Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tidak Cuma Endang Wijaya

Endang wijaya yang dituduh korupsi puluhan milyar rupiah dalam kasus pluit dikembalikan sebagai tahanan biasa oleh laksusda. pengadilan cenderung memberi kelonggaran dengan tahanan luar bagi terdakwa tertentu.

17 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENDANG Wijaya telah berada di tempat yang semestinya. Yaitu di Rumahsakit Gatot Subroto (RSPAD) di Jalan Abdurahman Saleh Jakarta, sejak 29 April lalu. Di situlah, menurut Laksusda Jaya, tempat yang layak bagi seorang tahanan bila memang perlu perawatan kesehatan. Sebab, menurut jurubicara Laksusda Letkol. Anas Malik, tidak pantas seorang terdakwa seperti Endang Wijaya-(yang dituduh korupsi & subversi dan merugikan negara sampai lebih Rp 22 milyar) ditahan di sebuah rumah mewah. Itulah sebabnya Laksusda mengerahkan Operasi Sabet untuk menyeret Endang Wijaya dari rumah kontrakannya, di Jalan Kusumahatmadja 79 (Menteng), untuk kembali menjadi tahanan biasa. Anas Malik tidak menjelaskan secara bagaimana Endang Wijaya memperoleh kelonggaran dari pengadilan sehingga dapat menikmati tahanan rumah selama 6 bulan. Hanya, dengan "menyabet" Endang Wijaya, tampaknya Laksusda hendak mencoba "mengopstib" badan peradilan. Kalangan hukunn jelas mengecamnya. Namun tak kurang-kurang pula yang melemparkan pujian. Sebuah siaran-pers yang disebarkan Forum Komunikasi Jakarta (FKJ, beralamat di Salemba Tengah 148. Jakarta) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 28 April, boleh dipakai sebagai contoh. FKJ antara lain menyatakan: Menempatkan Endang Wijaya di luar tahanan, walaupun hal itu memang merupakan wewenang pengadilan, "memperkuat dugaan masyarakat sebelumnya, bahwa pengadilan cenderung bersikap 'lembut' terhadap terdakwa kelas kakap." Diharapkan, selanjutnya, Laksusda dapat menindak "kasus-kasus serupa yang selama ini selalu meresahkan masyarakat." Kasus yang mana lagi? Memang sulit disebutkan. Seperti kata orang ketidakberesan pengadilan terasa ada tapi sulit dibuktikan. Hanya yang jelas bukan cuma Endang Wijaya yang mendapat "kelembutan" sikap pengadilan. Mereka mengaku memperolehnya dengan cara baik-baik -- setidaknya proses hukum terpenuhi. Biasanya: mulai dari minta dirawat di rumahsakit. Tapi hati mereka toh ikut terguncang mendengar Endang Wijaya sampai harus berurusan dengan Sabet. Misalnya seorang yang bernama (disingkat) Gobind. Ia sedang kena perkara berat. Pada mulanya Gobind terjerat Operasi 902 (anti penyelundupan). Sampai pernah ditahan di Pulau Nusakambangan. Jaksa berikutnya membawanya ke pengadilan dengan tuduhan subversi. Belum lagi sidang perkaranya selesai Gobind (55 tahun) mendapat "kelonggaran". Pertama-tama ia "dirumahsakitkan" dengan alasan perlu perawatan untuk penyakit sarafnya. Lalu, 26 Februari lalu, dengan jaminan uang Rp 15 juta majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengizinkan Gobind mengakhiri masa penahanannya yang sudah dijalaninya hampir tiga tahun. Sebelumnya, Suresh, anak Gobind, juga dilepaskan dari tahanan setelah lebih dulu juga "dirumahsakitkan". Ia, seperti juga ayahnya, dibebaskan dengan uang jaminan Rp 15 juta. Kewajiban Gobind dan anaknya katanya hanya lapor ke kejaksaan seminggu sekali dan menghadiri sidang pengadilan. Untuk sementara ini kerja mereka "makan dan tidur" saja. Tapi belakangan ini mereka agak gelisah juga: "Takut disabet," kata ayah dan anak importir tekstil ini. GOBIND dan anaknya hanyalah dua dari 23 tahanan eks Perkara 902 yang dibebaskan dari penahanan sementara oleh pengadilan. Yaitu dari sejumlah tahanan, 58 orang, "kelas berat" yang hampir semuanya pernah "dibuang" ke Pulau Nusakambangan. Mereka dibebaskan oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi sambil menunggu keputusan banding. Perkaranya sedang berproses, atau malah ada yang sedang menunggu kapan perkaranya diadili. Hanya 9 orang yang masih tetap dalam tahanan. Satu orang mati di situ, sedang 24 orang yang mendapat penyelesaian dari Bea Cukai. Itu baru kasus untuk mereka yang dituduh penyelundup. Memangnya pesakitan tak boleh ditahan luar? Kalau saja "kelonggaran" demikian itu merata dirasakan semua orang yang kena perkara, menurut Advokat R.O. Tambunan yang anggota MPR, "tentu merupakan suatu kemajuan yang harus disokong." Sebab buat apa main tahan bertahun-tahun kalau tak perlu? "Apalagi penahanan di sini terasa lebih kejam dari hukumannya sendiri, " kata Tambunan. Hanya saja, menurut pengamatan Tambunan, perlakuan "lembut" pengadilan umumnya tidak berlaku untuk pesakitan-pesakitan yang tak berduit. Tapi pengadilan, dengan kebebasan mempernmbangkan, memang punya hak untuk menentukan tahanan mana yang harus berada atau boleh di luar tempat tahanan. Persoalannya kecurigaan terhadap pengadilan, seperti tercermin dari sikap Laksusda belakangan ini cukup kuat di masyarakat. Di satu pihak ada kelonggaran terhadap terdakwa-terdakwa tertentu. Di lain pihak ada dirasakan sikap gampang main tahan terhadap terdakwa lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus