Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Anwar Ibrahim, Sastrawan, dan Keberagaman

Dalam Georgetown Literary Festival di Penang, Anwar Ibrahim dihujani pertanyaan kritis. Sebuah festival sastra yang sangat terbuka, bebas, dan berani.

15 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bernice Chauly, sastrawan Malaysia, dalam sesi tanya-jawab dengan Anwar Ibrahim di Georgetown Literary Festival, Penang, Malaysia, 24 November 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Datuk Seri....” Di hadapan ratusan pengunjung Georgetown Literary Festival, sastrawan Malaysia, Bernice Chauly, mencoba menyusun pertanyaan berikutnya yang kelihatannya sulit diutarakan. Pe-ngunjung membeludak hingga duduk di lantai ruangan Heaven, auditorium Bangunan UAB, di tengah Kota Penang, Malaysia, Sabtu empat pekan lalu.

Di sebelah Bernice duduk Datuk Seri Anwar Ibrahim, mantan wakil perdana menteri yang sudah lama dinanti seluruh Malaysia terutama setelah beberapa bulan lalu memutuskan “bergandeng tangan” secara politis dengan Mahathir Mohamad. Sang Perdana Menteri inilah yang pernah menuduh Anwar melakukan sodomi dan memenjarakannya. Setelah dua putusan penjara, dua musuh bebuyutan itu “bersatu” demi menyingkirkan Perdana Menteri Najib Razak.

“Di ruangan ini, banyak kaum super-liberal, demikian julukan kepada kami,” kata Bernice, memulai pertanyaannya. “Beberapa bulan lalu, terjadi penyerangan terhadap komunitas LGBTQ dan kaum super-liberal yang membelanya. Kami ini mendukung Anda saat reformasi. Kami ditahan, diserang karena mendukung Anda dan mengkritik pemerintah. Kita warga Malaysia dengan berbagai ras, warna, agama, bentuk, dan ukuran. Datuk Seri, apakah Anda akan mengecewakan kami?”

Terdengar tepukan bergemuruh tak berkesudahan. Anwar tersenyum dan menjawab, “Saya sudah tahu Anda pasti akan mengeluarkan pertanyaan itu,” ujarnya, disambut riuh tawa. Anwar tampaknya sudah siap menghadapi pertanyaan kritis itu. Dia mengatakan, “Saya sama sekali tak ingin mencampuri urusan orientasi seksual orang lain....”

Lalu Anwar balik bertanya kepada khalayak seniman dan sastrawan yang hadir dalam festival tersebut. “Kalian ingin saya memimpin negeri ini, tapi kalian juga ingin saya menyatakan sesuatu yang bakal membuat saya kalah.” Itulah salah satu pertanyaan dan jawaban yang ditunggu banyak peserta Georgetown Literary Festival, yang sudah delapan kali diselenggarakan dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah daerah Penang.

Acara tanya-jawab dengan Anwar, yang didampingi pengacaranya, Mark Trowell, ini tidak hanya menunjukkan bahwa festival tersebut tidak sekadar berbicara tentang sastra dan kesenian. Festival ini juga sekaligus memperlihatkan bagaimana kehidupan seni, apalagi di negara-negara Asia, tak bisa dilepaskan dari situasi politik.

Anwar bukan hanya politikus terkemuka yang diharapkan menggantikan Mahathir Mohamad dua tahun yang akan datang. Dia juga seorang penulis. Bukunya, The Asian Renaissance, sangat dikenal di mana-mana. “Itulah sebabnya kami mengundangnya, karena festival ini memang menekankan keberagaman,” ucap Bernice, yang juga dikenal sebagai pendiri festival ini.

Selain itu, menurut Bernice, Anwar diundang karena kurator tak hanya ingin memperkenalkan Penang dan sastra Malaysia, tapi juga politik Malaysia, kepada sastrawan internasional yang hadir. “Anwar selalu berjanji akan menyajikan ‘Malaysia Baru’ pada masa yang akan datang,” kata penulis novel Once We Were There ini.

Keberagaman, keterbukaan, kebebasan, dan penuh warna merupakan karakter festival yang diselenggarakan pada 22-25 November lalu tersebut. Mungkin karena itu pula festival yang cukup baru ini meraih The International Excellence Awards 2018 dalam The Literary Festival Award di London Book Fair tahun ini. Begitu banyak acara yang diisi panel, lokakarya, pementasan, dan pembacaan karya dari 100 sastrawan dari 25 negara—termasuk 65 sastrawan Malaysia—yang memperlihatkan bahwa “keberagaman” dan “inklusif” bukanlah sekadar kata.

Ada panel yang terdiri atas sastrawan lesbian, gay, bisexual, transgender, dan queer- (LGBTQ) yang dengan terbuka menceritakan bagaimana mereka merasa aman membicarakan pengalaman serta tantangannya hidup sebagai gay pada masa yang makin konservatif ini. Ada juga panel yang dengan terbuka dan keras berbicara soal feminisme serta patriarki yang justru makin menjadi-jadi pada abad ke-21 ini.

Dari sisi ukuran, jumlah peserta, dan pengunjung, mungkin festival ini belum sebesar Ubud Writers and Readers Festival, yang sudah berusia 15 tahun. Tapi topik-topik yang dikurasi Georgetown Literary Festival mungkin bisa dikatakan berani dan provokatif. Acara tanya-jawab dengan Anwar Ibrahim jelas diskusi yang menarik, terbuka, dan jauh dari rasa waswas.

Persoalan konservatisme dan bahaya penggilasan keberagaman budaya, agama, serta ras bukan kasus yang hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara tetangga seperti Malaysia dan bahkan di seluruh dunia. Tampaknya, bagi Bernice Chauly dan rekan-rekannya di Georgetown Literary Festival, acara sastra internasional seperti ini adalah cara untuk memperlihatkan perlawanan terhadap keseragaman.

LEILA S. CHUDORI (PENANG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus