Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ERA milenial melahirkan banyak istilah baru. Di antaranya “begal bokong” dan “begal payudara”. Sudah tepatkah istilah ini?
Bertahun-tahun lamanya kata “begal” seolah-olah ditenggelamkan “maling” dan “rampok”. Berbeda dengan kata “kecu” yang sepertinya telah terlupakan, “begal” tiba-tiba muncul seiring dengan maraknya perampasan sepeda motor. Aksi ini sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan karena, selain sepeda motor, nyawa pemiliknya pun dirampas.
Yang membedakan begal dengan rampok dan maling adalah wilayah operasinya. Rampok dan maling beroperasi di dalam rumah, toko, atau tempat tertutup lain, sedangkan begal sebaliknya. Pada zaman dulu, begal beraksi di tengah hutan. Namun modernisasi telah melenyapkan hutan, menggantinya dengan jalan beraspal. Begal pun berpindah wilayah operasi. Korbannya kini orang yang kebetulan sendirian di jalan sepi. Sementara penjambret lebih suka merampas perhiasan, dompet, atau telepon seluler, begal memilih sepeda motor. Begal juga beraksi secara nekat dan terang-terangan: merampas sepeda motor dari pemiliknya di tengah jalan.
Sehubungan dengan laku semacam ini, bahasa Indonesia memiliki kosakata yang beragam. Tiap kata berusaha mewakili satu jenis perampasan. Umpamanya, pencuri kecil-kecilan disebut “maling”. Pencuri kelas kakap disebut “rampok”. Untuk menamai pelaku perampasan yang terjadi di jalanan, muncullah “penjambret” dan “begal”. Adapun untuk pencurian yang dilakukan kalangan tertentu seperti pejabat, bahasa Indonesia memiliki katanya sendiri, yaitu “korupsi”, sementara pelakunya disebut “koruptor”.
Bersama koruptor, kini begal merajalela. Khusus untuk begal, bukan lagi hanya sepeda motor yang diincarnya, melainkan juga bagian tubuh perempuan. Kaum perempuan yang menjadi korban biasanya tengah mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki. Payudara atau bokong korban tiba-tiba diremas pelaku. Kejahatan ini lantas melahirkan istilah “begal bokong” dan “begal payudara”.
Bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, begal adalah penyamun, yang berarti “orang yang menyamun, perampok, perampas”. Aksi ini berhubungan dengan mengambil sesuatu secara paksa dari pemiliknya. Dengan demikian, istilah “begal bokong” dan “begal payudara” tidak tepat karena tidak ada perampasan. Si pemilik payudara atau bokong tidak mengalami kehilangan bagian tubuhnya.
Penggunaan istilah yang tidak tepat ini jelas berdampak pada korban. Aksi tersebut bukan perampasan, melainkan pelecehan atau perundungan seksual. Dalam kasus perampasan, barang yang dirampas bisa saja dikembalikan atau diganti dengan yang baru. Namun, dalam kasus perundungan seksual, hal serupa tidak berlaku. Korban harus menanggung suatu kehilangan yang tidak tergantikan, yaitu harga diri. Jejak pelecehan yang dialami korban juga tidak akan terhapus, bahkan meski pelaku telah dihukum.
Selain itu, penyebutan aksi perundungan seksual sebagai sekadar “begal bokong” atau “begal payudara” menunjukkan rendahnya tingkat kepekaan masyarakat. Juga makin mengukuhkan pandangan publik bahwa perempuan sama dengan barang. Sebagai barang, bokong dan payudara perempuan dianggap bisa saja dirampas meskipun kenyataannya tidak demikian.
Obyektifikasi tubuh perempuan memang sudah lama terjadi. Pelacuran merekam jejak jual-beli tubuh perempuan yang sangat panjang hingga hari ini. Perempuan-perempuan malang dipajang di dalam etalase untuk dipilih lelaki yang berminat pada tubuhnya. Itulah sebabnya istilah pelacur hanya diperuntukkan bagi perempuan, bukan laki-laki. Istilah ini ada untuk mengukuhkan pola pandang patriarkal bahwa tubuh perempuan adalah obyek.
Gejala obyektifikasi tubuh perempuan dalam penggunaan istilah/bahasa menunjukkan masih adanya bias gender dalam masyarakat kita. Sebagai bagian dari masyarakat, media massa semestinya tidak ikut menyuburkan istilah yang mendiskreditkan perempuan. Adapun sebagai panduan dalam berbahasa, media massa hendaknya memberikan contoh yang positif kepada masyarakat.
Sudah semestinya istilah “begal bokong” dan “begal payudara” diganti dengan istilah yang lebih tepat. Ini untuk menghindari- obyektifikasi tubuh perempuan, juga agar lebih jelas bahwa kejahatan itu adalah tindakan perundungan seksual. Dengan demikian, hukuman yang diberikan kepada pelaku sudah seharusnya berbeda. Juga cara memperlakukan korban, terutama oleh media massa. Sebagai korban yang menanggung luka psikis, perlakukanlah mereka secara lebih manusiawi, termasuk dalam berbahasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo