Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bila saya seorang filipina

Gambaran calon-calon presiden filipina: imelda marcos, jovito salonga, aquilino pimentel, danding cojuangco, salvador laurel, ramon mitra dan fidel ramos.

16 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDAIKAN saya warga negara Filipina, siapakah kiranya di antara calon-calon yang tidak ideal itu yang akan saya jagokan menjadi presiden? Memang muskil. Salah satu bentuk pernyataan kekecewaan saya adalah tidak menggunakan hak pilih. Tapi saya bukan tipe orang yang gampang frustrasi. Saya sadar bahwa dunia ini isinya serba ketidaksempurnaan, selalu ada kekurangan, serba ketidakidealan. Karena yang sempurna menurut akidah agama saya cuma satu. Allah saja. Maka, saya harus pandaipandai mengambil sikap positif. Saya tetap menganggap bahwa Cory Aquino merupakan figur pemersatu faksi-faksi pembaru Filipina yang sedang membangun tatanan, format politik, dan ekonomi barunya. Namun, saya toh tidak bisa apaapa karena Cory sudah terlanjur merasa tidak bisa dan tidak mampu. Biarpun didesak partainya, saudara kandungnya, iparnya, sampai pendukung-pendukung seniornya, dan mungkin juga gereja, keputusannya sudah final. Cory sudah mendapatkan hidayah untuk tahu diri. Bagaimana dengan hak untuk tidak tahu diri? Misalnya, Imelda Marcos. Biarpun semua orang tahu kebisaannya hanyalah memilih dan mengumpulkan pakaian bermerek, parfum terbaru, dan melambai-lambaikan tangan seraya mencium jarijarinya sendiri, ia toh nekat. Sebab, ia merasa mempunyai hak untuk tidak tahu diri. Biar uang tidak cukup banyak untuk nampang, organisasi hanya cukup untuk karnaval artis di panggung jalanan, ia tetap saja maju. Saya tidak memilih dia. Bagaimana dengan Jovito Salonga dan Aquilino Pimentel? Terus terang, saya terpesona pada sepak terjang, kejujuran, dan konsistensi pendiriannya. Kepribadian nasional Filipina, keswadayaan dalam pembangunan negaranya, dan harkat serta martabat bangsa adalah di atas segala-galanya. Kalau saya cuma ingat pada ego saya, pilihan pasti jatuh pada pasangan yang secara subyektif saya nilai memadai sebagai simbol pilihan jalan pembaruan di Filipina. Tapi itu kan pertimbangan subyektif. Kalau obyektif, saya harus tahu diri. Bagaimana langkah-langkah itu diaktualisasikan dalam sepak terjang selama ini dan apa dampak yang dirasakan seluruh rakyat Filipina? Langkah kedua patriot ini, ternyata, hanya mempertimbangkan sasaran jangka panjang, kurang peduli pada taktik dan strategi pelaksanaannya, serta mengabaikan dampak dan beban yang harus ditanggung rakyat Filipina seluruhnya. Filipina menjadi makin tidak kompatibel dengan tuntutan kebangkitan ekonomi dan politik yang bersama-sama dilaksanakan kekuatan modial. Kedua cerdik pandai dan jagoan ini kurang peduli pada penahapan dan kesabaran dalam melangkah mewujudkan cita-cita politiknya. Karena itu, dengan berat hati saya mengesampingkan nama keduanya untuk jabatan puncak di Filipina. Jangan minta saya mempertimbangkan Danding Cojuangco. Biarpun ia menjanjikan lapangan kerja dan pembangunan ekonomi, orang Filipina juga butuh harkat dan martabat. Mereka yang tidak sedang mabuk tentu tidak akan membiarkan diri dan bangsa serta negaranya dipimpin oleh taipak. Orang ini boleh saja mengandalkan kemampuan keuangannya, kontak bisnisnya, dan konglomerasi usahanya, tapi urusan politik bukan diukur dengan harta benda dan kiat mengelola usaha. Ini urusan concience, kesadaran politik, dan gegayuhan atau cita-cita kebangsaan dan kenegaraan. Omong kosong? Memang, kata para taipak, taipan, dan jago perduitan itu. Karena menurut mereka idealisme dan concience adalah omong kosong, mereka tidak sedikit pun berhak turut bicara dalam urusan kenegaraan dan pemerintahan. Singkirkan namanya. Bikin saya uringuringan saja. Lalu, Salvador Laurel, sang wakil Presiden sekarang. Orang ini oportunis dan hanya peduli pada kursi Presiden. Itu menurut penilaian saya dari sepak terjangnya selama ini. Perkara wawasan, sasaran, dan gagasan, jangan diharapkan dari tokoh seperti dia. Kalau perlu, urusan gagasan bisa dibeli, wawasan bisa diambangkan, atau sasaran kerjanya bisa pula dipungut dari mana-mana, bagaimana enaknya saja. Laurel junior ini, berbeda dari reputasi mendiang ayahnya, hanya layak membuat petisi dan menjelek-jelekkan kerja Presiden yang ada sekarang, seraya mematut-matut diri sendiri untuk menggantikannya. Kalau di Yogya masih mending, dia bisa dipasang sebagai penguasa di atas panggung, ketoprak. Di Filipina tidak ada ketoprak. Lalu, saya menengok Ramon Mitra. Tokoh ini punya organisasi, punya legitimasi partai, memimpin kongres dengan tangan santai, tapi juga mendapat dukungan rank and file orde baru Filipina serta Gereja Katolik di bawah Kardinal Sin yang penuh wibawa. Namun, saya kan bukan sedang meramal. Saya sedang menanyai hati nurani, tatkala mempertimbangkan tujuan nasional Filipina untuk melancarkan pembaruan ekonomi dan politik serta menyambungkan sistem nasional dengan perkembangan terbaru dunia. Tokoh ini, apa boleh buat, bukan potongan untuk memikul kredo baru Filipina: nasionalisme, keswadayaan, dan harga diri. Ia adalah tokoh politik dengan gaya dan perilaku politik orde lama. Saya tidak ingin Filipina kembali ke masa lampaunya, dengan sistem politik, ekonomi, dan kenegaraan yang sungguh telah memacetkan perjalanan kehidupan kebangsaan Filipina. Lalu Jenderal Ramos. Ia tentara. Ia tokoh pelaksana keadaan darurat perang terpanjang dalam sejarah kehidupan bangsa di dunia. Ia bukan pilihan Kardinal Sin. Tapi ia dipilih Cory karena jernih dalam mempertimbangkan langkah. Ia dijagokan kelas menengah karena komitmennya pada "kemajuan" Filipina. Ia meyakinkan siapa saja bahwa ia bisa getting things done. Siapa tahu, faksi gereja yang juga populer di Filipina, Iglesia Ni Kristo, mau mendukungnya. Siapa nyana, kalau rakyat Filipina sudah bisa memisahkan sentimen sektarian dari kepentingan bangsa secara keseluruhan. Karena itu, seandainya saya orang Filipina, saya tidak ada keraguan memilih Fidel "Eddie" Ramos sebagai Presiden berikutnya. Nanti, akan tiba giliran patriot sejati Filipina yang makin mendekati impian tentang Filipina yang maju, berwawasan kebangsaan yang kokoh, berswadaya, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa. Sekarang, rumah tangga perlu dibenahi dulu. Untuk itu, Ramos, bolehlah!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus