Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Setelah Lebah Menyengat

Praktek terapi sengat lebah Djasimun di Desa Tulus Besar, Malang, ditutup polisi setelah tiga pasiennya meninggal. di Jakarta, terapi ini dipraktekkan akupunkturis Hembing Wijayakusuma.

19 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH yang selalu banyak dikunjungi orang itu kini sepi. Terletak di Desa Tulusbesar, Kecamatan Tumpang, Malang, Jawa Timur, rumah itu tak lagi menjadi pusat keramaian. Sampai Oktober lalu, berduyun-duyun orang datang berobat ke sana. Keriuhan mendadak sirna setelah sebuah papan pengumuman dipasang. Di sana tertulis: "Praktek Ditutup." Kasus malapraktek? Bukan. Djasimun yang buka praktek di situ, bukanlah seorang dokter. Ia peternak lebah yang dikenal bisa menyembuhkan pasien. Dari pegal linu sampai impotensi -- total ada 81 penyakit. Izin prakteknya tidak dikeluarkan oleh Kantor Wilayah Departemen Kesehatan, tapi Kantor Kejaksaan. Mengapa prakteknya ditutup? Pertengahan Oktober lalu, seorang pasien meninggal. "Pasien itu bernama Tuginah, berusia 37 tahun, dan berasal dari Plaosan, Magetan Jawa Timur," kata Kasatserse Polres Malang, Mayor Zakaria. Namun, belum terbukti Tuginah meninggal karena sengatan lebah Djasimun. "Kami masih menunggu visumnya dari RS Umum dr. Soetomo Surabaya." Toh dikeluarkan imbauan agar Djasimun istirahat. "Mencegah lebih banyak korban jatuh," kata Kasatserse. Soalnya, menurut pemeriksaan, ada dua pasien lagi yang meninggal setelah diberi sengatan lebah. Satu di antaranya Lisa, 27 tahun, dari Salatiga Ja-Teng. Yang lain tidak jelas identitasnya tapi datang dari Pare-pare, Sulawesi Selatan. Djasimun menyangkal telah melakukan "malapraktek". Ia nampak jengkel ketika Zed Abidin dari TEMPO menanyakan kemungkinan itu. "Mereka semua sudah payah ketika dibawa pada saya," katanya. Badan Tuginah, kata Djasimun, sudah habis dimakan kanker payudara. Tinggal tulang dan kulit. "Saya ketika itu sudah bilang tidak sanggup, tapi pihak keluarga memaksa juga." Maka, sekadar ingin menyenangkan hati pasiennya, Djasimun menancapkan juga sengat-sengat lebahnya. Dua hari kemudian, Tuginah meninggal. Lisa dan seorang pasien lainnya mengalami nasib serupa. Djasimun mengungkapkan bahwa risiko yang dihadapinya masih lebih besar ketimbang risiko yang mesti dipikul para dokter. "Pasien yang datang pada saya apkiran dokter." Tapi peternak lebah itu dengan bangga pula menyatakan, selama empat tahun berpraktek, baru tiga pasien itu yang meninggal. Jumlah pasien yang sudah di obatinya, menurut catatan, mencapai 13.000. Mereka datang dari seantero Indonesia. Djasimun, yang cuma lulusan sekolah dasar, tidaklah sembarangan. Sebelum buka praktek, ia pernah juga belajar ilmu pengobatan, walaupun "informal". Awalnya di Semarang. Ketika itu ada semacam penataran bagi para peternak lebah. Kebetulan ada salah seorang penatar melemparkan informasi bahwa lebah madu bisa juga menjadi media pengobatan. Djasimun tertarik dan mencobanya. Belakangan, secara kebetulan, ia menyembuhkan mertua seorang dokter di Malang. Dari dokter ini, ia mendapat berbagai keterangan tentang pengobatan dengan akupunktur. "Pengobatan saya memang mirip akupunktur, cuma pakai lebah," kata Djasimun. Prinsip yang diyakininya ialah bahwa pangkal semua penyakit berasal dari ketidaklancaran aliran darah. Titik-titik akupunktur menunjukkan di mana saja darah bisa mengalami kemacetan. Sengatan lebah pada dasarnya melancarkan kembali aliran darah. Benarkah begitu? "Ya, tentunya tidak sesederhana itu," kata ahli akupunktur Hembing Wijayakusuma kepada Liston Siregar dari TEMPO. Hembing, yang berpraktek d Jakarta, adalah penemu terapi akupunktur sengatan lebah. Metode ini ditemukannya pada 1960. Dua tahun silam, 1986, cara pengobatan ini dikukuhkan perhimpunan Medicinia Alternativa, yakni perkumpulan internasional yang merupakan wadah bagi para pelaku pengobatan tradisional dan nonkonvensional yang berpusat di Sri Lanka. Menurut Hembing, sengatan lebah tidak berbeda dengan tusuk jarum. "Sengat lebah itu juga mengandalkan 360 titik meridian." Hanya berdasar pengalamannya, Hembing dapat memastikan bahwa sengatan lebah lebih efektif dari tusukan jarum. "Karena mengandung racun, dan racun ini aktif beberapa lama di sekitar titik meridian." Bila dibandingkan, getaran tusuk jarum berhenti begitu jarumnya dicabut. Namun, diakui oleh Hembing bahwa sengatan lebah juga mengandung bahaya bila dipraktekkan sembarangan. "Yang paling berbahaya adalah reaksi alergis," katanya. "Kalau reaksinya cuma gatal-gatal saja nggak apa-apa. Tapi reaksi alergi 'kan bisa berupa syok yang diikuti kematian." Karena itu, dalam terapi dengan sengatan lebah, tes alergi dan perhitungan pemberian dosls sengatan harus diperhitungkan dengan cermat. "Paling banyak 10 sengatan, itu pun diberikan dalam jarak waktu tertentu." Perhitungan ini yang tak ada pada praktek Djasimun. Di sana tanpa tes alergi, biasanya pasien segera mendapat 20 sengatan dalam satu kali pengobatan. Biro Jawa Timur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus