DI Blitar saya punya sahabat namanya Saleh Ular. Diabukan
berbapak ular melainkan pandai menangkap ular. Cukup dengan
menguak semak dan merogoh lubang tangannya mencekam batang leher
ular dan memijitnya hingga mendelik. Ular yang malang itu
dikuliti, dijual untuk tas dan sepatu nyonya-nyonya baik di
negara yang sedang maupun yang sudah berkembang. Saleh kita ini
seorang pawang ular yang tidak ada sekolahannya, baik sekolah
bersubsidi maupun sekolah inpres. Konon para ular sudah berulang
kali berembuk sesamanya untuk mencatok tengkuk Saleh ini, tapi
sampai tulisan ini dibuat belum tampak realisasinya.
Di Kualatungkal ada seorang kerempeng yang namanya saya sudah
lupa. Dengan sepucuk ranting kering yang jatuh menimpa kepala
sudah cukup membuatnya roboh ke tanah. Tapi dia pawang buaya
yang disegani oleh semua buaya tua muda di sepanjang sungai
Batanghari. Hanya dengan siulan pendek -- bagaikan mandor
memanggil kuli -- buaya dipaksa datang tergopoh-gopoh dan
menyerahkan nasib ke tangannya. Dengan satu pitingan raja sungai
itu sudah bisa berpulang ke alam baka dan kulitnya jadi barang
konsumsi istri pegawai eselon dua ke atas. Selain itu, makelar
yang berikat pinggang kulit buaya berbeda banyak dengan makelar
yang berikat pinggang kulit sapi.
Ada juga memang saya dengar pawang tikus, tapi karena tikus
bukanlah makhluk komersial dan berada di luar jangkauan lembaga
konsumen, pawang sektor ini derajatnya tidak diperhitungkan
orang. Tidak ada misalnya seorang yang mendambakan punya menantu
seorang pawang tikus, karena betapa pun rendah pangkatnya,
seorang karyawan bagian pajak jauh lebih berharga di mata para
tetangga. Oleh sebab itu tidak ada gunanya berpanjang-panjang
membahas pawang tikus ini karena masih banyak urusan yang
mendesak.
Teknologi komputer, cangkok jantung, bionik, kabel laut '
Ancol-Singapura, bahkan mengubah kentang jadi bahan enerji,
samasekali tidak menghambat kelestarian dunia pawang. Malahan
sebaliknya. Jika dulu pawang itu cuma menyangkut kepentingan
sekelompok kecil orang, atau berkaitan dengan cari nafkah sesuap
nasi, sekarang derajat dan arti pentingnya makin menanjak dan
dibutuhkan secara nasional dan internasional. Kalau toh bukan
pawang ular atau buaya, setidak-tidaknya pawang hujan. Panitia
peringatan 25 tahun Konperensi Asia-Afrika di Bandung tidak
cemas kalau-kalau para tamu undangan serta hadirin dan hadirat
dipatuk ular atau digigit buaya, tapi mereka cemas hujan turun
tatkala upacara berlangsung. Pembesar negeri, tamu undangan
seperti halnya seorang bayi --samasekali tidak boleh ketimpa
hujan. Ini akan membuatnya pilek dan bersin tak berkeputusan.
Karena itu, tidak kurang dari 7 pawang hujan sengaja dipasang
agar dengan kekuatan dalam yang ada padanya bisa menahan
turunnya hujan, paling sedikit memohon kerelaan sang hujan agar
kalaulah ada niatan akan jatuh juga ke bumi, harap ditangguhkan
barang satu atau dua hari. Jika permohonan ini kelewat berat,
3-4 jam pun jadilah, pokoknya jangan sampai menimbulkan keonaran
dan kegemparan. Ketika acara berjalan, memang ada sedikit turun
hujan, tapi hujan yang lembut dan ramahtamah sehingga tidak
memaksa penonton lari tunggang langgang. Hal itu barangkali
saja berkat pengerahan 7 pawang pilihan yang mempertaruhkan
ilmunya menahan reservoir langit supaya jangan tumpah sampai
urat-urat lehernya tegang.
Berdasar pengalaman ini, apakah salahnya jika pihak dirjen -
dirjen bagian apa saya belum tahu mengambil prakarsa mengadakan
sarasehan para pawang dari pelbagai rupa disiplin untuk
meningkatkan mutu dan partisipasi mereka dalam hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan nasional serta internasional.
Sarasehan ini bisa diadakan di Hotel Sahid atau di kaki gunung,
soal tempat tidaklah penting betul. Siapa tahu, dari sarasehan
ini akan bermunculan pawang-pawang baru yang belum pernah
terpikirkan sebelumnya, misalnya: pawang banjir, pawang gempa,
pawang bimas supaya kredit yang sudah keluar bisa masuk
sebagaimana mestinya, pawang asembling dan pawang kampus agar
semua yang diharapkan bisa berjalan tanpa halangan suatu apa.
Pawang-pawang ini tidak usah punya status tetap tapi cukup
status diperbantukan seperti halnya Wedana pada Bupati dan
Residen pada Gubernur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini