Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menangkap Genta Nenek Moyang

Sutardji calzoum bachri, danarto, slamet sukirnanto dan ikra nagara sebagai peserta pameran puisi konkrit mencoba menjelaskan tentang puisi konkrit. dengan mengkonkritkannya, penyampaian materi lebih jelas. (sr)

29 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang dinamakan "puisi konkrit", kelihatannya tak lebih dari Pameran Seni Rupa Baru. Sutardji Caloum Bachri bilang, dalam puisi konkrit kata-kata diletakkan dalam suatu konstelasi tertentu, hingga menimbulkan komunikasi yang lebih kreatif dan Intens. "Kalau kata STOP kita letakkan di aspal highway," kata Tardji, "maka kehadirannya akan memberikan makna lain bila kata itu terletak di pantat seorang gadis bahenol." Sementara Danarto yang pelukis dan penulis cerita pendek, menitik beratkan pada efisiensi penggunaan kata. Ia yakin dengan demikian akan tersingkap dan terungkap makna dan misteri secara lebih efektif. "Artinya publik bisa lebih mudah mencerna gagasan pembuat puisi, sehingga terciptalah puisi jasa di yang lebih berdarah dan berdaging." Lain lagi apa yang dipikirkan Slamet Sukirnanto. Penyair yang bekas angota DPR ini tak suka kalau puisi konkrit diberi julukan "kontemporer." Ia menyatakan "puisi" semacam itu sudah dikenal sejak ribuan tahun. Sejak dikenalnya tulisan hyerogliph di Mesir. Ia mengatakan bahwa "puisi konkrit" hanya sebuah cara untuk mengemukakan kemungkinan lain. Cara yang berkembang awal abad XX di Eropa ini memberi kelengkapan pada puisi yang semula hanya diresapi dengan membacanya. Kini dengan "mengkonkritkannya" ia tidak hanya dibaca tapi juga bisa dilihat, didengar dan diimajinasikan secara langsung. Ikra Nagara, salah seorang peserta, menjelaskan bahwa "puisi konkrit" itu melebur 2 macam keinginan. Keinginan melukis, menata susunan kaligrafis, tipografis, dan keinginan menyusun puisi sehingga menjadi suatu perwujudan. "Dengan begitu, puisi konkrit merupakan subversi dari semua definisi, lukisan yang mensubversi puisi atau sebaliknya," kata Ikra. "Di bumi kita, mantra yang sudah kita kenal sejak dulu, merupakan puisi konkrit juga," kata Sutardji menambahkan. "Kita kan cuma menangkap talu genta yang didentingkan moyang kita dulu!" Yah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus