Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Selalu Dengan Ricuh

Tugas juru sita hampir berbahaya, karena masyarakat belum semua mengerti hukum. perasaan pribadi selalu terbawa dalam tugas. sarana petugas kurang lengkap.

17 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJADI juru sita ternyata sulit. Bahkan terkadang berbahaya. Apalagi bila berhadapan dengan orang yang belum mengerti hukum. Karena itu penyitaan umumnya masih diartikan mengambil milik seseorang dengan paksaan. Karena itu Zainupin Athman SH, juru sita Pengadilan Negeri Yogyakarta merasa lebih enak bekerja di kota daripada di desa. "Di desa kebanyakan orang tidak mengerti hukum, hingga ancaman mungkin saja terjadi," ungkapnya Juru sita yang memulai karirnya sejak 1966 di daerah Bengkulu ini penah nyaris dibacok. Ini terjadi pada 1967, ketika ia menjalankan tugas Pengadilan Negeri Bengkulu untuk menyita rumah dan tanah, yang ada sangkut pautnya dengan utang-piutang. Waktu ia siap melakukan penyitaan, si pemilik rumah dan tanah menghadangnya dengan golok terhunus. Tapi ia berhasil menundukkan orang itu. Pengalaman seram itu tidak membuat Zainupin surut. Ia selalu mantap karena yakin segala tugas penyitaan sudah didahului oleh penyelidikan dan data-data yang kuat. "Bahkan perasaan tidak sampai hati, tidak perlu terjadi," ujarnya. Tersebutlah seorang lelaki bernama Haji Mohammad Arsyad. Rambutnya dicukur plontos. Selalu pakai kacamata berbingkai kuning emas. Ia senang main sepakbola. Sejak 1 Maret 1955 Arsyad (51 tahun) memikul tugas sebagai juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Barat. "Dalam menjalankan tugas ancaman selalu ada," Arsyad menceritakan pengalamannya, "tapi saya selalu bersikap rendah hati, sabar dan tabah. Putusan hakim sudah dikyi keadilannya. Jika perlu orang yangbersangkutan ditahan." Tambahnya "Umumnya, kalau saya memperlihat sikap keras, mereka yang mengancam jadi lemas." Di samping melaksanakan pelelangan-pelelangan, pengosongan (biasanya rumah) dan penyitaan, Arsyad juga punya tugas sebagai Panitera Pengganti, dalam sidang perdata maupun pidana di pengadilan. Sebagai juru sita ia tidak dapat honor khusus, kecuali biaya transpor dan makan bila sedang melakukan penyitaan. Sekarang ia merasa tugas-tugasnya lancar, terutama dalam hal transportasi bila penyitaan harus dilakukan di tempat yang jauh dari kantornya. "Baya ngkan, tahun limapuluhan yang ada uma trem di Jakarta. Waktu itu sepeda sudah paling top Jadi kalau dapat tugas di Bekasi dan Tangerang yang waktu itu masih termasuk wilayah Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta, terpaksa pulang pergi hanya naik sepeda," katanya. Arsyad mengaku tidak pernah gentar selama menjalankan tugas. "Saya justru mgm mati dalam tugas. Mati sahid. Jihad fisabilillah," katanya menegaskan. Ia mengisahkan pengalamannya pada 1955 di daerah Mauk, Tangerang. Di sitU ia dapat tugas melelang tanah. Berangkat pukul 8 pagi, sampai pukul 5 sore-karena harus jalan kaki sepanjang 15 km melewati pematang sawah. "Kira-kira 5 km, sebelum sampai saya sudah diintip orang berpakaian hitam-hitam," katanya. Di tempat pelelangan orang-orang itu makin banyak dengan sikap mengancam. Meskipun ia sudah rela mati dalam tugas, "akhirnya saya mengambil tindakan penyelamatan, mengumumkan lelang dibatalkan," kata Arsyad. Anak-anak Tugas yang dirasa Arsyad berat adalah ketika ia bertugas mengambil anak dari tangan bapaknya untuk diserahkan kepada ibunya sesuai dengan keputusan pengadilan dalam perkara perceraian. "Anak yang saya eksekusi itu semuanya 3 orang. Yang kecil berumur 5 tahun," Arsyad mengungkapkan. "Waktu saya ambil dari tangan bapaknya, kelihatan antara anak-anak dengan bapak mesra sekali. Anak-anak itU juga mengatakan sayang sama bapak dan benci pada ibu mereka. " Tapi tugas harus dilaksanakan. Dengan berat hati, Arsyad menggiring anakanak itu ke tempat ibu mereka dengan berjalan kaki -- maklum sarana masih payah waktu itu. "Sambil berjalan, saya menasihati anak-anak itu agar besok atau lusa kabur saja, kembali ke tempat bapak mereka," kata Arsyad. Betul juga. Beberapa hari kemudian, ibu anak-anak tersebut datang melapor. Anaknya sudah kabur. Ia meminta agar Arsyad mengambil untuk keduakalinya anak-anak itu. "Saya jawab, Pengadilan Negeri sudah melaksanakan putusannya, perkara sudah dianggap selesai," kata Arsyad. Si ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Perasaan memang selalu terbawa dalam tugas. Tapi apabila perasaan tersebut sampai menghambat tugas, terpaksa harus ditindas. Seperti dalam tugas eksekusi yang kebetulan menyangkut kenalan atau famili si juru sita. Arsyad bulan lalu misalnya bertugas membongkar 6 buah rumah di atas sebuah tanah kapling. "Salah satu rumah yang saya bongkar itu dihuni oleh teman sekerja saya semasa di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta dulu," katanya, "perintah tetap saya lakukan meskipun kawan akrab jadi korban." Haji Arsyad, orang kelahiran Bima ini juga aktif selaku pengurus masjid. Ia juga Ketua RW 6 Kali Baru dan Ketua Umum Yayasan Nurul Islam. Istrinya orang Yogya, kini sudah dikaruniai 3 orang anak. Menurutnya kemungkinan juru sita melakukan penyelewengan selalu ada. "Tapi kami berhadapan dengan 3 pihak penggugat, tergugat dan hakim. Akibatnya korupsi sulit dilakukan," ujarnya. Menurut Sachrup, juru sita di Pengadilan Negeri Klas I Bandung, keributan dalam penyitaan tidak aneh, hampir selalu terjadi. Selama 7 tahun sebagai juru sita, ia pernah dipukul, dan harnpir kena bacok. "Kalau bukan karena tugas, saya tidak tega melakukan penyitaan. Saya selalu menghadapi hal yang menyedihkan. Biar diberi uang banyak, kalau bukan tugas, saya tidak mau," katanya tegas. Satu ketika ia menjalankan eksekusi terhadap Hotel Cihampelas di Bandung. Setelah diadakan pendekatan, tidak ada tanggapan dari si pemilik hotel. Waktu barang-barang dalam hotel mulai dikeluarkan pada hari pertama tidak terjadi apa-apa. Tapi di hari kedua, semua pintu hotel tertutup. Dan ketika didobrak semua penghuninya berteriak: "Maling Maling!" Sachrup (40 tahun) kemudian langsung perang mulut dengan penghuninya yang kebetulan nonpribumi. Orang itu mencoba memukul, tapi Sachrup pintar bersilat dan selalu mengelak. Lain waktu ia berhadapan dengan seorang anggota ABRI. Masih di kawasan Bandung. Oknum ini harus meninggalkan rumah yang dihuninya. Setelah diadakan pendekatan, -- ada kesepakatan. Tapi ketika hari pengosongan tiba, terjadi keributan antara penghuni dan kuasa penggugat. Anak tergugat langsung mau menusuk kuasa penggugat. Kembali kemahiran silat Sachrup berguna. Sekali pukul, pisau itu terlempar. Kadangkala hati Sachrup lemah juga. Misalnya ia pernah berhadapan dengan seorang wanita yang harus pergi dari rumah yang ditinggalinya -- pada saat suami si wanita sedang bertugas ke daerah lain. Nyonya itu baru saja melahirkan. Melihat keadaan itu hati Sachrup luluh. Atas usulnya, kemudian pengadilan menyetujui penyitaan ditangguhkan "Saya juga manusia, jadi masih punya rasa," katanya pada TEMPO. Sachrup mengakui, sampai sekarang setiap menerima tugas hatinya selalu berdebar-debar, karena pasti terjadi apaapa. Sebab umumnya tugas yang sampai ke tangannya selalu menghadapkannya dengan orang-orang yang membandel -- meskipun akhirnya selalu bisa diselesaikan dengan musyawarah. Di Pekanbaru, juru sita belum merupakan bagian yang berdiri sendiri. Fungsi itu masih dirangkap oleh panitera seperti juga terjadi di beberapa daerah lain. Pengadilan negeri setempat sering menunjuk Drs. Melwany yang sehari-hari adalah panitera, untuk melaksanakannya. Dan Melwany juga berpendapat penyitaan selalu menimbulkarl kesulitan. Satu ketika misalnya ia pernah dikejar-kejar orang sambil memhawa parang di sebuah desa. Lain waktu di depan hidung para petugas keamanan yang menyertai pelaksanaan penyitaan, terjadi penganiayaan terhadap pihak. y ang menang perkara oleh lawannya. "Semua ini terjadi karena kesadaran hukum masih kurang, terutama di masyarakat pedesaan," tambah Melwany. Hambatan lain dalam penyitaan, menurut Melwany adalah sarana petugas masih kurang lengkap. "Umpamanya sebagai juru sita kita butuh senjata api," ujarnya, "hanya untuk melengkapi hertugas." Premi? Langsung saja dijawabnya: "Itu tak dikenal oleh juru sita. Memang ada ongkos-ongkos kecil, umpamanya untuk transportasi, tenaga-tenaga keamanan -- sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus