Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Produk tembakau disetarakan dengan narkotika dalam Rancangan Undang-undang atau RUU Kesehatan. Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo menilai beleid ini berpotensi mematikan industri rokok kretek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tembakau bukan narkotika. Berarti ada penyelundupan pasal yang akan mematikan industri tembakau sebagai salah satu sumber penerimaan negara terbesar,” ujarnya, pada Selasa, 9 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas bagaimana asal mula rokok kretek muncul di Indonesia?
Keberadaan rokok di Indonesia telah ada sejak abad ke-17. Berdasarkan catatan Thomas Stamford Raffles, rokok telah menjadi kebutuhan kaum pribumi Indonesia, terkhusus Jawa sekitar 1600-an. Hal ini senada dengan naskah Jawa Babad Ing Sangkala bertahun 1601-1602. Naskah ini menyebutkan tembakau telah masuk ke Pulau Jawa bersama wafatnya Panembahan Senapati, pendiri Dinasti Mataram.
“Kala seda Panembahan syargi ing Kajenar pan anunggal warsa purwa sata, sawoyose milaning wong ngaudud,” bunyi naskah tersebut.
Mengutip laman bctemas.beacukai.go.id, rokok kretek adalah rokok asli dari Indonesia. Rokok ini terbuat dari tembakau dan cengkih, dipadukan dengan saus perasa. Nama “Kretek” berasal dari suara keretek-keretek karena komposisi tembakau saat rokok dihisap. Rokok ini telah diproduksi sejak abad-19. Saat ini rokok kretek adalah rokok yang paling banyak dihisap di Tanah Air.
Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Museum Kretek, Suyanto, rokok kretek berdasarkan catatan sejarah ditemukan oleh Jamhari pada 1890-an. Sebenarnya merokok tembakau sudah menjadi kebiasaan kaum pria kala itu. Jamhari kemudian meramu tembakau dan cengkeh untuk dijadikan obat. Ramuan itu dibuat dengan cara melintingnya di dalam kelobot atau kulit jagung
Setelah rutin menghisapnya, Jamhari mengklaim dirinya merasa. Diana Hollingsworth Gessler dalam bukunya, The Sampoerna Legacy: A Family & Business History mengungkapkan Jamhari mewartakan penemuan ini kepada kerabat dekatnya. Berita pun menyebar cepat. Permintaan mengalir deras. Awalnya, rokok ini dibungkus klobot dan dijual per ikat isi 10, tanpa selubung kemasan sama sekali.
“Sekitar 1906, temuan tersebut kemudian sangat populer di masyarakat Kudus sebagai obat untuk penyakit sesak dan gangguan tenggorokan. Popularistas rokok kretek kemudian dikembangkan oleh masyarakat Kudus, salah satunya Nitisemito,” tutur Suyanto.
Nitisemito yang lahir pada 1863 dengan nama Roesdi itu, sempat menjadi pengusaha konveksi pada usia 17 tahun. Usaha itu gagal. Kemudian dia beralih usaha lain menjadi penjual minyak kelapa, berjualan kerbau, hingga menjadi kusir dokar. Saat menjadi kusir dokar, Nitisemito sambilan berjualan tembakau. Di sinilah awal Nitisemito merambah dunia usaha pembuatan rokok kretek. Dia menikahi seorang penjual rokok kretek, Nasilah, yang sebelumnya menjadi pembuat rokok kretek.
Bersama istrinya, dia mengembangkan usaha rokok kretek, yang kemudian menjadi industri yang sangat besar, hingga mempunyai 10 ribu karyawan. Nitisemito kemudian mendaftarkan merek rokok buatannya dengan nama Bal Tiga pada 1908. Merek tersebut jadi sangat popular, tidak hanya di Kudus, namun juga daerah-daerah lain di Pulau Jawa. Selain itu, pada tahun-tahun berikutnya, dia juga melebarkan sayap penjualan rokok Bal Tiga ke luar Pulau Jawa, bahkan hingga ke Singapura.
Karena keberhasilannya itu, Nitisemito kemudian dikenal sebagai pengusaha pribumi yang sangat sukses di dunia tembakau. Bahkan, diceritakan, sebelum menjadi presiden pertama, Sukarno sering menemui Nitisemito pada masa-masa perjuangan kemerdekaan. Nitisemito juga dijuluki sebagai Bapak Kretek Indonesia.
Pilihan editor : Ada Polemik Tembakau di RUU Kesehatan, Apa Itu Kecanduan?
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.