Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Seperti meniup balon

Jabatan penilik sekolah di zaman belanda disebut so (school opziener), di zaman jepang disebut sigako. di zaman merdeka berbagai masalah muncul, fasilitas, sarana, kekurangan guru & masalah pribadi. (sd)

29 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI zaman Belanda orang ini disebut SO. Alias School Opziener. Jepang, di masa penjajahannya, tidak suka pakai bahasa bule. Lebih sudi menyebutnya sigako. Pada masa kemerdekaan namanya jadi penilik sekolah -- disingkat PS. Di masa penjajahan Belanda SO sangat langka. Bayangkan seluruh kawasan Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur, hanya dipegang oleh satu SO. Dapat dimengerti betapa terhormat, berwibawa dan berkuasanya orang ini. Meski pun waktu itu sekolah memang masih sedikit, seorang SO bagai seorang kepala suku yang amat disegani. Mendengar aum bunyi sepeda motor (yang sangat kecil jumlahnya waktu itu) dari Meneer SO, setiap murid maupun para guru sendiri akan tersirap darahnya. Dipermak Oknum ABRI Bila SO hadir, seluruh jantung sekolah berdegup. Murid-murid yang paling jahil pun dengan tertib melipat tangan. SO bermata tajam. Ia selalu datang mendadak. Dengan angker ia akan kontak dengan murid untuk ngetes kecakapan mereka dengan berbagai cara dalam berbagai soal. Ia juga akan memasuki kantor sekolah untuk memeriksa kelancaran administrasi, kebersihan dan susunan buku-buku. Tiap butir debu bahkan tahi cecak di sela jepitan, tak lepas dari sidikannya. Semua masuk ke dalam catatan dan otomatis akan menentukan nasib para guru maupun lebih-lebih guru kepala. Kalau SO selesai menjalankan tugas, barulah jantung para guru tenang kembali. Apalagi SO mengakhiri pemeriksaannya dengan cengiran. Adapun SO yang terkenal di tahun 30-an di Kalimantan, adalah Pattisalano asal Maluku dan Mohammad Noer dari Sumbawa. Apa yang dialami oleh para PS, di zaman kemerdekaan ini, adalah kebalikannya. Kalau ada penilik sekolah yang galak, bisa jadi bahan ejekan murid-murid. "Dulu kan zaman penjajahan. Sengaja ditanamkan rasa takut, agar ada jurang antara atasan dan bawahan," kata Ahmad Dahlan kepada Rachmat Marlim dari TEMPO. Penilik sekolah Martapura berusia 46 tahun itu menerangkan, kalau dulu penilik sekolah bersikap memandori, sekarang tugasnya "dibudayakan" sampai pada usaha-usaha pendekatan saja. Ia mengakui pengaruh PS zaman merdeka ini memang tidak sebesar di zaman Belanda. Menurut Dahlan, banyak hal telah berubah. Terutama sekali apa yang terjadi di lapangan sudah jauh berbeda dengan apa yang pernah dicatat sejarah. Misalnya saja, gejala baru yang mungkin sulit ditemui dulu adalah keterlambatan guru-guru dalam mengajar. Belum lagi banyak sekolah yang memang kekurangan guru. Soal kesehatan gedung sekolah yang menyedihkan, karena bocor, dinding membeler dan peyot, sudah biasa. Yang harus diperhatikan lagi pada masa ini oleh seorang PS, adalah masaalah-masalah pribadi yang banyak mempengaruhi lancarnya tugas guru. "Dari 200 kepala, ada 200 akal dan 200 pula tingkahnya," kata Dahlan -- yang sebelumnya sempat jadi PS di Banjarbaru. Wilayah operasi Dahlan di Banjarbaru meliputi zone ABRI. Daerah ini memerlukan pendekatan khusus: kesabaran, kebijaksanaan dan keluwesan. Bayangkan, pernah terjadi seorang kepala SD dipermak oleh oknum ABRI. Padahal oknum itu wali murid. Guru Pacaran Pada suatu sore kepala SD itu muncul bercucuran air mata ke rumah Dahlan. Ia mengadukan nasibnya. Dahlan yang barusan pulang turne menganjurkan agar ia pulang saja -- sambil berjanji akan mengurus esok harinya. Tapi kepala sekolah itu ketakutan tak berani melewati barak tempat kediaman anggota ABRI yang sudah memberinya bogem mentah. Dahlan menganjurkannya singgah ke komandan piket. "Masak beliau tak mau melindungi anda. ABRI kan pelindung rakyat," ujar Dahlan. Esoknya Dahlan "menghadap" komandan. Ia minta pengertian dan bantuan. Juga perlindungan. "Kalau kejadian itu berulang lagi, saya khawatirkan tak ada lagi kepala SD yang mau ditempatkan di sini. Yang ini pun sudah banyak kali menolak," katanya. Komandan itu ternyata cukup obyektif -- menurut Dahlan. Ia tidak saja berusaha mengerti persoalan, tapi juga langsung berniat menindak anak buahnya yang iseng itu. "Belakangan antara guru kita dan oknum ABRI itu malahan rukun. Ke mana-mana guru itu dibonceng oknum itu dengan motornya," kata Dahlan lagi. Bukan hanya oknum ABRI. Guru-guru perempuan rupanya juga sering jadi sumber kesulitan. Tiba-tiba saja sekolah jadi sepi, misalnya, karena semua guru wanita kebetulan sama-sama cuti hamil. Ada yang ngidam, ada yang sakit terus-menerus tanpa ada kepastian bagaimana. Timbul kasak-kusuk -- yang sewaktu-waktu bisa panas. Yang bisa menyelesaikan hanya PS. Kadangkala ada juga yang main cinta dan bikin skandal -- sehingga yang puyeng juga PS. "Apalagi sekarang banyak guru Inpres yang muda-muda. Tingkahnya gatal-gatal mau digaruk," kata Dahlan. Ia sendiri pernah mengawinkan sesama guru bawahannya, karena itu jalan satu-satunya untuk menyelesaikan apa yang sudah mereka "rintis". Seorang guru wanita, yang punya pacar di Balai Kota, sekali tempo mengirim surat kepada pacarnya. Surat itu dititipkan kepada muridnya sendiri. Murid itu, entah sedang mengantuk atau sedang kumat jahilnya, tidak menyampaikan surat itu kepada sang Romeo. Ia membawanya ke meja Dahlan. Waktu dibuka, isinya ternyata sebuah beslit yang harus disalin. Tapi yang lebih penting ternyata lampirannya sebuah surat asmara yang luar biasa romantisnya. Dahlan mengembalikan surat itu. Guru wanita itu pucat pasi -- kemudian menangis. Belakangan ia berhasil juga menikah dengan pacarnya, sebagai isteri kedua. Sayang sekali setelah beranak seorang, mereka bercerai. Selama bertugas di Banjarbaru, sebagai PS terus terang Dahlan mengaku jarang beli kain baju-celana. Ada saja yang kirim paket. Apalagi waktu pindah ke Martapura: kado kenang-kenangan banyak sekali. Tapi ini hanya tip kecil dari kebahagiaannya menjabat komandan sekolah-sekolah. Terutama karena pekerjaan itu tidak menghadapkan ia pada kertas-kertas saja, tapi pada begitu banyak manusia. Berkali-kali gelar pelajar teladan propinsi untuk SD digondol oleh SD di wilayahnya. "Itulah sesungguhnya yang menyenangkan saya," katanya. Sandal Jepit Di Kalimantan yang masih tetap terbilang perawan, kesulitan seorang PS adalah soal transportasi. Menurut kertas, setiap bulan, seorang PS harus menyediakan 20 hari kerja di lapangan. Di musim hujan kondisi setempat membikin ketentuan kertas ini mustahil. Djailani, seorang PS berusia 50 tahun di daerah Gambut, Kabupaten Banjar, memberi bukti-bukti. Ia membawahi 19 buah SD/TK. Letaknya berserakan -- hanya dapat dicapai lewat pematang sawah. Kalau sorenya hujan, jangan harap bisa sampai ke tempat itu esoknya. Djailani yang tua tapi rajin itu, satu kali dapat tugas dari atasannya secara mendesak. Motor Yamahanya berusaha menembus becek yang disebabkan hujan. Apa lacur. Belum sampai di tujuan motor Djailani singgah dulu di sungai --nyelonong tak terkendalikan lagi. Dengan susah payah, dibalut lumpur, ia ke luar dari sungai. Tapi dengan perasaan senang. Lho, kenapa? "Kalau bos sudah tahu sendiri bagaimana kami yang bertugas di lapangan begini, kiranya cukup difahami ....," ujar Djailani. Sebab, kebetulan sekali atasannya waktu itu ikut serta. Pengiriman surat-surat juga mengalami hambatan. Tidak ada petugas pos menggerayangi daerah becek dan terjepit kesunyian itu. Untuk mengundang rapat dinas misalnya, surat disampaikan secara estafet dari tangan ke tangan. Untuk itu diperlukan 3 hari, supaya guruguru bisa dikumpulkan. Dan yang mengharukan Djailani, kadangkala kepergok guru-guru mengajar dengan sandal jepit. Sepatu, di pematang yang becek, hanya merupakan beban sopan santun yang sungguh mengganggu. Seorang PS hanya bisa memaklumi saa segala soal ini. Syoekranie (47 tahun), PS yang pernah bekerja di Perbukitan Pengaron, malahan tidak bisa menggunakan motor: ia menempuh riam dengan rakit, lalu jalan tikus di liku-liku bukit. Tak jarang digerayangi lintah dan alimatak -- meskipun sudah pakai persiapan. Tahun 1966-1968, Syoekranie melaporkan betapa masih rawannya keadaan di sana. Anak-anak SD belajar dengan bangku reyot dalam gubuk sekolah yang sakit. Gurunya digaji sendiri oleh penduduk setempat dengan gotong-royong, maklum SD dan guru Inpres waktu itu belum ada. Betapa gembira, terkejut dan terharunya mereka kalau PS datang. Bahkan penduduk setempat ikut melonjak. "Malamnya pasti kami disambut tarian tradisionil, disuguhi daging rusa perburuan, nikmat dan indah sekali rasanya," ujar Syoekranie. "Rasanya terlipur segala kepenatan dan luka kena duri di perjalanan. Mereka jujur, rukun, polos, hormat kepada tamu." Yang diceritakannya adalah masyarakat Kaharingan di Bukit Meratus. Gerilya M. Muhiddin, kini berusia 64 tahun, adalah penilik sekolah, sigako dan juga school opziener. Penilik tiga aman ini baru tahun 1970 pensiun. Kini menetap di Martapura. Ia telah menjelajahi seluruh pelosok Kalimantan Selatan. Menurut orang tua ini, menjadi sigako yang paling berat. Wakil bunken (sejenis bupati sekarang) selalu menguntitnya. Si kate itu rupanya yakin benar bahwa pribumi tidak boleh dipercaya. Pada suatu kali Muhidin memasuki perairan Sabamban. Sungainya penuh rumpun nipah, gelap dan banyak buaya. Ia sudah melirik ada buaya yang lapar sedang mengintai di rumpun rumbia. Dia kasih laporan, tapi wakil bunken itu tidak mengerti. Dia tetap kasih perintah maju. Muhiddin terpaksa membangkang: tukang sampan dipaksa mundur. Tak berapa lama kemudian sampan terbalik. Buaya itu pun bergerak. Untung saja gerakannya lamban, karena ekornya rupanya terjepit rumpun nipah. Baru Jepang itu mengangguk kasih arigato gozaimasu. Di zaman Belanda Muhiddin merasa dirinya serba salah. Ia bertugas di daerah Barai, di mana seringkali terjadi penghadangan gerilyawan anak buah Hasan Basri. Kalau dia rapat dengan Belanda sebagai seorang PS, terang akan dibetot gerilya. Kalau ketahuan baik dengan gerilya, pasti disikat Belanda. Padahal tugas seorang SO memang turne ke desa di pelosok-pelosok. Tak urung ada guru yang diculik, ditawan di pedalaman lalu disiksa. "Saya untung terluput dari jepitan itu. Mungkin karena ada yang memberitahu para gerilya itu bahwa Hasan Basri adalah bekas murid saya ketika HIS dulu," kata Muhiddin mengenang. "Di mana-mana guru ketika itu masih dihormati penduduk." Selama 36 tahun menilik sekolah, Muhiddin tak mendapat apa-apa sebagai titik terakhir pengabdiannya. "Yang saya ingat, waktu aman Jepang saya pernah dapat penghargaan tunjangan Rp 50 setiap bulan, karena pandai berbahasa Jepang di muka kelas," katanya menjelaskan. Lain dari itu nol. Pesangon pensiun saja menurut Muhiddin tak pernah diterimanya, kendati ia telah merengek berkali-kali. Yang ada sekarang hanya pengalaman melola guru. "Saya seperti meniup balon. Hati-hati. Setelah menggelembung, diusap-usap, lalu dibiarkan mengudara," ujarnya dengan tenang. Menjadi bukan miliknya lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus