ULANG tahun keempat belas Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional sebenarnya jatuh tanggal 29 Juni. Tetapi karena berdekatan dengan Idulfitri diundurkan sampai 6 Juli. "Sekalian dirayakan bersama halal-bihalal. 'Kan jadi murah," ujar Dr. Haryono Suyono, sambil tertawa. Kepala BKKBN yang berputra empat orang itu belakangan ini memang banyak menahan diri. Terutama setelah datangnya gelombang pukulan terhadap angka-angka keberhasilan yang pernah dilontarkannya. Dari Yogyakarta muncul suara tentang perbedaan yang cukup berarti antara angka yang dibuat BKKBN dan hasil sensus pada periode yang sama, yaitu tahun 1980. Kalau dibandlngkan dengan hasil sensus, umlah peserta KB yang menggunakan pil, IUD, dan kondom, maka angka yang pernah dilemparkan BKKBN lebih banyak 28,2% atau sekitar 1,5 juta akseptor. "Selisih antara data BKKBN dan hasil sensus itu cenderung lebih besar di provinsi-provinsi Pulau Jawa - tempat program KB jauh lebih awal dilaksanakan - yang justru berpenduduk banyak," ulas Dr. Peter K. Streatfield, 34, seorang konsultan di Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ketimpangan angka-angka itu kelihatannya meliputi semua daerah di Jawa. Prevalensi tingkat kesertaan untuk semua metode kontrasepsi di Jawa Barat menurut BKKBN 26,8%, sedangkan sensus hanya 22,8%. Jawa Tengah 46,6% menurut BKKBN, tetapi berdasarkan sensus hanya 33,4%. Di Yogyakarta 53% menurut BKKBN dan hanya 42,4% menurut sensus. "Bahkan Jawa Timur, yang digembar-gemborkan sebagai paling berhasil, menurut angka BKKBN 56,1% tapi hanya 39,2% menurut sensus. Selisih yang hampir 15% di Jawa Timur itu merupakan perbedaan yang sangat besar," tambah sarjana Australia yang mencapai gelar doktor dengan disertasi mengenai keluarga berencana di Bali itu. Haryono Suyono tidak membantah kemungkinan angka yang dibuat lembaga yang dia pimpin salah. "Karena itu, kami selalu mengadakan survei untuk mengadakan cross check," katanya kepada TEMPO. Dia memberikan contoh mengenai survei cara pengisian formulir laporan bulanan klinik KB. Ternyata yang benar mencapai 92,8%. Selebihnya keliru. Mengenai angka-angka yang terlalu melambung dari BKKBN, Haryono Suyono terus terang mengatakan, hal itu sudah dia ketahui sebelum diramaikan media massa akhir-akhir ini. "Kami tahu tentang hal itu tapi tidak membesar-besarkannya agar petugas di lapangan tidak patah semangat," katanya berkilah. ADA dua kemungkinan mengapa sampai terjadi perbedaan angka yang memojokkan BKKBN itu. Pertama, kemungkinan data sensus memang terlalu rendah. Tentang hal ini, konsultan kependudukan di UGM tadi memberikan contoh perbandingan antara hasil sensus 1980, data BKKBN, dan hasil East Java Population Survey (EJPS) - survei yang dibikin oleh North Carolina Population Laboratory bekerja sama dengan Biro Pusat Statistik. Ternyata, angka sensus yang paling rendah. Tingkat prevalensi BKKBN 55,1%, EPJS 40,2%, dan sensus 35,6%. Sedangkan kemungkinan kedua karena perbedaan pendekatan. "Data BKKBN adalah data logistik. Sedangkan data sensus diperoleh langsung dengan menanyakan orangnya," kata Streatfield. Maksudnya BKKBN Pusat menghitung tingkat prevalensi berdasarkan jumlah alat-alat kontrasepsi yang sudah disalurkan. Ini dibenarkan Haryono Suyono. "Karena perbedaan pendekatan itu, maka terjadi pcrbedaan angka tersebut. Kalau tidak terjadi perbedaan justru aneh," katanya. Metode yang dianut BKKBN itulah yang kemudian rupanya memukul BKKBN. Memang, sejauh yang diberitakan, mereka tidak pernah meneliti apakah pil yang sudah diberikan untuk tiga belas siklus itu sudah benar-benar dipergunakan. Sebab, Streatfield sendiri, menurut pengakuannya, pernah melakukan penelitian di Bali tahun 1980 Hasilnya malah membikin tercengang. Dia menemukan ada akseptor yang makan dua pil sehari. "Bahkan ada yang tiga." Barangkali BKKBN juga perlu meneliti apakah kondom yang dia salurkan memang sudah cukup. Selama ini yang diberikan berjumlah 72 buah kondom untuk kebutuhan setahun. Ini memang cocok dengan kebutuhan laki-laki di India. "Tapi di Indonesia belum ada penelitian mengenai frekuensi hubungan seks. Mungkin lebih dari 72. Mungkin kurang," kata Streatfield. Catatan angka BKKBN mungkin juga terjadi karena perhitungan ganda. Ini misalnya bisa terjadi pada peserta spiral. Dengan alasan tidak cocok atau kepengin punya anak lagi, seseorang mungkin meminta alat itu dicopot. Beberapa lama kemudian mereka ikut KB lagi dan memasang spiral kembali. Lantas mereka dicatat sebagai peserta KB yang baru. Memang BKKBN pernah melakukan penelitian mengenai tingkat kesinambungan (continuation rates). Tetapi survei itu terlalu sempit lingkup cakupannya. Untuk seluruh Jawa-Bali hanya 1.500. Tentu jumlah itu terlalu kecil untuk mewakili semua metode KB. Kritik terbesar yang dialamatkan orang luar terhadap BKKBN adalah bahwa dia selalu menggunakan aparatnya sendiri untuk mengecek kebenaran suatu laporan. Yang hasilnya tidak pernah merupakan perbaikan. Akibatnya, hasil penelitian yang dilaksanakan lembaga netral seperti Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gajah Mada terasa menyudutkan BKKBN. Di antara data yang cukup pahit itu datang dari hasil penelitian Drs. H. Soegiyanto. Hasil penelitian inilah yang diangkat oleh Drs. Peter Hagul, sekretaris lembaga studi kependudukan UGM itu, untuk menunjukkan gambaran BKKBN. Penelitian yang dilaksanakan di dua kecamatan, masing-masing Gondangrejo dan Colomadu, Jawa Tengah, Juli 1981 menunjukkan bahwa pil KB yang disalurkan BKKBN digunakan untuk tujuan yang menyimpang. Buktinya, 35,6% responden mengaku membuang pil itu. Sebanyak 34,4% menyatakan lupa menyimpannya atau hilang. Sedangkan yang lain: 14,1% hanya disimpan dan tidak dipergunakan, 7,8% untuk mengobati luka manusia atau ayam. Sedangkan yang 7,8% lagi untuk permainan anak. "Jadi, tidak semua pil yang keluar dari gudang BKKBN dipakai dengan benar," kata Peter Hagul. Tetapi bagaimanapun orang barangkali tidak bisa memejamkan mata terhadap sukses yang telah dicapai BKKBN selama ini. Apalagi kalau diingat, dua dasawarsa yang lewat keluarga berencana masih merupakan sesuatu yang tabu. Presiden Soekarno ketika itu menentang pengendahan pertumbuhan penduduk. Dia malahan ingin Indonesia memiliki penduduk 300 juta jiwa. Sehingga Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), yang merupakan cikal bakal gerakan KB, harus bergerak hati-hati - menyelipkan ide KB ini lewat kontak kesejahteraan ibu dan anak. Soetjipto Wirosardjono, ketua perkumpulan itu sekarang ini, menyebutkan kelahiran PKBI tahun 1957 sebagai "tahap perintisan KB". Pengakuan pemerintah terhadap KB baru muncul tahun 1967. Sedangkan BKKBN tampil untuk mengkoordinasikan gerakan ini tiga tahun kemudian. Kemajuannya cukup pesat. Pada tahun 1970 targetnya hanya 50.000 akseptor setahun. Sedangkan untuk tahun 1984 ini, dengan anggaran Rp 50 milyar (75% dari dana pemerintah dan selebihnya bantuan dari luar negeri), dia mau mencapai target sekitar 16 juta akseptor. Kini peserta KB sekitar 14 juta. Sedangkan pasangan usia subur yang ada sekitar 24 juta. Haryono Suyono optimistis target itu akan tercapai. "Sekarang saja ada sekitar dua puluh ribu akseptor baru setiap hari," katanya. Satu angka yang kedengarannya cukup fantastis. Yang dicapai dalam setahun, 14 tahun yang lampau, sekarang ingin dicapai dalam dua setengah hari. Popularitas BKKBN sudah begitu hebatnya, sehingga PKBI pada tahun 1975 sempat mengalami krisis identitas. "Soalnya, mereka pikir, lha, pemerintah sudah lakukan, kita ngapain lagi," kata Soetjipto. Tetapi beruntunglah, ke dalam lembaga swasta itu muncul tenaga-tenaga muda, yang menganggap PKBI tidak perlu mati. Dia masih diperlukan untuk mengajukan gagasan yang belum bisa diterima masyarakat. "Nyatanya, pionir yang berani melawan arus, yang berani mendobrak common belief masih di perlukan," ujar Soetjipto. Gagasan yang tengah dijalankannya antara lain sterilisasi, pemandulan, yang hingga kini masih ditentang golongan agama. SEDANGKAN metode yang dipakai BKKBN adalah pil, spiral, kondom dan suntikan. Dengan metode ini BKKBN - menurut catatannya - dapat merangkul peserta dari tahun ke tahun secara meyakinkan. Untuk 1979/1980 dia berhasil mencapai 6.497.382 (30,68% dari pasangan usia subur). Angka ini naik 1980/1981 menjadi 7.791.537 (36,07%). Naik lagi tahun 1981/1982 menjadi 8.950.206 (39,75%). Tahun 1982/1983 menjadi 11.211.285 (48,05%). Dan tahun 1983/1984 ini mencapai 14.422.551 (58,7%). Dengan jumlah pemakai pil 55,3%, spiral 27,2%, suntikan 9,7%, kondom 4,8%, dan lain-lain - seperti pantang berkala dan tablet busa - 3,1%. Angka-angka itu, menurut Haryono Suyono, berhasil dicapai karena BKKBN berhasil menggalakkan masyarakat untuk turut ambil bagian. Sekarang ini, katanya, terdapat 184.000 kelompok akseptor di seluruh Indonesia. Sebagian besar berada di pedesaan. Suatu kelompok terdiri dari tiga sampai 15 orang. Tenaga inilah yang diandalkan untuk mengejar target yang telah ditentukan. Walaupun begitu, pengejaran target itu, bagaimapun, telah menimbulkan rupa-rupa ekses. Para guru sekolah dasar di wilayah Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, misalnya, mendapat tekanan bila tidak masuk KB, baik mereka yang baru beranak satu maupun yang sudah telanjur banyak. Kantor P & K di daerah tidak akan memberikan gaji kalau guru tidak bisa menunjukkan kartu peserta KB. Ini berjalan sejak tiga bulan lalu. Langkah paksaan ini dijalankan di daerah itu, karena - menurut keterangan - hanya empat guru yang menyatakan bersedia turut KB. Sehingga pihak P & K mengambil jalan pintas dengan ancaman gaji tadi. Ancaman itu tentu saja menyebabkan suasana kalang kabut di antara para guru. Mereka buru-buru meminta kartu KB, sekalipun pil yang mereka terima dibuang, tak dimakan. "Habis takut gemuk. Dan yang penting 'kan sudah punya kartu KB." ujar seorang guru yang sudah punya tiga anak. "Kebanyakan teman-teman juga begitu. Tidak saya tok," ujar guru itu lagi. Ketika ditanya mengapa tak memilih spiral dia menjawab, "Saya takut, karena ceritanya berbahaya." Selain untuk mengambil gaji, kartu peserta KB juga diperlukan untuk kenaikan pangkat atau golongan. Bila ada yang kepergok punya anak tambahan, kenaikan bisa ditunda. Para pegawai di Pati juga mengalami nasib sama. Mereka harus punya kartu peserta KB. "Saya sempat mencari kartu KB sekalipun istri saya sudah sejak empat tahun lalu ber-KB tradisional," tutur Purnomo, pegawai Kantor Wilayah Departemen Penerangan Pati. Istri Purnomo yang punya anak dua itu ber-KB dengan cara pijat, yang dikenal dengan istilah didadah rahimnya oleh dukun. Dan kebiasaan itu sudah dilakukan sejak anak pertama mereka. Mampu bertahan sampai empat tahun. "Tapi karena dikantor ada ketentuan harus dapat menunjukkan kartu KB, saya terpaksa pergi ke Puskesmas, mendaftarkan sebagai peserta KB," ujarnya. Istri Purnomo sekarang ini kena spiral. Sementara itu, di beberapa desa di Pati berkembang pula gaya pemburuan peserta KB model ancaman. Ini terutama menimpa rakyat kecil. Di Desa Wangunrejo dan Jambean Kidul ada keputusan rembug desa yang menyebutkan, bagi penduduk yang punya anak satu dan belum berusia empat tahun, lalu ibunya hamil lagi didenda Rp 25.000. Begitu pula bagi yang sudah memiliki anak tiga dan masih hamil. Sedangkan wanita tak bersuami dan hamil, kena denda Rp 100.000. "Apabila tidak dapat membayarnya diancam hukuman kurungan 3 bulan," kata Suparlan, wakil kepala desa Wangunrejo. Ketatnya peraturan setempat mengenai KB ini cukup derasakan penduduk. "Kalau tidak KB selalu dioyak-oyak (dikejar-kejar). Bahkan akan didenda Rp 5.000. Mana ada duit. Lebih baik tunduk saja," keluh Leginah, 18, yang punya seorang bocah. Menurut pengakuan penduduk sctempat, para pamong setiap hari mengadakan kunjungan ke rumah penduduk untuk mengawasi pelaksanaan KB. Sementara itu, di dua desa itu berjalan pula semacam paksaan untuk menggiring peserta KB memilih spiral. Menurut seorang carik, jika ada yang meminta pil atau kondom selalu dijawab sudah habis. "Biar mereka pakai spiral seperti yang diharapkan pemerintah," katanya. Ia mengatakan penekanan terhadap penduduk dilakukan "agar program KB sukses". Tapi diakuinya juga, hal itu dilakukan para pamong karena mereka juga mendapat tekanan "dari atas". Memang, saking ketatnya pelaksanaan program KB di desa-desa itu, sulit mencari perempuan berusia di atas 30 tahun yang hamil. Tetapi dengan jalan "kekerasan" begitu, Desa Jamban yang berpenduduk 3.900 jiwa dengan 283 akseptor dan Wangunrejo yang berpenduduk 1.351 jiwa dengan 200 akseptor menghadapi masalah baru. Untuk tahun ajaran ini, tiga sekolah dasar yang terdapat di situ kesulitan mencari murid. Hanya separuh dari 120 murid yang dibutuhkannya mengisi ketiga sekolah dasar itu. Sementara itu, angka kelahiran 100 tiga tahun lalu, sekarang, menurut beberapa pejabat desa, turun jadi hanya 40. Di berbagai daerah lain, gerakan pencarian peserta KB dengan tekanan juga berakibat parah terhadap tradisi daerah setempat. Terutama yang menyangkut obat tradisional KB. Padahal, obat tradisional ini, menurut Departemen Kesehatan, tidak boleh dipunahkan. Karena nyatanya pelayanan kesehatan kedokteran belum sampai ke gunung-gunung yang jauh. Di Kampung Kertaraharja, Jawa Barat, Icih, 32, seperti hendak menangis ketika menceritakan bagaimana dia harus bertahan dengan jamu-jamuan yang katanya manjur untuk KB. Untung tak ada paksaan. Sehingga dia masih bisa mempertahankan kekayaan nenek moyangnya berbarengan dengan menggunakan alat kontrasepsi pemerintah. Dia meminum jamu sekaligus pil juga. "Bila tak ikut KB program pemerintah, sulit menyelesaikan berbagai urusan, seperti ke Puskesmas atau ambil kredit Bimas," katanya. Haryono Suyono tidak terlalu menghiraukan ekses-ekses yang terjadi. "Yang kami layani dua puluh ribu orang per hari, lumrah kalau ada yang terinjak kakinya," jawabnya. Tetapi setelah berjalan sekian tahun apakah ekses dan berbagai keluhan yang tumbuh di kalangan masyarakat akan tetap dibiarkan? "Saya kira, sudah waktunya untuk meninggalkan cara hura-hura dan memulai kegiatan yang sophisticated," ajak Soetjipto Wirosardjono. Menurut dia, gerakan KB sudah mencapai titik kritis, di mana masyarakat yang teiah menerima mulai menuntut pelayanan yang memadai. Kritik Soetjipto ini kelihatannya kena pada segi pelayanan BKKBN yang tampaknya tidak berkembang sesuai dengan pertumbuhannya. Di berbagai daerah memang muncul keluhan mengenai kurangnya fasilitas, juga personil. Terutama tenaga bidan. Di Pontianak paling tidak terdengar ada empat wanita keturunan Tionghoa yang terpaksa mencari bidan praktek untuk mencopot spiralnya. Soalnya, begitu dipasang, timbul pendarahan. Padahal, tak ada bidan untuk mengontrol. Biaya pencopotan spiral di bidan praktek itu mencapai Rp 4.000. Sementara itu, di Tanjung Morawa, terletak sekitar 15 km dari Medan, Rohani yang bertugas sebagai juru KB mengeluh kekurangan alat. Soalnya, di klinik yang diawasi tak ada alat tes hamil. Padahal, sebelum seseorang ibu diterima, harus diketahui apakah dia sedang hamil atau tidak. Akibatnya, calon akseptor harus pergi ke rumah sakit. Karcis masuk saja Rp 750. Sedangkan untuk tes hamil dipungut Rp 2.000. Sementara itu, Safari Senyum (sungguh enak dan nyaman untuk masyarakat) yang dilancarkan BKKBN akhir tahun lalu, menurut Soetjipto, lebih banyak bersifat kampanye daripada peningkatan pelayanan. Orang juga mengharapkan penerangan yang cukup mengenai kemungkinan efek samping dari rupa-rupa alat kontrasepsi yang ada. Para ibu ingin tahu lebih jelas sejauh mana pil KB bisa menyebabkan kanker - suatu efek samping yang juga sudah dibuktikan Rum Sudoko dari Surabaya, dalam penelitian yang diadakannya. Begitu juga kelompok dokter gigi dari Universitas Indonesia yang dipimpin Dewi Nurul M., melalui sebuah penelitian, telah menemukan kebenaran bahwa pemakai pil KB menderita penyakit pada selaput lendir mulut. Pembengkakan gusi - antara lain - disebabkan oleh hormon sintesis yang dikandung pil KB. Lagi pula, penggunaan pil ini - sebagaimana dikatakan ahli kebidanan dan kandungan, Dr. Sudraji Sumapraja - tidak bisa dijadikan kebiasaan terus-menerus. "Kalau menelan pil terus sampai tua, akan ada akibat tertentu pada kesehatan, misalnya tekanan darah tinggi," katanya. Buat ibu-ibu di desa barangkali sudah waktunya mengetahui mengapa pil itu bisa mengakibatkan kegemukan atau sebaliknya membikin kurus. Untuk mereka yang sudah mantap menerima KB, dalam pengertian tidak mau punya anak lagi, Sudraji memberikan resep: sterilisasi. Sudraji kecewa mengapa sterilisasi belum juga dimasukkan dalam program KB. "Sudah waktunya," katanya. Dia menjelaskan, bagi pasangan yang sudah punya anak dan tak mau menambah lagi dan ingin lestari, sterilisasi jalan paling tepat. "Sebab, apakah yang minum pil akan selamanya minum pil, dengan segala akibatnya?" tanyanya memastikan. Ia lalu menceritakan kasus seorang peserta KB lestari yang sudah mendapat penghargaan, suatu ketika kebobolan. Kalang kabut mencari Sudraji. "Seharusnya, yang memperoleh penghargaan adalah mereka yang benar-benar mantap untuk tidak memiliki anak lagi," katanya. Untuk mereka yang memerlukan sterilisasi, jangan dihalang-halangi. "Tapi untuk yang tidak mau jangan pula dipaksa." Dari 1.000 peserta KB lestari yang akan mendapatkan penghargaan dari Presiden Soeharto serta makan siang bersama kepala negara dan ibu negara sambil menonton Teater Keong Mas di Taman Mini 11 Juli, dijumpai Theodora Bunman, yang berusia 42 tahun. Dia sudah menjadi peserta KB lestari sejati sejak 18 tahun yang lalu. Ibu dari tiga anak ini bercerita mengapa dia memilih tubektomi. "Kehidupan di Irian Jaya tahun 1960-an memasuki masa sulit," katanya bercerita. Gerombolan berkeliaran menakut-nakuti penduduk. Sehingga mencari makan susah. Untuk tidak menambah beban, akhirnya pegawai dok di Manokwari ini memutuskan untuk tubektomi. "Saya ambil keputusan itu tanpa ada rasa penyesalan sedikit pun," katanya. Suatu keberanian yang siapa tahu akan memberikan inspirasi kepada Hartono Suyono untuk berani mengoreksi kekeliruan-kekeliruan BKKBN yang mungkin telah menghambat lajunya penerimaan masyarakat mengenai pentingnya keluarga kecil dan bahagia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini