HAK penerbit dan pengusaha rekaman telah dilindungi Undang-Undang Hak Cipta. Sekarang giliran mereka untuk berbuat sesuatu bagi negeri ini. Caranya mudah: mengirimkan contoh prduk mereka -- berupa karya cetak dan karya rekam -- ke perpustakaan. Kewajiban itu ditetapkan lewat Undang-Undang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (SSKCKR), yang 23 Juli silam disahkan oleh DPR. Penerbit dan pengusaha rekaman yang dimaksud meliputi milik pemerintah serta swasta. Sedangkan pihak penerima adalah Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Daerah. Perpustakaan Nasional adalah perpustakaan yang berkedudukan di Ibukota negara. Penekanan tugasnya terletak pada pengumpulan semua karya cetak dan karya rekam, yang beruang lingkup nasional. Diutamakan yang menyangkut bidang ilmu sosial dan kemanusiaan. Adapun Perpustakaan Daerah adalah perpustakaan yang berkedudukan di provinsi dan bertugas mengumpulkan, menyimpan, melestarikan, dan mendayagunakan semua karya cetak dan karya rekam yang bersifat kewilayahan. Tentu tidak semua jenis harus diserahkan. Jauh-jauh hari Menteri Fuad Hassan sudah memberikan batasan, yakni semua jenis terbitan dan rekaman karya ilmiah dan budaya, yang dicetak atau direkam oleh orang Indonesia ataupun orang asing dan yang tujuannya komersial. Karya cetak misalnya buku, majalah, koran, atau brosur. Karya rekam adalah film, video, piringan hitam, kaset lagu-lagu, disk komputer, dan sejenisnya. Persyaratan harus bernilai ilmiah dan budaya itu tentu tidak berlaku buat kartu nama, misalnya. "Perpustakaan kan bukan gudang," ujar Fuad seusai memberi penjelasan kepada DPR tentang rancangan undang-undang itu pada 29 Januari 1990 lalu. Sementara itu, dokumen-dokumen, arsip negara, atau surat-surat berharga tidak termasuk dalam jenis ini. Penerbit diharuskan menyerahkan sedikitnya dua eksemplar untuk tiap judul, sementara pengusaha rekaman cukup satu buah untuk setiap judul. Penyerahan dilakukan paling lambat tiga bulan setelah dicetak atau direkam. Pelanggaran terhadap ketentuan itu akan dikenai sanksi pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 5 juta. Selain mengirimkan karya, mereka juga diwajibkan menyerahkan "daftar" seluruh karya cetak atau karya rekam yang pernah diproduksi, paling tidak sekali dalam enam bulan. Sedangkan mereka yang memperdagangkan produk luar negeri di Indonesia, asal mengenai Indonesia dan jumlahnya lebih dari 10 buah untuk setiap judul, juga wajib menyerahkan satu buah kepada Perpustakaan Nasional selambat-lambatnya satu bulan setelah dibawa oleh yang bersangkutan. Bila melanggar, sanksinya penjara paling lama 6 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 2,5 juta. Apakah ketentuan ini memberatkan bagi produsen? Nyatanya tidak. Sejumlah penerbit justru menyambutnya dengan gembira. Bahkan ada yang sudah menyerahkan, jauh sebelum undang-undang itu dibikin. PT Gramedia, misalnya, sejak 1974 sudah menyerahkan 2.300 judul buku (sebanyak 3.800 eksemplar) kepada Perpustakaan Nasional. Itu belum termasuk 1.500 buku yang diserahkan ketika perpustakaan ini diresmikan. Hal serupa dilakukan PT Pustaka Utama Grafiti. Penerbit ini selalu menyerahkan dua eksemplar untuk setiap judul kepada Perpustakaan Nasional. Sementara itu, Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), selaku wadah para penerbit, memandang undang-undang itu sebagai penegasan kerja sama antara Ikapi dan Perpustakaan Nasional. "Sejak 1989, kami telah melakukan penyerahan terbitan baru," ujar Rozali Usman, S.H., Ketua Ikapi Pusat. Perusahaan rekaman nampaknya juga tenang-tenang saja. "Kami sokong sepenuhnya," sambutan Eugene Timothy, Ketua Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri). Yang kelihatannya masih berpikir adalah produser film. Selain meragukan fasilitas perpustakaan, mereka terpaksa berhitung. "Bayangkan, kami harus menyerahkan copy filmnya, bukan negatifnya. Padahal, biaya pembuatan satu copy bisa Rp 3,5 juta. Siapa yang mau menanggungnya?" tanya Turino Djunaidi, Ketua Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI). Tokoh yang terkenal dengan film Bernafas Dalam Lumpur ini meragukan sarana penyimpanan film di perpustakaan, karena untuk itu dibutuhkan sistem dan pengaturan suhu ruangan secara khusus. Kekhawatiran Turino memang beralasan. Banjir buku, majalah, ataupun kaset, pasti akan terjadi. Kalau perpustakaan tidak siap menampung dan mengelolanya, bisa-bisa barang berharga itu jadi tumpukan sampah. Tapi kemungkinan seperti ini juga sudah diperkirakan oleh Menteri P dan K. Kalau ruangannya kurang, "ya, bikin lagi," katanya. Lantas bagaimana dengan karya rekam? Untuk soal satu ini, pemerintah bersikap luwes. "Jika dipandang perlu, pemerintah dapat menugaskan lembaga atau badan lain di luar Perpustakaan Nasional atau Perpustakaan Daerah," ujar Fuad di hadapan DPR, Januari silam. "Kami sudah siap," kata Mastini Hardjoprakoso, M.L.S., Kepala Perpustakaan Nasional. Saat ini Perpustakaan Nasional memiliki tiga blok bangunan bertingkat, yang masih akan ditambah dengan dua blok. Bahkan untuk menyimpan karya rekam, telah disiapkan satu blok khusus. Di sini ada auditorium pertunjukan, lengkap dengan tenaga pengelola dan peralatan yang canggih. Perpustakaan Nasional dioperasikan oleh 330 karyawan, 70 di antaranya menyandang gelar sarjana. Khusus untuk mengelola pustaka karya rekam, tenaganya tengah dipersiapkan. Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, sebagai salah satu unit pelaksana teknis (UPT) di tingkat provinsi, telah menyatakan kesediaannya. "Tidak ada problem," ujar Dra. Mulyanti, M.L.S. Perpustakaan di lingkungan UGM ini bahkan merasa kekurangan, karena buku baru jarang datang. Soal anggaran? "Juga bukan problem." Dengan dana Rp 183 juta per tahun, Perpustakaan UGM tampaknya siap dengan tambahan tugas. Bagaimana dengan perpustakaan di Irian Jaya dan Timor Timur? Nah, itulah. Ingat saja apa yang dikatakan Menteri Fuad Hassan, "Kalau ruangan kurang, ya bikin lagi." Priyono B. Sumbogo, Rustam F. Mandayun, Sri Pudyastuti, Effendy Saat, Yudhi Soerjoatmodjo, dan Tri Jauhari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini