ENDANG Wijaya telah berada di tempat yang semestinya. Yaitu di
Rumahsakit Gatot Subroto (RSPAD) di Jalan Abdurahman Saleh
Jakarta, sejak 29 April lalu. Di situlah, menurut Laksusda Jaya,
tempat yang layak bagi seorang tahanan bila memang perlu
perawatan kesehatan.
Sebab, menurut jurubicara Laksusda Letkol. Anas Malik, tidak
pantas seorang terdakwa seperti Endang Wijaya-(yang dituduh
korupsi & subversi dan merugikan negara sampai lebih Rp 22
milyar) ditahan di sebuah rumah mewah.
Itulah sebabnya Laksusda mengerahkan Operasi Sabet untuk
menyeret Endang Wijaya dari rumah kontrakannya, di Jalan
Kusumahatmadja 79 (Menteng), untuk kembali menjadi tahanan
biasa. Anas Malik tidak menjelaskan secara bagaimana Endang
Wijaya memperoleh kelonggaran dari pengadilan sehingga dapat
menikmati tahanan rumah selama 6 bulan.
Hanya, dengan "menyabet" Endang Wijaya, tampaknya Laksusda
hendak mencoba "mengopstib" badan peradilan. Kalangan hukunn
jelas mengecamnya. Namun tak kurang-kurang pula yang melemparkan
pujian. Sebuah siaran-pers yang disebarkan Forum Komunikasi
Jakarta (FKJ, beralamat di Salemba Tengah 148. Jakarta) di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 28 April, boleh dipakai sebagai
contoh.
FKJ antara lain menyatakan: Menempatkan Endang Wijaya di luar
tahanan, walaupun hal itu memang merupakan wewenang pengadilan,
"memperkuat dugaan masyarakat sebelumnya, bahwa pengadilan
cenderung bersikap 'lembut' terhadap terdakwa kelas kakap."
Diharapkan, selanjutnya, Laksusda dapat menindak "kasus-kasus
serupa yang selama ini selalu meresahkan masyarakat."
Kasus yang mana lagi? Memang sulit disebutkan. Seperti kata
orang ketidakberesan pengadilan terasa ada tapi sulit
dibuktikan. Hanya yang jelas bukan cuma Endang Wijaya yang
mendapat "kelembutan" sikap pengadilan. Mereka mengaku
memperolehnya dengan cara baik-baik -- setidaknya proses hukum
terpenuhi. Biasanya: mulai dari minta dirawat di rumahsakit.
Tapi hati mereka toh ikut terguncang mendengar Endang Wijaya
sampai harus berurusan dengan Sabet.
Misalnya seorang yang bernama (disingkat) Gobind. Ia sedang kena
perkara berat. Pada mulanya Gobind terjerat Operasi 902 (anti
penyelundupan). Sampai pernah ditahan di Pulau Nusakambangan.
Jaksa berikutnya membawanya ke pengadilan dengan tuduhan
subversi.
Belum lagi sidang perkaranya selesai Gobind (55 tahun) mendapat
"kelonggaran". Pertama-tama ia "dirumahsakitkan" dengan alasan
perlu perawatan untuk penyakit sarafnya. Lalu, 26 Februari lalu,
dengan jaminan uang Rp 15 juta majelis hakim di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat mengizinkan Gobind mengakhiri masa
penahanannya yang sudah dijalaninya hampir tiga tahun.
Sebelumnya, Suresh, anak Gobind, juga dilepaskan dari tahanan
setelah lebih dulu juga "dirumahsakitkan". Ia, seperti juga
ayahnya, dibebaskan dengan uang jaminan Rp 15 juta.
Kewajiban Gobind dan anaknya katanya hanya lapor ke kejaksaan
seminggu sekali dan menghadiri sidang pengadilan. Untuk
sementara ini kerja mereka "makan dan tidur" saja. Tapi
belakangan ini mereka agak gelisah juga: "Takut disabet," kata
ayah dan anak importir tekstil ini.
GOBIND dan anaknya hanyalah dua dari 23 tahanan eks Perkara
902 yang dibebaskan dari penahanan sementara oleh pengadilan.
Yaitu dari sejumlah tahanan, 58 orang, "kelas berat" yang hampir
semuanya pernah "dibuang" ke Pulau Nusakambangan.
Mereka dibebaskan oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi
sambil menunggu keputusan banding. Perkaranya sedang berproses,
atau malah ada yang sedang menunggu kapan perkaranya diadili.
Hanya 9 orang yang masih tetap dalam tahanan. Satu orang mati di
situ, sedang 24 orang yang mendapat penyelesaian dari Bea Cukai.
Itu baru kasus untuk mereka yang dituduh penyelundup.
Memangnya pesakitan tak boleh ditahan luar? Kalau saja
"kelonggaran" demikian itu merata dirasakan semua orang yang
kena perkara, menurut Advokat R.O. Tambunan yang anggota MPR,
"tentu merupakan suatu kemajuan yang harus disokong." Sebab buat
apa main tahan bertahun-tahun kalau tak perlu? "Apalagi
penahanan di sini terasa lebih kejam dari hukumannya sendiri, "
kata Tambunan.
Hanya saja, menurut pengamatan Tambunan, perlakuan "lembut"
pengadilan umumnya tidak berlaku untuk pesakitan-pesakitan yang
tak berduit. Tapi pengadilan, dengan kebebasan mempernmbangkan,
memang punya hak untuk menentukan tahanan mana yang harus berada
atau boleh di luar tempat tahanan. Persoalannya kecurigaan
terhadap pengadilan, seperti tercermin dari sikap Laksusda
belakangan ini cukup kuat di masyarakat. Di satu pihak ada
kelonggaran terhadap terdakwa-terdakwa tertentu. Di lain pihak
ada dirasakan sikap gampang main tahan terhadap terdakwa lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini