Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah maju-mundur dan berdiskusi panjang-lebar dengan sutradara Robby Ertanto Soediskam, Maudy meminta Robby mencari pemeran lain karena menjelang syuting dia jatuh sakit dan harus dirawat di luar negeri. “Tapi Robby keukeuh, ‘Enggak, harus Empok yang main’,” katanya di Gedung Tempo, Jumat tiga pekan lalu.
Maudy, 43 tahun, akhirnya luluh dan menerima tawaran Robby. Sang suamilah, Erik Meijer, yang mendorongnya bermain dalam film itu. “Kamu kalau enggak ngapa-ngapain malah makin terpuruk,” ujar Maudy menirukan Erik. Baginya, yang paling penting adalah suaminya mengizinkan.
Pada hari pertama pengambilan gambar, badannya masih bengkak karena sakit. Baju dan sepatu kesempitan. “Begitu syuting, langsung sembuh. Mungkin karena bergerak,” ucap pemeran Zaenab dalam Si Doel the Movie itu.
Sebelum syuting di Semarang pada 2016, Maudy, yang berperan sebagai Maryam, biarawati dari keluarga muslim yang bertugas mengurus suster sepuh, melakukan riset di Ungaran, Jawa Tengah. Ia mengobrol dengan sejumlah biarawati sepuh di sana, mengumpulkan data, menulis, dan bertanya tentang kisah nyata mereka. “Saya merasa nyaman. Kayak lagi ketemu nini-nini, mamah-mamah gitu-lah,” ujar Maudy, yang masuk nominasi Aktris Pilihan Tempo dalam Festival Film Tempo 2018.
Maudy bersedia bermain di film itu karena merasa inilah kesempatan mengeksplorasi kemampuannya di film, meski ia tahu temanya sensitif. “Saya merasa ini sama sekali tidak mengubah keyakinan saya.”
Dok. Pribadi
Pusat Kebugaran Pribadi
JIKA Anda melihat orang joging di Kebun Raya Bogor pagi buta, itu pasti Hendra Wijaya. Pelari ultramaraton itu memiliki kartu anggota khusus yang memberinya akses masuk sebelum kawasan yang juga dijaga Pasukan Pengamanan Presiden tersebut buka pada pukul 8 pagi.
Hendra, 52 tahun, biasa masuk ke taman botani berusia 201 tahun itu pada pukul 05.30 Waktu Indonesia Barat. “Amanlah. Sebagian anggota Paspampres dan satpam juga kenal,” ujarnya, beberapa waktu lalu.
Berlari pagi di Kebun Raya Bogor menjadi agenda rutinnya jika tidak sedang dalam persiapan lomba. Selepas subuh, bos perusahaan garmen itu beranjak dari rumahnya di Ciparigi, Kota Bogor, Jawa Barat, untuk berlari 7 kilometer sampai ke Kebun Raya.
Bagaikan memiliki gym pribadi, dia melahap lintasan 6,5 kilometer di sana, lalu terus berlari sekitar 4 kilometer menuju Bogor Raya Lakeside. “Langsung berenang,” ucap Hendra, yang juga atlet triatlon—gabungan lari, renang, dan balap sepeda.
Rutinitas itu terhenti sementara. Hendra tengah mengikuti Run to Rebuild, lari amal dengan rute Bogor-Lombok-Palu, yang berjarak 2.400 kilometer.
Rute mahajauh seperti itu bukan sekali-dua kali Hendra lalui. Dia orang Indonesia pertama yang berlari sejauh 566 kilometer selama delapan hari dalam Yukon Arctic Ultra di Kutub Utara pada 2015. Kontes ini menjadi bagian dari Legends 5, lomba ekstrem populer yang jarak tempuhnya lebih dari 300 kilometer. Tahun ini, dia turun di kompetisi lari TransPyrenea, Prancis (900 kilometer), dan Montane Spine, Inggris (430 kilometer).
TEMPO/Ratih Purnama
Karena Nama
ADA masa-masa saat komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Hoesen, tersandung soal nama. Setiap kali masuk Amerika Serikat, pada 2000-2010, dia selalu tertahan di Imigrasi.
Interogasi berdurasi rata-rata satu setengah jam di ruang tertutup itu, Hoesen melanjutkan, selalu memiliki pertanyaan yang sama: mengapa nama di paspornya hanya satu kata. ”Saya bilang itu hal yang biasa di Indonesia. Presiden pertama kami namanya Sukarno, berikutnya Soeharto,” ujarnya di kantor Tempo, Senin malam tiga pekan lalu.
Nama di semua dokumennya memang cuma Hoesen. Sedikit perubahan terjadi pada paspornya per 2008. Demi umrah, dia menambahkan nama ayahnya, Endun Dwidjawinata, sesuai dengan ketentuan minimal tiga kata nama yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi. Anak keenam dari tujuh bersaudara itu menjadi satu-satunya yang bernama tunggal di keluarganya. ”Bapak bilang supaya hidup saya lebih simpel dan ringan,” kata pria kelahiran Harmoni, Jakarta Pusat, 52 tahun lalu itu.
Sarjana ilmu pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung, ini memulai karier sebagai juru tulis di PT Kliring Deposit Efek Indonesia pada 1993. Kariernya terus menanjak hingga menjadi Direktur Penilaian Perusahaan PT Bursa Efek Jakarta pada 2012, sebelum menjadi Kepala Eksekutif Pengawasan Pasar Modal OJK mulai tahun lalu. ”Alhamdulillah. Nama kan doa orang tua,” ujar Hoesen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo