SELAMA ini gen sering dituding sebagai penyebab penyakit kanker hingga ketagihan alkohol. Selain itu, gen dianggap diturunkan dari generasi ke generasi. Kini anggapan tersebut pudar. Bahkan penyakit kesalahan gen ini bisa disembuhkan lewat transplantasi. Majalah The Economist, April lalu, menulis kebangkitan terapi gen ini. Berarti, kini manusia sudah mampu mengontrol gen. Gebrakan mentransplantasi gen-gen baru ke dalam tubuh manusia dilakukan di Amerika Serikat oleh French Anderson dan Michael Blaese dari Bethesda, Maryland, dua tahun lalu. Bekerja sama dengan Genetic Therapy Incorporated, Gaitherburg Maryland, mereka mencoba sistem SCID (severe combined immune deficiency) terhadap gadis umur empat tahun. Gadis ini kekurangan gen SCID -- yang memerintah sel membuat protein ADA (adenosine deaminase) -- sehingga tak mempunyai kekebalan tubuh. Anderson memasukkan duplikat gen ADA ke sel darah putih gadis itu. Sukses Anderson membawa angin segar dalam dunia kedokteran. Setelah itu, sekitar 16 percobaan terapi gen dilakukan. Dan 11 percobaan lagi siap dilakukan. Di Prancis dan Italia, kendati lamban, juga dilakukan hal serupa. Setelah upaya memindahkan gen ke makhluk lain dinilai berhasil, ada pendapat agar terapi itu segera diterapkan secara luas. Alasannya ialah hingga kini ada sekitar 4.000 penyakit yang ditimbulkan akibat sel kekurangan gen khusus. Contohnya cyntic fibrosis, penyakit turunan seperti pankreas, sistem pernapasan, dan kelenjar keringat. Penyakit ini muncul karena gen itu salah memberi perintah protein CFTR. Para terapis mencoba mengobati dengan memberikan gen yang dapat menormalkan perintah kepada protein. Bukan hanya itu. Modifikasi gen dystrophin, misalnya, dapat mengobati orang dari muscular dystrophin duchene -- penyakit susut otot. Contoh lain, orang yang mempunyai keturunan serangan jantung dalam usia muda, atau hypercholesterolameia, dapat disembuhkan oleh gen yang disebut LDL -- protein penerima yang mengeluarkan kolesterol dari darah. Penyakit yang muncul karena gen tidak bekerja normal biasanya diturunkan orangtua pada anaknya. Dan pengaruh lingkungan juga bisa membuat gen rusak. Modifikasi itu, meskipun bukan sekadar mengganti gen yang rusak, diharapkan menolong penyakit-penyakit tadi. Selain itu, juga ada terapi dari diri sendiri (counterintuisively). Terapi ini mempunyai kemungkinan sebagai jawaban terhadap penyakit yang ditularkan. "Jadi, bukan hanya penyakit yang diturunkan," kata Anderson. Salah satu percobaan yang masih dilakukan adalah vaksin genetik, yaitu sebuah gen yang menghasilkan protein tertentu dari beberapa virus atau bakteri, yang berguna bagi sistem kekebalan tubuh. Kendati kerjanya mirip dengan vaksin biasa, ternyata vaksin genetik punya kelebihan khusus: tidak hanya mengobati sistem kekebalan yang menghasilkan antibodi, juga membasmi sel perusak kekebalan tubuh. Di samping itu, vaksin tersebut menentukan suatu sel untuk menghasilkan partikel-partikel virus. Vical, perusahaan di San Diego, California, berhasil menemukan gen yang menghasilkan protein dalam pusat virus influensa. Protein ini disuntikkan pada tikus percobaan. Hasilnya, tikus itu mampu membuat sel pembunuh, karena tiap sel memproduksi protein inti. Semua ahli sependapat, protein merupakan calon potensial bagi terapi gen. Kini, penghambatnya adalah cara memindahkan (transplantasi) gen ke dalam sel si pasien. Keuntungan terapi gen ini, menurut Anderson, bisa menekan biaya pengobatan. Namun, karena manusia sudah terbiasa berpikir bahwa mereka mendapat gen dari orangtuanya, khawatir pemindahannya tidak berlangsung mulus. Masalah lain, bila gen yang dipindahkan itu menimbulkan efek buruk, bagaimana mengatasinya? Pemecahannya memang belum ada. "Jika efeknya itu karena obat, kita tinggal berhenti memakai obatnya," kata Anderson. Berkembangnya terapi gen tergantung cara yang efisien mentransferkan gen dalam sel. Namun, yang lazim digunakan adalah lewat virus, setelah diisi gen tertentu, lalu dimasukkan dalam sel. Kemudian, virus dalam sel itu membelah diri lebih banyak. Cara tadi banyak dipakai di laboratorium, dan kemudian digunakan secara luas. Akhir 1980-an, Richard Mulligan dari Whitehead Institute Boston, yang bekerja dengan Somatix dari Alameda, California, mengembangkan alat prototip viral untuk memasukkan gen dalam sel manusia. Ia menggunakan tipe virus yang disebut retrovirus. Bila retrovirus disuntikkan dalam sel, dengan cepat ia akan memperbanyak gen. Untungnya pendekatan retroviral: bila sel melipatgandakan diri, begitu juga dengan gen viral. Penemuan Mulligan ini paling dikenal. Sebab, dibentuk sebuah model yang terdiri dari gengen yang mampu memerintahkan sel agar menghasilkan protein. Model itu disuntikkan ke dalam sel tikus. Sel ini menghasilkan partikel kecil mirip virus. Retrovirus yang sudah lemah ini bisa masuk ke dalam sel. Bagaimana virus ini dimasukkan dalam sel manusia? Caranya, sel dari pasien diambil dan kemudian diberi virus sesuai dengan yang dikehendaki. Dengan kondisi yang steril, selsel tersebut dikembalikan ke pasien. Proses ini telah digunakan dalam semua percobaan terhadap manusia hingga kini. Prosedur yang hati-hati ini dapat menyingkirkan kemungkinan pemakaian virus secara negatif. Namun, bukan berarti terapi gen ini aman seratus persen. Persoalan yang mungkin muncul adalah bila gen baru yang dimasukkan ke dalam inti sel langsung ke tengah gen lain yang telah berfungsi. Atau, gen itu tidak terkontrol. Jika ini yang terjadi, tidak mustahil, bencanalah yang diperoleh. Di samping itu, beberapa retrovirus dikenal cenderung berubah menjadi oncogenes, yang bila diaktifkan bisa menjadi penyebab kanker. Kendati begitu, retrovirus mempunyai banyak keuntungan bagi terapi gen. Bila retrovirus yang dipakai untuk menularkan sel itu belum dewasa, bisa memberi pengaruh khusus yang panjang. Karena gen retroviral bekerja lewat pembagian sel, setiap jangkitan retroviral berarti semua keturunan sel nenek moyang akan mewariskan gen terapitik. Dan terapi itu selama masa hidup sel nenek moyang, yang berarti bisa sepanjang hayat. Sebenarnya, terapi ini belum dapat diterapkan secara umum. Karena kekebalan tersebar melalui darah, prosedur memasukkan gen ke dalam darah sementara ini masih sulit dan mahal. Kendala ini sedang diupayakan pemecahannya. Cell Genesys di Foster City California berkeinginan mengembangkan sel-sel offtheself yang bisa dimasukkan ke tiap orang. Jadi, tak perlu mengambil sel dari pasien. Masalah yang lebih sulit, cara yang enak untuk memasukkan gen langsung ke dalam tubuh. Hal tersebut lebih sulit dibandingkan dengan bagaimana cara mengeluarkan selsel dari tubuh. Jadi, pada metode retrovirus, ada tiga masalah. Pertama, retrovirus bisa menulari sejumlah besar sel, padahal terapik gen sering hanya diperlukan untuk sel tertentu. Dan bagaimana, misalnya, retrovirus yang dialamatkan ke paruparu itu tidak pula tersesat. Kedua, dalam telur yang dimotori sel tak terlihat pengamanannya, seperti dilakukan di laboratorium. Ketiga, retrovirus menjangkiti sel pembagi, dan pada beberapa sel seperti yang ada di paruparu. Meskipun didesak tiga masalah tadi, agaknya manusia tidak lagi terpaku dengan gen-gen warisan orangtuanya. Ia bisa memilih gen yang dibutuhkan. Terapi "jalur benih" ini jika berhasil akan membawa dampak besar pada manusia. Kebangkitan terapi gen itu menandai era baru, yaitu manusia memiliki kemampuan untuk mengontrol gen-gennya dan membentuk gengen tersebut seperti apa yang mereka inginkan. Bahkan para ahli sudah merancang mentransplantasikan gen ke dalam sel telur dan sperma. Kemajuan di bidang biologi ini ternyata menjadi bahan diskusi yang cukup ramai di kalangan para pakar. sebagian dari mereka bisa menerima terapi gen itu. Mereka beralasan, hal itu bisa dilakukan sepanjang tidak membahayakan orang lain. Namun, ada beberapa ahli berkomentar begini: terapi ini melanggar kodrat Tuhan. Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini