TAK ada ketakutan yang mencekam seperti sekarang ini di Desa Bukit Menyan, serta 10 desa lain di Kecamatan Kepahyang, Rejanglebong, Bengkulu. Tak ada lagi muda-mudi yang berani keluar malam untuk memadu kasih. Seisi kampung memilih berkurung di rumah. Sebaliknya, jumlah peronda setiap malam membengkak jadi 30 orang -- semula cuma tiga orang. Senjata peronda, yang biasanya hanya kentongan, kini berganti dengan pedang, parang, dan bambu runcing. Kesebelas desa itu, dalam dua pekan terakhir ini, terkesan bak "darurat perang". "Bahkan untuk buang hajat pun penduduk tak lagi berani ke sunai," ujar Kades Bukit Menyan, Ngadiman, kepada TEMPO. Teror kawanan garonglah yang menyebarkan ketakutan terhadap penduduk itu. Pada 23 Juli lalu, juragan kopi, Sugiman, 30 tahun, bersama istrinya, Erni, dan tiga anak-anaknya mengkeret ketakutan begitu kayu balok menjebol pintu dapur dan kamarnya. Bersamaan dengan itu lima sosok manusia berpakaian ala ninja tegak di mulut pintu. Dengan sigap mereka mengikat Sugiman, yang diancam todongan tiga moncong pistol. Setelah itu kawanan bertopeng tersebut menjarah isi rumah. Cuma dalam tempo 15 menit mereka berhasil menyikat uang Rp 10 juta dan 15 gram emas. Bagai "pemburu" yang sudah mencium mangsanya, kawanan ini tak buru-buru pergi. Suami istri itu mereka giring dengan todongan senjata ke rumah Soib, 50 tahun, ayah Sugiman, yang berjarak 30 meter. Soib juga juragan kopi di kampung itu. Rumah Soib digedor dan serentetan letusan pistol membahana. Soib, yang kaget, lari melalui pintu belakang. Tapi, celakanya, istrinya, Kusmiati, malah membuka pintu depan karena ibu itu tak tahan mendengar suara anak dan mantunya yang mengaduh-aduh disiksa penjahat di luar rumah. Apalagi kawanan itu mengancam akan membunuh Sugiman dan Erni, jika pintu tak dibuka. Tapi begitu pintu dibukanya, kepala Kusni dipentung penjahat hingga ia roboh dan pingsan. Ketika gerombolan itu beraksi, Soib bersama para tetangga menyerbu ke rumah itu. Tapi mereka mendadak digebuki oleh 10 orang kawanan itu, yang rupanya berjaga-jaga di luar rumah. Bahkan belasan penduduk lain, yang datang dengan memalu kentongan, disambut tembakan pistol beruntun. Seorang di antaranya, Suharianto, roboh berlumuran darah. Perutnya koyak. "Ini bukan lawan kita lagi," pekik Ngadiman sembari memerintahkan warganya mundur ke pinggir desa. Dengan leluasa kawanan itu berhasil menjarah uang Soib sebanyak Rp 20 juta. Mereka melarikan diri dengan mobil Hijet milik Soib. Sugiman, yang terikat dan menolak ikut naik mobil, ya Tuhan, mereka tembak di tempat. Ia mati di situ juga. Kapolsek Kepahyang, Letnan Dua Yoyon Setiawan, dan delapan anak buahnya hanya menemukan jasad Sugiman. Sementara itu, Suharianto segera dilarikan ke RS Bengkulu. Mobil milik Soib ditemukan tiga hari kemudian di Muara Rupit -- di pinggir jalan lintas Sumatera. Belum hilang rasa kaget penduduk, pada 30 Juli malam lalu muncul tujuh orang tak dikenal -- dua orang di antaranya memakai seragam polisi dengan pistol di pinggang di Desa Cinta Mandi, tetangga Bukit Menyan. Kawanan itu mengaku dari Polres Curup. Kades setempat, Rachman, curiga. Soalnya, mereka gondrong. Rachman pun segera mengontak Letnan Dua Yoyon. Setelah menginterlokal Polres di Curup, Yoyon segera yakin kelompok gondrong itu bukan polisi. Bersama penduduk setempat satuan polisi segera menyerbu kawanan itu. Namun, orang-orang tak dikenal itu keburu lari ke hutan-hutan perbatasan Sumatera Selatan. Sejak itulah ketakutan mencekam rakyat. Apalagi, menurut catatan yang berwenang, kasus perampokan serupa dengan yang terjadi pada Sugiman setidaknya sudah enam kali terjadi sejak akhir tahun lalu. Gerombolan bersenjata itu kadang-kadang memakai seragam petugas -- dengan sewenang-wenang merampok dan membunuh rakyat. Pada akhir Februari lalu misalnya, penduduk Desa Purwodadi, Kecamatan Pal. VIII. Curup Mahyudin, 30 tahun, dibunuh kawanan tak dikenal. Dengan dalih Mahyudin menyimpan senjata api, 14 kawanan -- ada yang berseragam loreng-loreng -- menggeledah rumahnya. Merasa tuduhan itu tak benar, ia pun melawan. Akibatnya, sebutir peluru merenggut jiwanya. Kasusnya tak terungkap hingga kini. Pada saat yang sama, seorang pemilik kedai di Keban Agung, Kepahyang, diikat sembilan kawanan -- dua orang berseragam petugas. Mula-mula mereka pura-pura belanja. Tapi tiba-tiba pemilik kedai ditodong pistol dan diikat tali. Kawanan itu pun menguras barang dan uang korban senilai Rp 2,8 juta. Sebulan kemudian giliran Haji Hamid, 70 tahun, di Dusun Curup Kota. Kali ini delapan orang yang mengaku petugas mengubek-ubek rumahnya dengan dalih anaknya Indra yang tinggal di Jakarta, melarikan dua pucuk senjata api. Karena sang haji menyangkal. ia diikat. Mulutnya disumpal dan matanya ditutup. Setelah itu gerombolan tersebut menyikat uang Hamid sejumlah Rp 1,7 juta dan sebuah jam tangan. Kasus serupa juga terjadi pada diri Ilyas, 56 tahun, di Desa Penanjung, Kepahyang? pada Mei lalu. Ketika itu pelaku mengaku menguber buron, tapi nyatanya merampok. Lagi-lagi mereka menembak Ilyas dan berhasil menjarah barang dan duit korban senilai Rp 4,5 juta. Yang paling sadistis adalah peristiwa yang menimpa mantan Danramil Kepahyang, Maskanak, 58 tahun, di Desa Bangko Belitar. Bersama istri dan seorang anaknya, Maskanak tewas dicincang kawanan penjahat hingga wajahnya tak lagi dikenali. Kejahatan itu terjadi pada akhir Desember tahun lalu dan menyapu harta senilai Rp 10 juta lebih. Sampai saat ini kasus-kasus itu masih tetap terlindung di balik topeng sang kawanan. Sebab, seperti dikeluhkan sumber TEMPO, di wilayah Polsek Kepahyang cuma ada 25 personel polisi. Padahal, melihat luasnya wilayah kecamatan tersebut, kata sumber itu, dibutuhkan minimal 75 orang tenaga polisi. Bersihar Lubis (Palembang) & Marlis (Bengkulu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini