Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tertib Suratmo, 75 tahun, mengerang dengan suara keras dan panjang di rumahnya di Kampung Dipowinatan, Yogyakarta, Selasa pekan lalu. Otot leher dan lengannya semakin menyembul dari tubuh kurusnya. Ada nada kesakitan. Ada kesedihan dan kecemasan yang ditunjukkan lewat mimik wajahnya.
"Woaduh..., Buuu…. Iki piye…. Ngomah piye, Buuu…. Arek-arek podho kepiye…. (Aduh, ini bagaimana, Bu? Kondisi rumah bagaimana? Anak-anak bagaimana nasibnya?)."
Tertib mengulang adegan dari lakon Jurang yang dipentaskan Komunitas Rondjeng di Gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta, pada 19 dan 20 Maret lalu. Ia saat itu bermain bersama para dramawan Yogya yang malang-melintang di jagat perteateran Yogya pada 1970-an, seperti Fajar Suharno, 70 tahun; Liek Suryanto (72); Bambang Darto (65); Bambang Susiawan (62); Heru Sambawa (62); dan Hasmi (69). Tertib, yang merupakan pemain tertua, memerankan sosok sopir bus yang terbaring luka parah karena bus yang dikendarainya terjun ke jurang.
Lewat cuplikan adegan tersebut, Tertib ingin menunjukkan bahwa itulah yang disebut aliran realis. "Enggak ada kiasan. Ekspresi di sini (sambil menunjuk dada) muncul betul. Itu berat," kata Tertib.
Tiba-tiba di Yogya muncul Komunitas Rondjeng, yang didirikan Agoes Kencrot untuk merevitalisasi teater realis. Komunitas ini berusaha melibatkan seniman teater tua. "Masih banyak dramawan tua di Yogya. Tapi baru itu yang bisa diajak," ujar Fajar Suharno.
Dalam sejarah perteateran Yogya, kelompok teater yang dikenal pada 1970-an setia terhadap gaya realisme adalah Teater Muslim pimpinan Pedro Sujono. Brisman H.S., yang pernah bergabung dengan Teater Muslim hingga Pedro meninggal, dilibatkan sebagai asisten sutradara dalam pementasan ini. Teater Muslim didirikan Pedro sebagai perlawanan terhadap Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sedari awal aliran realis yang dipilih. Tema yang diangkat kisah sehari-hari yang mudah ditemukan.
"Aliran itu dipertahankan Pedro meskipun semua orang-istilah Pedro-mulai 'ber-Rendra'," kata Brisman. Menurut Brisman, Pedro kukuh mempertahankan realis. "Saya adalah penjaga gawang. Ketika orang ber-Rendra semua, saya tidak akan terpengaruh," ucap Pedro sebelum meninggal, seperti dikutip Brisman. Menurut Pedro, kata Brisman, sebelum seniman membuat karya neko-neko seperti Rendra, ia harus menguasai realis dengan baik.
Tertib Suratmo dan Fajar Suharno adalah jebolan Bengkel Teater Rendra. Tertib bergabung dengan Rendra pada 1967 dan keluar pada 1975. Setelah itu, ia ikut kelompok-kelompok yang didirikan eks Bengkel Teater. Sebut saja Teater Alam, yang didirikan Azwar A.N., dan Teater Ramada bersama Adjib Hamzah. Ia ikut melatih di Teater Dipo di Kampung Dipowinatan, yang kemudian berubah menjadi Teater Dinasti, yang salah satu motornya Gajah Abiyasa. Gajah adalah priayi dari Surakarta yang sering memberikan ide lakon kepada Rendra. Kebanyakan idenya tentang kritik sosial.
Tertib mengenang proses latihan berat bersama Rendra yang diistilahkannya semimiliter. Misalnya berjalan kaki pada malam hari dari Yogyakarta ke pantai Parangtritis, yang jaraknya berkisar 40 kilometer. Mereka berlatih pagi hari dan malam seusai magrib atau isya. Materi latihan misalnya pernapasan, olah vokal dan fisik, serta melatih imajinasi, gerakan indah, dan gerakan merespons musik. "Saya tidak punya pikiran ini realis atau bukan. Malah enggak ngerti," ucap Tertib. Dia ingat nama Tertib adalah tambahan yang diberikan Rendra untuk nama aslinya, Suratmo. Sebab, menurut Rendra, kerjanya selalu tertib di Bengkel Teater.
Bersama Rendra, ia ikut pentas dalam lakon seperti Hamlet, Oedipus Rex, Qasidah al Barzanji, Menunggu Godot, juga Macbeth. Hingga kemudian Rendra memperkenalkan aliran baru, teater minikata dan sampakan. Disebut minikata karena minim dialog dan lebih banyak gerak. Disebut sampakan karena musik yang mengiringi adalah gamelan. Saat itu aliran realis ala Pedro Sudjono di Teater Muslim masih kuat. "Mas Rendra tidak akan membunuh yang realis," kata Tertib.
Berkumpulnya teaterwan tua untuk memainkan realis ini menarik. Toh, meski penonton melimpah, Brisman mengaku tak puas. Dia justru merasakan kegalauan yang sangat. "Susah melakonkan realis. Pementasan Jurang itu masih jauh dari apa yang disebut realis," ujar Brisman.
Pito Agustin Rudiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo