Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dianjurkan: Makan Tikus

Ahli-ahli gizi dari FAO menganjurkan selera makan tradisionil yang mengkonsumsikan protein selain sapi, daging dan ayam. Kadar lemak daging tikus rendah. Kelestarian ekosistem binatang hutan terancam.(ling)

29 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEGEMARAN orang Minahasa melahap berbagai jenis sumber protein hewani yang berkeliaran di hutan, telah mendapat keplokan FAO. Seperti diberitakan oleh AP dua minggu lalu, ahli-ahli gizi dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB itu menganjurkan perluasan konsumsi 'daging hutan' (bushmeat) -- seperti tikus hutan, monyet, ular, dan sebagainya. Tujuannya mengatasi ketekoran bahan pangan di berbagai pelosok Dunia Ketiga. "Tak ada bahayanya melahap tikus atau monyet di mana saja, selama binatang itu sehat," ujar Congora Lopez, kepala dinas gizi FAO di Roma. Bagiannya, baru saja menerbitkan laporan hasil riset menu 'asli' berbagai bangsa di dunia. Beberapa jenis tikus di Ghana misalnya, "dipercayai memiliki nilai medis tertentu sehingga diberikan pada anakanak di sana yang sakit batuk." Begitu menurut laporan itu. Tikus, rupanya paling populer sebagai makanan rakyat di Muangthai. Di sana secara teratur diselenggarakan perburuan tikus liar, yang kemudian dilahap bersama-sama dalam pesta rakyat yang diumumkan secara luas. Pada saat itulah, tikus hasil perburuan massal itu dipanggang ramai-ramai diiringi tari dan nyanyi. Selain Ghana dan Muangthai, tikus raksasa yang beratnya sampai 50 kg merupakan santapan lezat di berbagai negara Afrika lain, tapi juga di Argentina dan Venezuela, Amerika Latin. Sementara itu, tikus air juga dimakan orang di Spanyol dan Yunani. Taksir Lopez "konsumsi tikus di seluruh dunia setiap tahun rata-rata lebih dari sejuta ekor." Pantangan Selain tikus, orang Cina juga doyan makan ular, orang Mexiko doyan cacing, rakyat Idi Amin di Uganda menggemari belalang, sementara satu kaleng semut asin di Colombia, Amerika Latin dijual di pasar seharga 20 dollar. "Buat orang Barat, memang masih banyak pantangan untuk memakan daging hutan belukar ini," begitu Lopez mengakui. Makanya sukar dibayangkan ada seekor tikus atau monyet bergelantungan di toko daging di Amerika Utara atau Eropa. Bukan cuma karena negara-negara Barat belum merasakan krisis daging, tapi terlebih karena "hambatan psikologis" itu. Tapi sebenarnya, "nilai protein daging tikus seimbang dengan daging sapi atau ayam, sementara kadar lemaknya lebih rendah." Laporan seksi gizi FAO yang dikepalai Congora Lopez itu juga mengecam para sarjana Barat, yang selama ini telah 'melupakan' sumber protein hutan belukar ini. "Mereka cenderung meneruskan begitu saja gagasan tentang pangan yang mereka warisi dalam lingkungan kebudayaannya sendiri, padahal gagasan itu mungkin sangat jauh dan tak relevan bagi rakyat negeri berkembang yang mau ditolongnya. Tapi mengapa kita tak mulai memikirkan sumber pangan tradisionil ini, yang sering kali tak sampai tercatat dalam statistik negeri-negeri berkembang akibat pantangan orang Barat?" kata para penulis laporan FAO itu. Kecaman FAO itu sungguh mirip dengan apa yang pernah dikemukakan Menteri Kesehatan Perancis, Simone Veil. Orang ini pernah menuduh dunia Barat merusak kebiasaan makan rakyat di negeri-negeri berkembang dengan memaksakan selera makan dan minum orang Barat pada mereka. Seorang ahli satwa FAO, Anton de Vos juga membenarkan pandangan para rekannya di bidang gizi. Katanya kepada wartawan AP di Roma, "binatang liar dapat dimanfaatkan dengan lebih efisien untuk sumber pangan." Mengapa? "Karena binatang liar ini sudah lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan ekologis setempat, lebih mampu hidup dari sumber tanaman setempat dan memerlukan lebih sedikit air," begitu alasan de Vos. Balas Dendam Tak disebutkan apakah EiAO juga sudah meneliti kebiasaan makan rakyat di Indonesia. Namun di sini sudah bukan rahasia lagi, bahwa banyak suku bangsa yang tinggal di kawasan pedesaan dekat hutan -- bahkan juga sebagian orang kota -- juga doyan melahap pelbagai jenis binatang liar. Babi hutan alias celeng misalnya, antara lain diburu dan dilahap sebagai langkah pencegahan atau balas dendam terhadap perusakan sawah-ladang -- meskipun tikus sawah seringkali hanya diburu tanpa dimakan. Selera makan daging hutan antara lain cukup berkembang pada orang Minahasa. Baik yang masih tinggal di Manado sana, maupun yang sudah merantau ke Jawa. Selain sumber daging peliharaan seperti anjing, babi, dan ayam, makanan orang Manado bervariasi dari babi hutan, tikus hutan berekor putih (kulo' ipus), kelelawar (paniki), ular sawah (ular patoa), ular air (sogili), siput kolombi, sampai pada kera hitam yang khas Sulawesi. Di Sulawesi Utara, daging-daging hutan itu dapat dinikmati di warung-warung makan di kampung Tinoor dan Tambulinas, setengah jalan antara Manado di pantai dan Tomohon di kaki gunung. Hawa pegunungan yang dingin, menambah seronok acara makan yang dihangatkan dengan arak Minahasa, saguer. Binatang liar lain yang banyak pula dimakan orang Manado, adalah daging penyu (tuturuga) yang biasanya diburu di bulan purnama. Juga telur penyu maupun telur burung maleo yang besarnya 6 x telur ayam kampung, digemari oleh orang Manado. Orang Dayak di Kalimantan maupun orang Bali, juga gemar makan sate daging penyu. Sementara daging buaya, di Kalimantan pun dilahap karena dipercayai sebagai 'obat kuat'. Tapi kalau anjuran FAO itu dituruti, apakah proses pemunahan binatang hutan itu tak akan dipercepat? Sekarang saja, para penjaga suaka margasatwa Tangkoko Batuangus di Minahasa sudah kewalahan melarang penduduk menangkap tikus hutan dan kelelawar yang diburu dengan jebakan dan anjing di sana. Sementara kelestarian burung maleo yang hanya bertelur sebutir setahun sekali pun menurut sinyalemen staf ahli PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam) sudah terancam gara-gara kegemaran makan telur maleo -- terutama di Indonesia Timur. Sama halnya seperti ancaman terhadap kelestarian penyu di pantai Pangandaran, Jawa Barat, akibat aktivitas para pemburu telur penyu di sini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus