SUDAH 20 tahun Salimun, warga Desa Kidulpasar Pajang, Sala,
beherja sebagai buruh di proyek bangunan. Dalam musim hujan
seperti sekarang, ia gelisah karena nganggur. Lebihlebih karena
harga gula masih tinggi. "Saya tak bisa bercerai dengan gula.
Sehari minum tanpa gula, badan serasa lunglai," uJarnya.
Maka lelaki yang menanggung seorang istri dan dua cucu itu
menghidupkan kembali kelihaian yang sudah lama ditinggalkan.
Waktu muda, di Desa Blendung, Wates, Yogyakarta--sebelum hijrah
ke Surakarta - dia menguasai teknik membuat gula jawa. Keahlian
tradisional itu disebut menderes legen. tempat ditinggalkan,
"karena kerja itu berbahaya, nyawa taruhannya, " ujarnya ada
TEMPO.
Panut, adik Salimun, sempat patah tulang, jatuh dari pohon
kelapa, akibat pelepah pohon itu patah ketika ia asyik menderes
legen (nira). Lelaki itu kemudian meninggal. Tak kurang ,lari
empat penderes legen yang dikenal Salimun juga bernasib sama, di
bulan yang sama. Peristiwa tersebut membuat Salimun, 58 tahun,
kecut. "Saya belum rernah jatuh, tapi sudah pernah hampir
atuh,'' ujarnya. Lalu ia menceritakan ia kembali
kenang-kenangannya yang tak terlupakan.
Meskipun habis hujan lebat, pada suatu pagi di Desa
Blendung, Salimun nampak mengenakan celana kolor hitam, baju
kaus, topi dan membawa sabut serta potongan bambu sebagai
penampung nira. Ia memanjat kelapa. Memotong manggar (pelepah
buah). Kulit mancungnya dikupas, lalu diikat rapat. Tetesannya
ditadah pada bumbung bambu. Setelah itu rampung, ia memeriksa
bumbung yang sudah dipasangnya sehari sebelumnya--pipa bambu itu
sudah berisi cairan legen.
Lupa pada bahaya, Salimun bekerja sambil menembangkan suatu
lagu. Sementara mata mengawasi tangannya bekerja, pikirannya
melayang pada si Marinem, wanita pujaannya ketika itu. Tapi
begitu kakinya meleng sedikit, karena pelepah licin, badannya
kehilangan keseimbangan. Ia hampir saja melayang ke bumi seperti
Superman. Untung tangannya sempat menggapai pelepah lain.
Salimun selamat. Tapi sejak itu hatinya guncang.
Selama seminggu lebih Salimun tak berani lagi memanjat kelapa.
Dalam keadaan begitu, seorang tetangganya mengulurkan pekerjaan
sebagai tukang bangunan. Langsung diterimanya. Sejak itu ia
pindah ke Surabaya. Berhenti memanjat kelapa.
Es Gula Jawa
"Ketakutan mernanjat kelapa, sampai sekarang sebenarnya
belum lenyap, tapi apa boleh buat, ya, saya berani-beranikan.
Pelan-pelan dan sangat hati-hati," ujarnya menJelaskan
perasaannya kini. Bayangkan harga gula di Surakarta Rp 625
sekilo, karena itu ia merasa tak mungkin mampu membeli gula,
Dengan menekan ketakutarlnya, ia toh berhasil juga mcndapat gula
dengan kembali menyadap kelapa--setidak-tidaknya untuk
dipergunakan sendiri. Tidak banyak, terutama karena pohon kelapa
yang tidak dipersiapkan sejak semula untuk dideres--artinya yang
sudah sempat berbuah--tidak banyak memberikan hasil.
Setelah nira kelapa terkumpul, dituang ke dalam panci dan
dimasak sampai mendidih. Setelah itu tinggal pilih,ingin membuat
gula encer, atau gula padat. Salimun seringkali minum langsung
cairan legen itu, setelah agak dingin, karena rasanya memang
enak. "Waktu gula mahal seperti sekarang, saya tak perlu
pusing-pusing lagi," kata Salimun.
Kalau legen yang sudah mendidih terus dipanasi, akan
mengental seperti bubur. Adonan itu kemudian dituangkan ke dalam
cetakan, yaitu tempurung atau cangkir. Makin dingin akan makin
keras. Akhirnya akan jadi apa yang disebut gula jawa. "Biasanya
dipergunakan untuk bumbu masak, rujak--tapi bisa juga untuk
pemanis minuman," ungkap lelaki itu. "Bukankah di restoran kota
ada es susu gula jawa, es dawet gula jawa?"
Upaya Salimun untuk mengatasi krisis gula kemudian tersiar
di kampungnya. Para tetangga tertarik. Mereka mulai membeli gula
dari Salimun. Sayang Salimun belum siap. "Untuk dijual sulit,
mana pohon kelapanya?" katanya menjelaskan, "di Kota Sala tak
hanyak punya pohon kelapa. Cuma dua. Terpaksa saya tolak, yang
kepingin-kepingin saya beri gratis saja."
Pada masyarakat Batak Karo, Sumatera, pembuat gula aren
disebut pergula. Lazimnya mereka membangun gubuk di ladangnya
untuk memasak air dari tumbuhan yang disebut mergat. "Memasak
air mergat menjadi gula nira, adalah pekerjaan yang setengah
mati," kata Lias Kembaren, 51 tahun, wanita Desa Tembungan -- 3
5 km tenggara Kota Medan.
Pohon mergat yang menghasilkan buah kolang-kaling adalah
tumbuhan liar, tidak sengaja ditanam. Kalau dirawat, dalam tempo
delapan tahun ia menghasilkan air gula. Kalau dibiarkan saja,
baru 15 tahun kemudian bisa dimanfaatkan. Tapi tidak semua pohon
mergat (enau) bisa menghasilkan air gula. Kalau nasib seorang
pergula sedang sial, sampai kapan pun usahanya akan sia-sia.
Tapi kalau lagi langkah kanan, sebatang mergat bisa memberi dua
tandan bunga yang masing-masing meneteskan air -total keduanya
sehari bisa memberikan 40 liter.
Tuak
Sebagaimana di Jawa, yang dipergunakan untuk menadah air
mergat adalah tabung bambu. Kenapa bambu? Menurut para pergula,
kalau yang dipergunakan kaleng, rasa air mergat akan berubah,
tidak manis lagi tapi seperti tuak. Dalam memasaknya juga harus
hatihati, tidak boleh kecipratan air asam. Bisa kental. Juga
kalau tidak langsung dimasak--ditunggu sampai satu malam
--rasanya akan asam seperti tuak. Jadi membuat gula mergat
membutuhkan ketelitian.
Di Kabupaten Deli Serdang, 2716 kepala keluarga menjadi
pergula. Mereka sudah siap bekerja pukul 5 pagi. Setelah
sarapan, langsung menuju sasaran di tengah hutan -- kadangkala
sampai 3 km. Dipanjat dengan menegakkan batang bambu di pohon
enau itu. Ini memerlukan ketrampilan ibu jari kaki berpijak di
lubang ruas-ruas bambu. Sebuah tabung bambu yang dipasang akan
diambil pada hari berikutnya. Dan kalau hasilnya dimasak sekitar
pukul 8, baru menjadi gula pada pukul 3 sore. Enampuluh liter
air mergat hanya bisa jadi 8 kilo gula aren.
Mengambil air mergat selalu dikepung bahaya. Sitepu, 48
tahun, di Desa Tembungan (Deli Serdang), adalah pergula yang
tampak jauh lebih tua dari usianya. Pada Juni 1976 ia sempat
dipatuk ular di bawah pohon mergat. Bukan main sakitnya. Ia
tidak mampu berdiri, hanya mampu menjerit. Istrinya mendengar
jeritan itu, lalu datang dan memapahnya. Tak kurang dari enam
hari Sitepu demam.
Lias Kembaran, 51 tahun, di Desa Simpang Ruma Slmbul,
Kecamatarl Sibolangit --40 km di selatan Medan -- terus terang
mengatakan hidupnya penuh ancaman. Di pohon mergat ada ular
berkepala merah yang suka tidur di pelepah daun. Bes21rnya
sekitar pergelangan tangan orang dewasa. IIobi binatang itu
mematuk jari. Banyak teman Lias yang sudah jadi korbannya. Kalau
dibawa ke dokter, sring dianjurkan untuk dipotong supaya
racunnya jangan merambat. Biasanya para pergula geli, lantas
membawa jatinya yang terpatuk itu pulang kembali ke rumah untuk
diobati secara tradisional. Umumnya sembuh, tanpa dipotong.
Ancaman lain adalah tawon, kalajengking dan lipan di
pelepah daun. Belum lagi bahaya jatuh. Anak Lias yang berusia 22
tahun pernah melayang dari ketinggian 12 meter. Pergelangan
tangan kirinya patah. "Tapi meski begitu, kami harus selalu
gembira melakllkannya," kata Lias.
Lias adalah orang yang beruntung Sebagai pergula, air
mergatnya sejak tahun 1961 tak pernah putus. "Mungkin karena
saya selalu ingat petuah orang tua yang menyebut, kalau ada yang
meminta gula arenmu, jangan menampik -- sebab air mergatmu akan
tamhal deras," ujarnya.
Orang-orang di Desa Gaprang, Godo desa, Karangsana, Tlogo
dan beberap. desa di sekitar Kota Blitar, Jawa TimuIjuga
termasuk lebih suka menyuna t kelapanya, daripada menunggunya
ber buah. Mereka hidup dari gula aren. Bila dari seluruh daerah
ini dikumpulkan. setiap bulan tak kurang dari 40 ton gula aren
yang diproduksi. Sayang mereka tidak terorganisir, sehingga
nasibnya tetap berada di tangan para tengkulak penyalurnya.
Juru Panjat
"Dulu pernah ada koperasi yang mengatur penjualan hasil
gula kelap. dari Gaprang, tapi umurnya hanya sat bulan.
Pengurusnya tak mampu menghadapi taktik damping dari pedagan,
kuat. Akibatnya koperasi bubar," kata Abdul Mukti. Lelaki
berusia 45 tahun ini memiliki 18 batang kelapa di sekitar
rumahnya. "Selama 10 tahun menderes gula kelapa, hasilnya
dibilang cukup yah cukup, kurang ya kurang,?' ujarnya lebih
lanjut.
Menurut Mukti harga gula kelapa tak menentu. Artinya
tergantung dari pedagang yang membelinya. Meskipun gula putih
sudah melejit, harganya masih tetap saja, Rp 150 per kg.
"Harganya naik waktu bulan puasa dan menjelang lebaran, karena
banyak orang membuat kue. Tapi kalau musim hujan, harganya
jatuh, mutunya pun kurang," kata Mukti terus terang.
Usaha membuat gula dari kelapa, melahirkan pula mata
pencaharian lain. Karena tidak semua pemilik kelapa mau naik
pohon kelapa, terbukalah kesempatan kepada seorang bernama
Tiram, 56 tahun, misalnya, sebagai tukang panjat. Dengan
telanjang dada dan celana pendek, serta parang dan sepasang
bumbung di pinggang, tiap hari ia merangkul batang kelapa. Hujan
atau tidak, harus memanjat. "Waktu masih muda, naik 50 pohon
pagi dan 50 pohon sore sudah biasa," katanya mengenangkan.
Tiram sudah menjadi buruh panjat selama 44 tahun, mulai
ketika masih berusia 10 tahun. Kemudian ia beristri dan beranak,
sementara tak ada kerja lain. Akhirnya ia sudah seperti
ditakdirkan jadi tukang panjat. Sekarang prestasinya sudah
menurun. Ia hanya mampu memanjat 20 batang pagi dan 20 sore
harinya. Upah panjat Rp 25 per pohon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini