DI zaman Belanda orang ini disebut SO. Alias School Opziener.
Jepang, di masa penjajahannya, tidak suka pakai bahasa bule.
Lebih sudi menyebutnya sigako. Pada masa kemerdekaan namanya
jadi penilik sekolah -- disingkat PS.
Di masa penjajahan Belanda SO sangat langka. Bayangkan seluruh
kawasan Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur, hanya dipegang
oleh satu SO. Dapat dimengerti betapa terhormat, berwibawa dan
berkuasanya orang ini. Meski pun waktu itu sekolah memang masih
sedikit, seorang SO bagai seorang kepala suku yang amat
disegani. Mendengar aum bunyi sepeda motor (yang sangat kecil
jumlahnya waktu itu) dari Meneer SO, setiap murid maupun para
guru sendiri akan tersirap darahnya.
Dipermak Oknum ABRI
Bila SO hadir, seluruh jantung sekolah berdegup. Murid-murid
yang paling jahil pun dengan tertib melipat tangan. SO bermata
tajam. Ia selalu datang mendadak. Dengan angker ia akan kontak
dengan murid untuk ngetes kecakapan mereka dengan berbagai cara
dalam berbagai soal.
Ia juga akan memasuki kantor sekolah untuk memeriksa kelancaran
administrasi, kebersihan dan susunan buku-buku. Tiap butir debu
bahkan tahi cecak di sela jepitan, tak lepas dari sidikannya.
Semua masuk ke dalam catatan dan otomatis akan menentukan nasib
para guru maupun lebih-lebih guru kepala. Kalau SO selesai
menjalankan tugas, barulah jantung para guru tenang kembali.
Apalagi SO mengakhiri pemeriksaannya dengan cengiran. Adapun SO
yang terkenal di tahun 30-an di Kalimantan, adalah Pattisalano
asal Maluku dan Mohammad Noer dari Sumbawa.
Apa yang dialami oleh para PS, di zaman kemerdekaan ini, adalah
kebalikannya. Kalau ada penilik sekolah yang galak, bisa jadi
bahan ejekan murid-murid. "Dulu kan zaman penjajahan. Sengaja
ditanamkan rasa takut, agar ada jurang antara atasan dan
bawahan," kata Ahmad Dahlan kepada Rachmat Marlim dari TEMPO.
Penilik sekolah Martapura berusia 46 tahun itu menerangkan,
kalau dulu penilik sekolah bersikap memandori, sekarang tugasnya
"dibudayakan" sampai pada usaha-usaha pendekatan saja. Ia
mengakui pengaruh PS zaman merdeka ini memang tidak sebesar di
zaman Belanda.
Menurut Dahlan, banyak hal telah berubah. Terutama sekali apa
yang terjadi di lapangan sudah jauh berbeda dengan apa yang
pernah dicatat sejarah. Misalnya saja, gejala baru yang mungkin
sulit ditemui dulu adalah keterlambatan guru-guru dalam
mengajar. Belum lagi banyak sekolah yang memang kekurangan guru.
Soal kesehatan gedung sekolah yang menyedihkan, karena bocor,
dinding membeler dan peyot, sudah biasa. Yang harus diperhatikan
lagi pada masa ini oleh seorang PS, adalah masaalah-masalah
pribadi yang banyak mempengaruhi lancarnya tugas guru.
"Dari 200 kepala, ada 200 akal dan 200 pula tingkahnya," kata
Dahlan -- yang sebelumnya sempat jadi PS di Banjarbaru. Wilayah
operasi Dahlan di Banjarbaru meliputi zone ABRI. Daerah ini
memerlukan pendekatan khusus: kesabaran, kebijaksanaan dan
keluwesan. Bayangkan, pernah terjadi seorang kepala SD dipermak
oleh oknum ABRI. Padahal oknum itu wali murid.
Guru Pacaran
Pada suatu sore kepala SD itu muncul bercucuran air mata ke
rumah Dahlan. Ia mengadukan nasibnya. Dahlan yang barusan pulang
turne menganjurkan agar ia pulang saja -- sambil berjanji akan
mengurus esok harinya. Tapi kepala sekolah itu ketakutan tak
berani melewati barak tempat kediaman anggota ABRI yang sudah
memberinya bogem mentah. Dahlan menganjurkannya singgah ke
komandan piket. "Masak beliau tak mau melindungi anda. ABRI kan
pelindung rakyat," ujar Dahlan.
Esoknya Dahlan "menghadap" komandan. Ia minta pengertian dan
bantuan. Juga perlindungan. "Kalau kejadian itu berulang lagi,
saya khawatirkan tak ada lagi kepala SD yang mau ditempatkan di
sini. Yang ini pun sudah banyak kali menolak," katanya. Komandan
itu ternyata cukup obyektif -- menurut Dahlan. Ia tidak saja
berusaha mengerti persoalan, tapi juga langsung berniat menindak
anak buahnya yang iseng itu. "Belakangan antara guru kita dan
oknum ABRI itu malahan rukun. Ke mana-mana guru itu dibonceng
oknum itu dengan motornya," kata Dahlan lagi.
Bukan hanya oknum ABRI. Guru-guru perempuan rupanya juga sering
jadi sumber kesulitan. Tiba-tiba saja sekolah jadi sepi,
misalnya, karena semua guru wanita kebetulan sama-sama cuti
hamil. Ada yang ngidam, ada yang sakit terus-menerus tanpa ada
kepastian bagaimana. Timbul kasak-kusuk -- yang sewaktu-waktu
bisa panas. Yang bisa menyelesaikan hanya PS. Kadangkala ada
juga yang main cinta dan bikin skandal -- sehingga yang puyeng
juga PS.
"Apalagi sekarang banyak guru Inpres yang muda-muda. Tingkahnya
gatal-gatal mau digaruk," kata Dahlan. Ia sendiri pernah
mengawinkan sesama guru bawahannya, karena itu jalan
satu-satunya untuk menyelesaikan apa yang sudah mereka "rintis".
Seorang guru wanita, yang punya pacar di Balai Kota, sekali
tempo mengirim surat kepada pacarnya. Surat itu dititipkan
kepada muridnya sendiri. Murid itu, entah sedang mengantuk atau
sedang kumat jahilnya, tidak menyampaikan surat itu kepada sang
Romeo. Ia membawanya ke meja Dahlan. Waktu dibuka, isinya
ternyata sebuah beslit yang harus disalin. Tapi yang lebih
penting ternyata lampirannya sebuah surat asmara yang luar biasa
romantisnya. Dahlan mengembalikan surat itu. Guru wanita itu
pucat pasi -- kemudian menangis. Belakangan ia berhasil juga
menikah dengan pacarnya, sebagai isteri kedua. Sayang sekali
setelah beranak seorang, mereka bercerai.
Selama bertugas di Banjarbaru, sebagai PS terus terang Dahlan
mengaku jarang beli kain baju-celana. Ada saja yang kirim paket.
Apalagi waktu pindah ke Martapura: kado kenang-kenangan banyak
sekali. Tapi ini hanya tip kecil dari kebahagiaannya menjabat
komandan sekolah-sekolah. Terutama karena pekerjaan itu tidak
menghadapkan ia pada kertas-kertas saja, tapi pada begitu banyak
manusia. Berkali-kali gelar pelajar teladan propinsi untuk SD
digondol oleh SD di wilayahnya. "Itulah sesungguhnya yang
menyenangkan saya," katanya.
Sandal Jepit
Di Kalimantan yang masih tetap terbilang perawan, kesulitan
seorang PS adalah soal transportasi. Menurut kertas, setiap
bulan, seorang PS harus menyediakan 20 hari kerja di lapangan.
Di musim hujan kondisi setempat membikin ketentuan kertas ini
mustahil. Djailani, seorang PS berusia 50 tahun di daerah
Gambut, Kabupaten Banjar, memberi bukti-bukti. Ia membawahi 19
buah SD/TK. Letaknya berserakan -- hanya dapat dicapai lewat
pematang sawah. Kalau sorenya hujan, jangan harap bisa sampai ke
tempat itu esoknya.
Djailani yang tua tapi rajin itu, satu kali dapat tugas dari
atasannya secara mendesak. Motor Yamahanya berusaha menembus
becek yang disebabkan hujan. Apa lacur. Belum sampai di tujuan
motor Djailani singgah dulu di sungai --nyelonong tak
terkendalikan lagi. Dengan susah payah, dibalut lumpur, ia ke
luar dari sungai. Tapi dengan perasaan senang. Lho, kenapa?
"Kalau bos sudah tahu sendiri bagaimana kami yang bertugas di
lapangan begini, kiranya cukup difahami ....," ujar Djailani.
Sebab, kebetulan sekali atasannya waktu itu ikut serta.
Pengiriman surat-surat juga mengalami hambatan. Tidak ada
petugas pos menggerayangi daerah becek dan terjepit kesunyian
itu. Untuk mengundang rapat dinas misalnya, surat disampaikan
secara estafet dari tangan ke tangan. Untuk itu diperlukan 3
hari, supaya guruguru bisa dikumpulkan. Dan yang mengharukan
Djailani, kadangkala kepergok guru-guru mengajar dengan sandal
jepit. Sepatu, di pematang yang becek, hanya merupakan beban
sopan santun yang sungguh mengganggu. Seorang PS hanya bisa
memaklumi saa segala soal ini.
Syoekranie (47 tahun), PS yang pernah bekerja di Perbukitan
Pengaron, malahan tidak bisa menggunakan motor: ia menempuh riam
dengan rakit, lalu jalan tikus di liku-liku bukit. Tak jarang
digerayangi lintah dan alimatak -- meskipun sudah pakai
persiapan.
Tahun 1966-1968, Syoekranie melaporkan betapa masih rawannya
keadaan di sana. Anak-anak SD belajar dengan bangku reyot dalam
gubuk sekolah yang sakit. Gurunya digaji sendiri oleh penduduk
setempat dengan gotong-royong, maklum SD dan guru Inpres waktu
itu belum ada. Betapa gembira, terkejut dan terharunya mereka
kalau PS datang. Bahkan penduduk setempat ikut melonjak.
"Malamnya pasti kami disambut tarian tradisionil, disuguhi
daging rusa perburuan, nikmat dan indah sekali rasanya," ujar
Syoekranie. "Rasanya terlipur segala kepenatan dan luka kena
duri di perjalanan. Mereka jujur, rukun, polos, hormat kepada
tamu." Yang diceritakannya adalah masyarakat Kaharingan di Bukit
Meratus.
Gerilya
M. Muhiddin, kini berusia 64 tahun, adalah penilik sekolah,
sigako dan juga school opziener. Penilik tiga aman ini baru
tahun 1970 pensiun. Kini menetap di Martapura. Ia telah
menjelajahi seluruh pelosok Kalimantan Selatan. Menurut orang
tua ini, menjadi sigako yang paling berat. Wakil bunken (sejenis
bupati sekarang) selalu menguntitnya. Si kate itu rupanya yakin
benar bahwa pribumi tidak boleh dipercaya.
Pada suatu kali Muhidin memasuki perairan Sabamban. Sungainya
penuh rumpun nipah, gelap dan banyak buaya. Ia sudah melirik ada
buaya yang lapar sedang mengintai di rumpun rumbia. Dia kasih
laporan, tapi wakil bunken itu tidak mengerti. Dia tetap kasih
perintah maju. Muhiddin terpaksa membangkang: tukang sampan
dipaksa mundur. Tak berapa lama kemudian sampan terbalik. Buaya
itu pun bergerak. Untung saja gerakannya lamban, karena ekornya
rupanya terjepit rumpun nipah. Baru Jepang itu mengangguk kasih
arigato gozaimasu.
Di zaman Belanda Muhiddin merasa dirinya serba salah. Ia
bertugas di daerah Barai, di mana seringkali terjadi
penghadangan gerilyawan anak buah Hasan Basri. Kalau dia rapat
dengan Belanda sebagai seorang PS, terang akan dibetot gerilya.
Kalau ketahuan baik dengan gerilya, pasti disikat Belanda.
Padahal tugas seorang SO memang turne ke desa di
pelosok-pelosok. Tak urung ada guru yang diculik, ditawan di
pedalaman lalu disiksa. "Saya untung terluput dari jepitan itu.
Mungkin karena ada yang memberitahu para gerilya itu bahwa Hasan
Basri adalah bekas murid saya ketika HIS dulu," kata Muhiddin
mengenang. "Di mana-mana guru ketika itu masih dihormati
penduduk."
Selama 36 tahun menilik sekolah, Muhiddin tak mendapat apa-apa
sebagai titik terakhir pengabdiannya. "Yang saya ingat, waktu
aman Jepang saya pernah dapat penghargaan tunjangan Rp 50
setiap bulan, karena pandai berbahasa Jepang di muka kelas,"
katanya menjelaskan. Lain dari itu nol. Pesangon pensiun saja
menurut Muhiddin tak pernah diterimanya, kendati ia telah
merengek berkali-kali. Yang ada sekarang hanya pengalaman melola
guru. "Saya seperti meniup balon. Hati-hati. Setelah
menggelembung, diusap-usap, lalu dibiarkan mengudara," ujarnya
dengan tenang. Menjadi bukan miliknya lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini