DUBES kita di Kuwait, Munawir Syadzali MA menyimpulkan bahwa
politik di Timur Tengah tak ubahnya dune sand. Bukit pasir yang
dalam sekejapan mata bisa berganti wujud menurut rabahan angin.
Akuur . . . ! Malah berani tambah, sikap Orang Arab pun bagai
dune sand. Amat emosionil dan impulsif. Sehingga bagi yang
memaklumi gampang memetik manfaat. Sebaliknya, buat yang tak
mengerti pasti mengumpat kesal habis-habisan.
***
Kata orang, kesan pertama mewarnai kelanjutan persahabatan. Ada
baiknya kita menyimak tata-krama mereka dalam berkenalan dan
bersua sobat. Yakni, lafazkan ahlan wa sahlan dan peluk erat
erat sambil cium kedua pipinya. Dan, dia akan berlaku sama. Aha
. . ., terasa geli buat kita yang lelaki. Tetapi ini adalah
pertanda keterbukaan dan kehangatan. Maka kalau enggan,
sekurang-kurangnya jabatlah tangannya kuat-kuat dan baru
lepaskan beberapa saat kemudian sesudah melontarkan pertanyaan
basa-basi, kayak keif halak (apa kabar).
Perkara "soen-soen"-an ini, ada anekdotnya. Ketika di perbatasan
Yordanian kami tidak segan-segan obral cium kepada petugas
duane. Yah . . . demi licinnya urusan surat-surat mobil. Lantas,
seorang Jerman berseloroh: "Kok mau anda menciumnya. Saya baru
melakukannya jika dia sudah menahan surat mobilku 3 hari."
Dan sebuah cuplikan lelucon dari buku saku Oil Sheikhsnya Linda
Blandford. Konon sekretaris pribadi PM Inggeris masuk ke kamar
bossnya dengan tergopoh-gopoh: "Excuse me, sir. Paus dan seorang
raja minyak sedang menunggu di luar dan ingin bertemu dengan
bapak." "Oh, dear," Perdana Menteri mengesah. "Mana yang harus
saya dahulukan?". Sang sekretaris membalas: "Saya usulkan Paus
saja yang pertama karena bapak cuma harus mencium cincinnya."
****
Hendak bertemu dengan pejabat pemerintah, direktur perusahaan
dan rektor universitas? Ah ...., tidak usah repot-repot bikin
appointment terlebih dahulu. Toh pintu kamar kerja mereka setiap
saat terbuka bagi semua orang. Open office!
Para tamu sekaligus tumplek dalam kamar dan menjejali kursi yang
tersedia. Pengaturan kursinya khas! Selain sejumlah kursi tamu,
selalu ada sebuah kursi khusus yang diletakkan di samping tuan
rumah. Bergantian tamu penting atau tarnu yang berurusan
istimewa menempati kursi tunggal ini. Mereka berbincang dengan
muka hampir bersentuhan dan gerak bibir bisik-bisik. Begini agar
tidak terdengar oleh tetamu lain.
Tau betapa seriusnya sang tuan rumah bercakap dengan tamunya,
tak sungkan seorang tamu yang nyelonong masuk langsung
menyapanya. Eh . . ., bukannya berang, malah dia beranjak dari
kursinya dan mencium tamunya serta bercengkerama dengan santai
sekian lama. Maka tidak usah gusar pula bila percakapan kita
tersela oleh tamu seperti ini.
Baru duduk sudah datang pelayan menyodorkan teh. Gelasnya unik.
Besaran dikit dari seloki wiski, berwarna putih bening dan
berbentuk bulat dengan mulut gelas yang melengkung keluar buat
tempat bibir memarkir. Isinya sekali teguk tersedot habis.
Dengan rajin si pelayan sebentar-sebentar masuk dan kontan
menuang isi cereknya pada gelas tetamu yang kosong. Oho . . .,
saban kosong ditambah lagi! Mau minta setop? Ada 'sandi'
spesial. Yaitu, goyang-goyangkan gelas kosong itu dengan
punggung tangan menghadap ke pelayan. Dan seusainya gelas kita
otomatis diangkat oleh pelayan, tidak tunggu sampai kita pulang.
****
Orang Jawa punya besok. Orang Spanyol punya manyana. Tidak
ketinggalan, Orang Arab punya bukrah. Maka selain pohon kurma,
negeri padang pasir ini ditumbuni subur oleh "janji mulur" dan
"janji batal".
Misalnya suatu ketika anda mereparasi mobil ke bengkel dan
bertanya: "Kapan selesai?". Dia akan menjawab: "Insya Allah,
bukrah." Ya, ia bisa berarti besok atawa besok-besok! Dan jika
anda mendesaknya akibat keciprat tunda-tunda melulu, dia akan
menunjuk dengan nada manis: "Ma'alish, ma'alish . . . !". Alaa .
. ., tak apa-apa. Sabar, sabar! Kira-kira begitu maksudnya. Maka
sungguh kena local staff KBRI di Baghdad menggelari janji arab
seperti "IB". Insya Allah bukrah dan ma'alish!
***
Janji arab boleh "IBM". Tapi pemberian arab seringkali
membelalakkan mata. Bayangkan antara Medinah dan Riyadh, entah
berapa banyak jembatan yang dibangun di atas padang pasir hanya
semata-mata untuk membikin jalan mendatar terus-menerus, tidak
lagi sekali-sekali melekuk ke bawah. Nah, siapa yang mengenyam
anugerah ini kalau bukan pemborong asing.
Lalu di ibukota Riyadh, pembongkaran jalan, pengerjaan dol dan
sebagainya menonjol di mana-mana. Ini bisa menunjukkan pesatnya
pembangunan berlangsung. Hanya saja, kalau yang dibongkar itu
adalah bagian yang baru saja dimuluskan maka kesan yang timbul
akan macam-macam. Patutlah seorang penduduknya bercanda: "Jalan
ini dibongkar lagi karena cincin si pemborong Orang Amerika itu
tertinggal di dalam."
Petro dollar itu memikat. Seluruh bangsa berusaha merebutinya.
Angkat topi pada Korea Selatan yang sebentar saja telah
kewalahan mengepit proyek dari berbagai lumbung petro dollar.
Syukur pula, pemerintah dan pengusaha kita sudah turut
memalingkan perhatian ke situ. Cuma kesemuanya ini barulah
berupa gapaian lemah yang sudah puas ketika berhasil menggenggam
order nan kecil.
Supaya petro dollar itu dapat terkeduk lebih banyak perlu
dicamkan bahwa "kecap No. 1" campur pujian hendaknya menyertai
bundel analisa ekonomis-finansiil. Bahwa pendekatan emosionil
layaknya membarengi pendekatan rasionil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini