KEGEMARAN orang Minahasa melahap berbagai jenis sumber protein
hewani yang berkeliaran di hutan, telah mendapat keplokan FAO.
Seperti diberitakan oleh AP dua minggu lalu, ahli-ahli gizi dari
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB itu menganjurkan perluasan
konsumsi 'daging hutan' (bushmeat) -- seperti tikus hutan,
monyet, ular, dan sebagainya. Tujuannya mengatasi ketekoran
bahan pangan di berbagai pelosok Dunia Ketiga.
"Tak ada bahayanya melahap tikus atau monyet di mana saja,
selama binatang itu sehat," ujar Congora Lopez, kepala dinas
gizi FAO di Roma. Bagiannya, baru saja menerbitkan laporan hasil
riset menu 'asli' berbagai bangsa di dunia. Beberapa jenis tikus
di Ghana misalnya, "dipercayai memiliki nilai medis tertentu
sehingga diberikan pada anakanak di sana yang sakit batuk."
Begitu menurut laporan itu.
Tikus, rupanya paling populer sebagai makanan rakyat di
Muangthai. Di sana secara teratur diselenggarakan perburuan
tikus liar, yang kemudian dilahap bersama-sama dalam pesta
rakyat yang diumumkan secara luas. Pada saat itulah, tikus hasil
perburuan massal itu dipanggang ramai-ramai diiringi tari dan
nyanyi.
Selain Ghana dan Muangthai, tikus raksasa yang beratnya sampai
50 kg merupakan santapan lezat di berbagai negara Afrika lain,
tapi juga di Argentina dan Venezuela, Amerika Latin. Sementara
itu, tikus air juga dimakan orang di Spanyol dan Yunani. Taksir
Lopez "konsumsi tikus di seluruh dunia setiap tahun rata-rata
lebih dari sejuta ekor."
Pantangan
Selain tikus, orang Cina juga doyan makan ular, orang Mexiko
doyan cacing, rakyat Idi Amin di Uganda menggemari belalang,
sementara satu kaleng semut asin di Colombia, Amerika Latin
dijual di pasar seharga 20 dollar.
"Buat orang Barat, memang masih banyak pantangan untuk memakan
daging hutan belukar ini," begitu Lopez mengakui. Makanya sukar
dibayangkan ada seekor tikus atau monyet bergelantungan di toko
daging di Amerika Utara atau Eropa. Bukan cuma karena
negara-negara Barat belum merasakan krisis daging, tapi terlebih
karena "hambatan psikologis" itu. Tapi sebenarnya, "nilai
protein daging tikus seimbang dengan daging sapi atau ayam,
sementara kadar lemaknya lebih rendah."
Laporan seksi gizi FAO yang dikepalai Congora Lopez itu juga
mengecam para sarjana Barat, yang selama ini telah 'melupakan'
sumber protein hutan belukar ini. "Mereka cenderung meneruskan
begitu saja gagasan tentang pangan yang mereka warisi dalam
lingkungan kebudayaannya sendiri, padahal gagasan itu mungkin
sangat jauh dan tak relevan bagi rakyat negeri berkembang yang
mau ditolongnya. Tapi mengapa kita tak mulai memikirkan sumber
pangan tradisionil ini, yang sering kali tak sampai tercatat
dalam statistik negeri-negeri berkembang akibat pantangan orang
Barat?" kata para penulis laporan FAO itu.
Kecaman FAO itu sungguh mirip dengan apa yang pernah dikemukakan
Menteri Kesehatan Perancis, Simone Veil. Orang ini pernah
menuduh dunia Barat merusak kebiasaan makan rakyat di
negeri-negeri berkembang dengan memaksakan selera makan dan
minum orang Barat pada mereka.
Seorang ahli satwa FAO, Anton de Vos juga membenarkan pandangan
para rekannya di bidang gizi. Katanya kepada wartawan AP di
Roma, "binatang liar dapat dimanfaatkan dengan lebih efisien
untuk sumber pangan." Mengapa? "Karena binatang liar ini sudah
lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan ekologis setempat,
lebih mampu hidup dari sumber tanaman setempat dan memerlukan
lebih sedikit air," begitu alasan de Vos.
Balas Dendam
Tak disebutkan apakah EiAO juga sudah meneliti kebiasaan makan
rakyat di Indonesia. Namun di sini sudah bukan rahasia lagi,
bahwa banyak suku bangsa yang tinggal di kawasan pedesaan dekat
hutan -- bahkan juga sebagian orang kota -- juga doyan melahap
pelbagai jenis binatang liar. Babi hutan alias celeng misalnya,
antara lain diburu dan dilahap sebagai langkah pencegahan atau
balas dendam terhadap perusakan sawah-ladang -- meskipun tikus
sawah seringkali hanya diburu tanpa dimakan.
Selera makan daging hutan antara lain cukup berkembang pada
orang Minahasa. Baik yang masih tinggal di Manado sana, maupun
yang sudah merantau ke Jawa. Selain sumber daging peliharaan
seperti anjing, babi, dan ayam, makanan orang Manado bervariasi
dari babi hutan, tikus hutan berekor putih (kulo' ipus),
kelelawar (paniki), ular sawah (ular patoa), ular air (sogili),
siput kolombi, sampai pada kera hitam yang khas Sulawesi. Di
Sulawesi Utara, daging-daging hutan itu dapat dinikmati di
warung-warung makan di kampung Tinoor dan Tambulinas, setengah
jalan antara Manado di pantai dan Tomohon di kaki gunung. Hawa
pegunungan yang dingin, menambah seronok acara makan yang
dihangatkan dengan arak Minahasa, saguer.
Binatang liar lain yang banyak pula dimakan orang Manado, adalah
daging penyu (tuturuga) yang biasanya diburu di bulan purnama.
Juga telur penyu maupun telur burung maleo yang besarnya 6 x
telur ayam kampung, digemari oleh orang Manado.
Orang Dayak di Kalimantan maupun orang Bali, juga gemar makan
sate daging penyu. Sementara daging buaya, di Kalimantan pun
dilahap karena dipercayai sebagai 'obat kuat'.
Tapi kalau anjuran FAO itu dituruti, apakah proses pemunahan
binatang hutan itu tak akan dipercepat? Sekarang saja, para
penjaga suaka margasatwa Tangkoko Batuangus di Minahasa sudah
kewalahan melarang penduduk menangkap tikus hutan dan kelelawar
yang diburu dengan jebakan dan anjing di sana. Sementara
kelestarian burung maleo yang hanya bertelur sebutir setahun
sekali pun menurut sinyalemen staf ahli PPA (Perlindungan dan
Pengawetan Alam) sudah terancam gara-gara kegemaran makan telur
maleo -- terutama di Indonesia Timur. Sama halnya seperti
ancaman terhadap kelestarian penyu di pantai Pangandaran, Jawa
Barat, akibat aktivitas para pemburu telur penyu di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini