinaran yang tepat waktu dan kontinu. ''Di RSCM, sebagai tempat rujukan tertinggi, untuk radiasi saja antrenya bisa sebulan,'' ujar Muchlis. Tapi, lain lagi pendapat Harjanto. ''Alat-alat di sini sama dengan yang kami pakai,'' ujarnya spontan. Karena itu ia optimis, dengan manajemen yang baik, BCT bisa diterapkan secara luas. Setidaknya untuk 2% penderita yang mengidap kanker payudara pada stadium dini. G. Sugrahetty Dyan K.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus