MENJADI juru sita ternyata sulit. Bahkan terkadang berbahaya.
Apalagi bila berhadapan dengan orang yang belum mengerti hukum.
Karena itu penyitaan umumnya masih diartikan mengambil milik
seseorang dengan paksaan. Karena itu Zainupin Athman SH, juru
sita Pengadilan Negeri Yogyakarta merasa lebih enak bekerja di
kota daripada di desa. "Di desa kebanyakan orang tidak mengerti
hukum, hingga ancaman mungkin saja terjadi," ungkapnya Juru sita
yang memulai karirnya sejak 1966 di daerah Bengkulu ini penah
nyaris dibacok. Ini terjadi pada 1967, ketika ia menjalankan
tugas Pengadilan Negeri Bengkulu untuk menyita rumah dan tanah,
yang ada sangkut pautnya dengan utang-piutang. Waktu ia siap
melakukan penyitaan, si pemilik rumah dan tanah menghadangnya
dengan golok terhunus. Tapi ia berhasil menundukkan orang itu.
Pengalaman seram itu tidak membuat Zainupin surut. Ia selalu
mantap karena yakin segala tugas penyitaan sudah didahului oleh
penyelidikan dan data-data yang kuat. "Bahkan perasaan tidak
sampai hati, tidak perlu terjadi," ujarnya.
Tersebutlah seorang lelaki bernama Haji Mohammad Arsyad.
Rambutnya dicukur plontos. Selalu pakai kacamata berbingkai
kuning emas. Ia senang main sepakbola. Sejak 1 Maret 1955
Arsyad (51 tahun) memikul tugas sebagai juru sita Pengadilan
Negeri Jakarta Barat.
"Dalam menjalankan tugas ancaman selalu ada," Arsyad
menceritakan pengalamannya, "tapi saya selalu bersikap rendah
hati, sabar dan tabah. Putusan hakim sudah dikyi keadilannya.
Jika perlu orang yangbersangkutan ditahan." Tambahnya "Umumnya,
kalau saya memperlihat sikap keras, mereka yang mengancam jadi
lemas."
Di samping melaksanakan pelelangan-pelelangan, pengosongan
(biasanya rumah) dan penyitaan, Arsyad juga punya tugas sebagai
Panitera Pengganti, dalam sidang perdata maupun pidana di
pengadilan. Sebagai juru sita ia tidak dapat honor khusus,
kecuali biaya transpor dan makan bila sedang melakukan
penyitaan. Sekarang ia merasa tugas-tugasnya lancar, terutama
dalam hal transportasi bila penyitaan harus dilakukan di tempat
yang jauh dari kantornya. "Baya ngkan, tahun limapuluhan yang
ada uma trem di Jakarta. Waktu itu sepeda sudah paling top Jadi
kalau dapat tugas di Bekasi dan Tangerang yang waktu itu masih
termasuk wilayah Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta, terpaksa
pulang pergi hanya naik sepeda," katanya.
Arsyad mengaku tidak pernah gentar selama menjalankan tugas.
"Saya justru mgm mati dalam tugas. Mati sahid. Jihad
fisabilillah," katanya menegaskan. Ia mengisahkan pengalamannya
pada 1955 di daerah Mauk, Tangerang. Di sitU ia dapat tugas
melelang tanah. Berangkat pukul 8 pagi, sampai pukul 5
sore-karena harus jalan kaki sepanjang 15 km melewati pematang
sawah. "Kira-kira 5 km, sebelum sampai saya sudah diintip orang
berpakaian hitam-hitam," katanya. Di tempat pelelangan
orang-orang itu makin banyak dengan sikap mengancam. Meskipun ia
sudah rela mati dalam tugas, "akhirnya saya mengambil tindakan
penyelamatan, mengumumkan lelang dibatalkan," kata Arsyad.
Anak-anak
Tugas yang dirasa Arsyad berat adalah ketika ia bertugas
mengambil anak dari tangan bapaknya untuk diserahkan kepada
ibunya sesuai dengan keputusan pengadilan dalam perkara
perceraian. "Anak yang saya eksekusi itu semuanya 3 orang. Yang
kecil berumur 5 tahun," Arsyad mengungkapkan. "Waktu saya ambil
dari tangan bapaknya, kelihatan antara anak-anak dengan bapak
mesra sekali. Anak-anak itU juga mengatakan sayang sama bapak
dan benci pada ibu mereka. "
Tapi tugas harus dilaksanakan. Dengan berat hati, Arsyad
menggiring anakanak itu ke tempat ibu mereka dengan berjalan
kaki -- maklum sarana masih payah waktu itu. "Sambil berjalan,
saya menasihati anak-anak itu agar besok atau lusa kabur saja,
kembali ke tempat bapak mereka," kata Arsyad.
Betul juga. Beberapa hari kemudian, ibu anak-anak tersebut
datang melapor. Anaknya sudah kabur. Ia meminta agar Arsyad
mengambil untuk keduakalinya anak-anak itu. "Saya jawab,
Pengadilan Negeri sudah melaksanakan putusannya, perkara sudah
dianggap selesai," kata Arsyad. Si ibu tidak bisa berbuat
apa-apa.
Perasaan memang selalu terbawa dalam tugas. Tapi apabila
perasaan tersebut sampai menghambat tugas, terpaksa harus
ditindas. Seperti dalam tugas eksekusi yang kebetulan menyangkut
kenalan atau famili si juru sita. Arsyad bulan lalu misalnya
bertugas membongkar 6 buah rumah di atas sebuah tanah kapling.
"Salah satu rumah yang saya bongkar itu dihuni oleh teman
sekerja saya semasa di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta dulu,"
katanya, "perintah tetap saya lakukan meskipun kawan akrab jadi
korban."
Haji Arsyad, orang kelahiran Bima ini juga aktif selaku pengurus
masjid. Ia juga Ketua RW 6 Kali Baru dan Ketua Umum Yayasan
Nurul Islam. Istrinya orang Yogya, kini sudah dikaruniai 3 orang
anak. Menurutnya kemungkinan juru sita melakukan penyelewengan
selalu ada. "Tapi kami berhadapan dengan 3 pihak penggugat,
tergugat dan hakim. Akibatnya korupsi sulit dilakukan," ujarnya.
Menurut Sachrup, juru sita di Pengadilan Negeri Klas I Bandung,
keributan dalam penyitaan tidak aneh, hampir selalu terjadi.
Selama 7 tahun sebagai juru sita, ia pernah dipukul, dan harnpir
kena bacok. "Kalau bukan karena tugas, saya tidak tega melakukan
penyitaan. Saya selalu menghadapi hal yang menyedihkan. Biar
diberi uang banyak, kalau bukan tugas, saya tidak mau," katanya
tegas.
Satu ketika ia menjalankan eksekusi terhadap Hotel Cihampelas di
Bandung. Setelah diadakan pendekatan, tidak ada tanggapan dari
si pemilik hotel. Waktu barang-barang dalam hotel mulai
dikeluarkan pada hari pertama tidak terjadi apa-apa. Tapi di
hari kedua, semua pintu hotel tertutup. Dan ketika didobrak
semua penghuninya berteriak: "Maling Maling!" Sachrup (40
tahun) kemudian langsung perang mulut dengan penghuninya yang
kebetulan nonpribumi. Orang itu mencoba memukul, tapi Sachrup
pintar bersilat dan selalu mengelak.
Lain waktu ia berhadapan dengan seorang anggota ABRI. Masih di
kawasan Bandung. Oknum ini harus meninggalkan rumah yang
dihuninya. Setelah diadakan pendekatan, -- ada kesepakatan. Tapi
ketika hari pengosongan tiba, terjadi keributan antara
penghuni dan kuasa penggugat. Anak tergugat langsung mau menusuk
kuasa penggugat. Kembali kemahiran silat Sachrup berguna. Sekali
pukul, pisau itu terlempar.
Kadangkala hati Sachrup lemah juga. Misalnya ia pernah
berhadapan dengan seorang wanita yang harus pergi dari rumah
yang ditinggalinya -- pada saat suami si wanita sedang bertugas
ke daerah lain. Nyonya itu baru saja melahirkan. Melihat keadaan
itu hati Sachrup luluh. Atas usulnya, kemudian pengadilan
menyetujui penyitaan ditangguhkan "Saya juga manusia, jadi masih
punya rasa," katanya pada TEMPO.
Sachrup mengakui, sampai sekarang setiap menerima tugas hatinya
selalu berdebar-debar, karena pasti terjadi apaapa. Sebab
umumnya tugas yang sampai ke tangannya selalu menghadapkannya
dengan orang-orang yang membandel -- meskipun akhirnya selalu
bisa diselesaikan dengan musyawarah.
Di Pekanbaru, juru sita belum merupakan bagian yang berdiri
sendiri. Fungsi itu masih dirangkap oleh panitera seperti juga
terjadi di beberapa daerah lain. Pengadilan negeri setempat
sering menunjuk Drs. Melwany yang sehari-hari adalah panitera,
untuk melaksanakannya. Dan Melwany juga berpendapat penyitaan
selalu menimbulkarl kesulitan. Satu ketika misalnya ia pernah
dikejar-kejar orang sambil memhawa parang di sebuah desa. Lain
waktu di depan hidung para petugas keamanan yang menyertai
pelaksanaan penyitaan, terjadi penganiayaan terhadap pihak. y
ang menang perkara oleh lawannya. "Semua ini terjadi karena
kesadaran hukum masih kurang, terutama di masyarakat pedesaan,"
tambah Melwany.
Hambatan lain dalam penyitaan, menurut Melwany adalah sarana
petugas masih kurang lengkap. "Umpamanya sebagai juru sita kita
butuh senjata api," ujarnya, "hanya untuk melengkapi hertugas."
Premi? Langsung saja dijawabnya: "Itu tak dikenal oleh juru
sita. Memang ada ongkos-ongkos kecil, umpamanya untuk
transportasi, tenaga-tenaga keamanan -- sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang ada."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini