Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Operasi tak hanya memperbaiki ihwal estetika, tapi juga, yang terpenting, kualitas pendengaran.
Suatu malam, Esti Okasari berjalan menuju toko langganannya. Ketika sedang menyeberangi jalan, ia baru sadar bahwa anaknya, Alfahriyah, 8 tahun, hendak ikut menyeberang. “Saya teriak, minta dia tidak menyeberang dulu,” kata Esti, pertengahan November lalu.
Bocah kelas II sekolah dasar itu tak mendengar pekikan ibunya. Firya—panggilan sang anak—malah berlari menyeberangi jalan. Bocah perempuan tersebut tak mengetahui ada sepeda motor melaju kencang ke arahnya. Ciiitt…. Beruntung pengendara sepeda motor segera menginjak pedal rem begitu menyadari gerakan Firya. “Saya lemes. Untung dia enggak ke-tabrak,” ujar warga Rangkasbitung, Lebak, Banten, itu, menceritakan insiden yang terjadi setahun lalu tersebut.
Esti, 34 tahun, mengatakan butuh suara lebih keras daripada biasanya ketika berbicara dengan Firya. Pendengaran anak ketiga Esti ini tak seperti bocah lain. Ia menderita mikrotia, kelainan bawaan yang mempengaruhi bentuk daun telinga.
Telinga kiri Firya mungil seperti kacang. Telinga kanannya lebih besar, tapi bentuknya juga tak normal. Ayah Firya dan dua tetangga kampungnya mengalami kelainan serupa.
Mikrotia berasal dari bahasa Latin, micro yang berarti kecil dan otia yang artinya telinga. Mikrotia adalah kelainan bawaan yang mempengaruhi- telinga bagian luar. Anak-anak dengan kondisi langka ini memiliki telinga luar lebih kecil ketimbang anak normal. Bentuknya pun tidak normal. “Atau bahkan tak ada daun telinga sama sekali,” kata dokter spesialis telinga-hidung-tenggorok Dini Widiarni dalam simposium di gedung Indonesian Medical Education and Research Institute-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 14 November lalu. Simposium digelar untuk memperingati hari mikrotia sedunia, yang jatuh pada 11 November.
Daun telinga alias kuping tak hanya berfungsi sebagai tempat mencantolkan kacamata atau memasang anting. Kuping bertugas menangkap suara dan mengarahkannya masuk ke saluran telinga. Bagi para penyandang mikrotia, bentuk daun telinga yang kurang sempurna menyebabkan mereka kesulitan mendengar dengan jelas.
Akibatnya, selain payah dalam urusan mendengarkan, perkembangan kemampuan berbicara, berbahasa, kognitif, dan sosial penyandang mikrotia lebih lambat ketimbang teman sebaya yang kondisinya normal. “Masalah sosial ini juga berdampak pada psiko-emosional,” ucap dokter spesialis telinga-hidung-tenggorok Ronny Suwento. Anak yang menderita mikrotia rentan dirisak dan merasa rendah diri.
Penyebab kelainan ini tak diketahui pasti. Namun ada kemungkinan pemicunya faktor keluarga dan mutasi genetik, termasuk sindrom Treacher Collins—kelainan bawaan yang mempengaruhi pertumbuhan tulang dan jaringan pada wajah. Sedangkan faktor risiko yang meningkatkan potensi terjadinya mikrotia antara lain diabetes melitus, diet rendah asam folat dan karbohidrat, obat jerawat isotretinoin yang mengurangi produksi minyak di kulit, infeksi rubela pada trimester pertama kehamilan, serta konsumsi alkohol saat hamil.
Sekitar 90 persen penyandang mengalami mikrotia pada satu telinga (unilateral). Sisanya menyandang mikrotia pada kedua telinganya (bilateral). Selain bermasalah pada telinga bagian luar, sebagian penderita mengalami atresia liang telinga, yakni ketiadaan saluran telinga. “Umumnya mikrotia terjadi dengan atresia liang telinga,” kata Ronny. Hal itu terjadi karena bagian luar dan tengah telinga berkembang dari satu blok jaringan yang sama dan pada saat yang sama ketika bayi dalam kandungan.
Kasus atresia liang telinga pertama kali dilaporkan oleh Paulus dari Aegina, dokter dan ahli bedah di Alexandria, Yunani, pada abad ketujuh. Masalah atresia liang telinga lebih kompleks. Penderitanya umumnya memiliki tulang telinga kecil dan tak lengkap serta tak mempunyai gendang telinga. “Daerah yang semestinya menjadi gendang telinga menjadi tulang yang menutup,” tutur dokter spesialis telinga-hidung-tenggorok Harim Priyono.
Telinga mulai terbentuk pada trimester kedua kehamilan. Formasinya lengkap pada usia 28 pekan kehamilan. Kelainan telinga ini bisa terdeteksi di kandungan menggunakan ultrasonografi empat dimensi. Tapi belum ditemukan cara memperbaiki kondisi saat bayi masih dalam kandungan ini. Masalah tersebut juga bisa langsung diketahui sesaat setelah bayi dilahirkan, seperti Firya serta kebanyakan anak dengan mikrotia dan atresia lain.
Jika kondisi tersebut diketahui, pemeriksaan menyeluruh mesti dilakukan, antara lain tes pendengaran dan computerized- tomography scan. “Untuk mengetahui apakah kondisinya lengkap, apakah, misalnya, rumah siputnya ada atau tidak,” Harim menjelaskan. Jika ada masalah pendengaran, alat bantu dengar akan dipasang. Beberapa pusat pemulihan memasangkan alat bantu dengar paling lambat saat usia bayi enam bulan.
Perbaikan liang telinga dan kuping baru bisa dilakukan ketika anak sudah mulai besar. Untuk atresia, menurut Harim, operasi pertama perbaikan saluran telinga biasanya dilakukan saat usia anak 4-5 tahun, yang merupakan fase emas anak untuk belajar.
Adapun operasi mikrotia, kata Dini Widiarni, direkomendasikan setelah anak berusia 6-9 tahun. Telinga pengganti bisa dibuat dari tulang iga anak itu sendiri. Umur 6-9 tahun adalah saat yang tepat karena telinga bagian luar sudah matang. Tulang iga anak yang akan digunakan sebagai telinga pengganti pun sudah memadai. “Lingkar dadanya paling tidak sudah 60 sentimeter,” ucapnya.
Biasanya, Harim menambahkan, butuh lebih dari sekali operasi. Dan, yang terpenting, perbaikan tersebut tak hanya menyangkut estetika, tapi juga fungsi pendengaran. “Biasanya antara fungsi dan kosmetik bertentangan. Bentuknya bagus, tapi secara fungsi kurang. Kami lebih merekomendasikan mementingkan fungsi,” ujarnya. Alat bantu dengar tetap dipasang jika dibutuhkan.
Gara-gara kejadian hampir tertabrak itu, Esti Okasari dan suaminya meminta dokter segera mengoperasi Firya. Telinga kiri -Firya sudah dioperasi tiga bulan lalu. Pendengarannya belum begitu membaik dan telinganya mesti dipasangi alat bantu dengar. Tapi Firya senang. Paling tidak, ia kini memiliki daun telinga. “Bisa pakai kacamata,” ucapnya, tertawa.
NUR ALFIYAH
Mikrotia berasal dari bahasa Latin, micro yang berarti kecil dan otia yang artinya telinga. Mikrotia adalah kelainan bawaan yang mempengaruhi telinga bagian luar. Anak-anak dengan kondisi langka ini memiliki telinga luar lebih kecil ketimbang anak normal. Bentuknya pun tidak normal. “Atau bahkan tak ada daun telinga sama sekali.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo