APA yang dinamakan "puisi konkrit", kelihatannya tak lebih dari
Pameran Seni Rupa Baru. Sutardji Caloum Bachri bilang, dalam
puisi konkrit kata-kata diletakkan dalam suatu konstelasi
tertentu, hingga menimbulkan komunikasi yang lebih kreatif dan
Intens. "Kalau kata STOP kita letakkan di aspal highway," kata
Tardji, "maka kehadirannya akan memberikan makna lain bila kata
itu terletak di pantat seorang gadis bahenol."
Sementara Danarto yang pelukis dan penulis cerita pendek,
menitik beratkan pada efisiensi penggunaan kata. Ia yakin dengan
demikian akan tersingkap dan terungkap makna dan misteri secara
lebih efektif. "Artinya publik bisa lebih mudah mencerna gagasan
pembuat puisi, sehingga terciptalah puisi jasa di yang lebih
berdarah dan berdaging."
Lain lagi apa yang dipikirkan Slamet Sukirnanto. Penyair yang
bekas angota DPR ini tak suka kalau puisi konkrit diberi
julukan "kontemporer." Ia menyatakan "puisi" semacam itu sudah
dikenal sejak ribuan tahun. Sejak dikenalnya tulisan hyerogliph
di Mesir. Ia mengatakan bahwa "puisi konkrit" hanya sebuah cara
untuk mengemukakan kemungkinan lain. Cara yang berkembang awal
abad XX di Eropa ini memberi kelengkapan pada puisi yang semula
hanya diresapi dengan membacanya. Kini dengan
"mengkonkritkannya" ia tidak hanya dibaca tapi juga bisa
dilihat, didengar dan diimajinasikan secara langsung.
Ikra Nagara, salah seorang peserta, menjelaskan bahwa "puisi
konkrit" itu melebur 2 macam keinginan. Keinginan melukis,
menata susunan kaligrafis, tipografis, dan keinginan menyusun
puisi sehingga menjadi suatu perwujudan. "Dengan begitu, puisi
konkrit merupakan subversi dari semua definisi, lukisan yang
mensubversi puisi atau sebaliknya," kata Ikra.
"Di bumi kita, mantra yang sudah kita kenal sejak dulu,
merupakan puisi konkrit juga," kata Sutardji menambahkan. "Kita
kan cuma menangkap talu genta yang didentingkan moyang kita
dulu!" Yah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini