DALAM usia 100 tahun Bio Farma Bandung tampak segar. Saat ulang tahunnya, 6 Agustus pekan ini, badan usaha milik negara (BUMN) ini seperti ingin mengembalikan kejayaan ketika masih bernama Lembaga Pasteur. Didirikan 1890, lembaga ini pernah jadi pusat penelitian dan pencegahan penyakit menular yang sangat penting di Indonesia. Berbagai seluk-beluk penyakit menular diteliti di lembaga ini. Di sini pula dirintis pembuatan berbagai vaksin dan serum untuk mencegah penularan penyakit. Lembaga Pasteur pada 1900 berhasil mengatasi sampar yang meletus di Ciwideuy, Jawa Barat. Antara 1950 dan 1990 bahkan punya peran penting membebaskan Indonesia dari penyakit cacar. Pada 1960 Suprapti Thayeb, ahli mikrobiologi di Bio Farma, berhasil mengidentifikasi virus penyebab demam berdarah. Ketika itu, para dokter di seluruh dunia masih mempertanyakan penyebab penyakit mematikan itu. Namun, sejak tokoh-tokohnya pensiun, seperti Prof. Soemijanto, dr. Suprapti Thayeb, dan dr. Lo Siauw Goen, Bio Farma menunjukkan kemunduran. Perkembangannya paling akhir selama hampir dua dekade, seperti kebanyakan BUMN, badan usaha pemerintah ini "rusak dalam". Pamornya hilang sebagai pusat penelitian. Kemampuan melebarkan lingkaran pencegahan penyakit juga turun. Karena itu, "Bio Farma 100 tahun" bukan isu yang layak diamati bila tak terjadi perubahan besar-besaran di sana. Titik awal perubahan besar ini terjadi Desember 1988, ketika Menteri Kesehatan Dr. Adhyatma mengganti direksi Bio Farma. Untuk direksi baru, Menteri "membajak" dua manajer dari sektor swasta: Drs. Dorodjatun dari Organon dan Drs. Djoharsyah Meuraxa dari PT Pharos. Perubahan besar agaknya dirintis lagi. "Saya akan mengadakan perubahan-perubahan, itu pasti," kata Dorodjatun kepada TEMPO, beberapa saat sesudah dilantik sebagai direktur utama. Waktu itu banyak kapasitas Bio Farma yang terbuang. BUMN berbentuk perusahaan umum (perum) ini cuma menggantungkan dirinya pada pesanan pemerintah. Sekitar 75% produknya dibuat berdasarkan pesanan reguler. Itu pun masih belum mampu memenuhi semua pesanan pemerintah. Produk yang dilempar ke sektor swasta buruk daya saingnya. Perbaikan teknologi dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuan praktis tak ada. Padahal, Bio Farma, sebagai salah satu lembaga Pasteur di dunia, tak akan ada artinya tanpa pamor ilmu pengetahuan dan kemajuan di bidang bioteknologi. Khususnya dalam era rakayasa genetik dewasa ini. "Kami sekarang sudah sehat," kata Dorodjatun awal pekan ini. Suara ini bukan omomg besar. Pada 1989, keuntungan Bio Farma di atas Rp 1,2 milyar. Jadi, naik empat kali dari untung tahun 1988, yang sekitar 300 juta. Keuntungan ini didapat antara lain dengan menjual cairan infus, termasuk ke sektor swasta. Bahkan Bio Farma pada 1989 berhasil meningkatkan pemasaran cairan ini. "Kami membuat satu juta botol, dan habis," kata Djoharsyah, Direktur Pemasaran dan Keuangan. Kapasitas penuh, tahun ini, akan dipacu memproduksi tiga juta botol cairan infus. Selain memproduksi cairan infus, Bio Farma meningkatkan pula pemasaran vaksin lengkap (BCG, DPT, Polio, Campak dan Tetanus untuk ibu hamil). Vaksin untuk mengatasi penyakit TBC, infeksi saluran tenggorokan, polio, dan campak ini pesanan tetap pemerintah untuk program imunisasi naslonal. Namun, Bio Farma berusaha tidak cuma bergantung pada pesanan pemerintah. "Kami juga mendorong supaya pusat pelayanan imunisasi yang dikelola swasta meningkat jumlahnya," kata Dorodjatun. Bio Farma siap menyuplai paket-paket vaksin yang diperlukan. Sebagai Perum, sebenarnya Bio Farma punya batas-batas untuk menghimpun keuntungan. Fungsinya sudah ditetapkan: yang utama menyuplai kebutuhan pemerintah, khususnya vaksin untuk program imunisasi nasional. Lain dengan BUMN yang berstatus perseroan terbatas (PT), di lingkungan Departemen Kesehatan hanya Kimia Farma yang BUMN berstatus PT. Namun, kini Bio Farma mendapat dispensasi untuk menumpuk laba. Tujuannya bisa menjadi mandiri. Dorodjatun memproyeksikan akan mencadangkan dana Rp 1,8 milyar dari keuntungan dalam satu dan dua tahun mendatang. Targetnya memperbaiki peralatan dan pengontrolan mutu. "Peralatan di Bio Farma rata-rata berusia 15 sampai 40 tahun," katanya. Dilihat dari segi kemajuan teknologi, semua peralatan di atas 12 tahun sudah tergolong tua. Sementara ini, perbaikan dimulai dengan meluaskan bangunan dari 14.500 meter persegi jadi 22.000 meter persegi. Bila kondisi Bio Farma dari segi perusahaan sehat, maka tidak terlampau sulit memacu kemajuan di bidang bioteknologi. Banyak perusahaan dari negara maju mau bekerja sama karena Bio Farma, sebagai perum yang memegang order vaksin terbesar, berkewajiban menyuplai kebutuhan pemerintah. Selain itu, Bio Farma pembuat vaksin paling berpengalaman (umurnya kan sudah 100 tahun). Peluang mengadaptasi teknologi terlihat pada progran vaksinasi hepatitis B yang direncanakan Departemen Kesehatan dan WHO atau Organisasi Kesehatan Sedunia. Bio Farma sedang merintis kerja sama dengan Lembaga Pasteur Prancis untuk memproduksi vaksin hepatitis B dengan rekayasa genetik generasi ketiga. "Tapi masih perlu negosiasi. Sebab, ini alih teknologi yang paling mutakhir," kata Dorodjatun. Dari segi pemasaran, kedua pihak yang berkongsi tak menghadapi kesulitan. Untuk 5 juta kelahiran setiap tahun, diperlukan 15 juta paket vaksin hepatitis setahunnya. Dari pihak Bio Farma sudah disiapkan berbagai usaha untuk mengantisipasi kemungkinan itu. Antara lain, ikhtiar mencapai persyaratan produksi vaksin tingkat internasional. Persyaratan WHO (yang mendasari standar internasional itu) terus-menerus ditingkatkan. Selain produknya, proses produksi vaksin diharuskan memenuhi berbagai standar. Percobaan penggunaannya juga diperberat. Dulu dengan 10 tikus sudah cukup. Kini harus lebih. Ada juga, yang sekarang, sudah tidak boleh pakai tikus tetapi pakai marmot. Untuk memburu peluang tadi, Bio Farma menyelenggarakan seminar internasional, pekan ini. Masih berhubungan dengan ulang tahun ke-100, maksudnya adalah untuk memonitor perkembangan terbaru teknologi vaksin. Seminar ini akan dihadiri berbagai perusahaan farmasi multinasional. Di antaranya Merck Sharp & Dohme dari Amerika Serikat, Japan Polio Research Institute, dan Lembaga Pasteur Prancis. "Dalam seminar itu kita ingin menimba pengetahuan untuk mengetahui teknologi vaksin mana yang paling mutakhir," ujar Dorodjatun. "Pengembangan Bio Farma tidak bisa hanya dengan meneruskan produksi yang sudah berjalan." Makanya, perlu ada usaha mencari kemungkinan baru, termasuk mencari lisensi produksi untuk menyaingi cara impor. Dengan adanya lisensi produksi, Dorodjatun mencoba meraih alih teknologi -- dan sekaligus keuntungan. Setelah mendapat lisensi produksi vaksin campak, kini ia sedang mengejar lisensi vaksin demam berdarah, yang bisa disebut prestisius. Demam ini dikenal sebagai hemorrhagic fever, yang selain khas Asia juga masih menyimpan pelbagai tanda tanya. Indonesia punya saham dalam mengungkapkan sebagian misterinya. Maka, bukan omong kosong bila Bio Farma punya cita-cita besar. "Kami ingin jadi pusat informasi bioteknologi di Indonesia," kata Dorodjatun. BUMN yang satu ini bila dibilang sudah lepas landas. Jim Supangkat dan Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini