Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tiada Gula, Aren Berguna

Pembuat gula aren selalu dikepung bahaya. lengah sedikit, nyawa taruhannya. selain jatuh, ular, tawon, kalajengking dan lipan merupakan musuhnya.

29 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH 20 tahun Salimun, warga Desa Kidulpasar Pajang, Sala, beherja sebagai buruh di proyek bangunan. Dalam musim hujan seperti sekarang, ia gelisah karena nganggur. Lebihlebih karena harga gula masih tinggi. "Saya tak bisa bercerai dengan gula. Sehari minum tanpa gula, badan serasa lunglai," uJarnya. Maka lelaki yang menanggung seorang istri dan dua cucu itu menghidupkan kembali kelihaian yang sudah lama ditinggalkan. Waktu muda, di Desa Blendung, Wates, Yogyakarta--sebelum hijrah ke Surakarta - dia menguasai teknik membuat gula jawa. Keahlian tradisional itu disebut menderes legen. tempat ditinggalkan, "karena kerja itu berbahaya, nyawa taruhannya, " ujarnya ada TEMPO. Panut, adik Salimun, sempat patah tulang, jatuh dari pohon kelapa, akibat pelepah pohon itu patah ketika ia asyik menderes legen (nira). Lelaki itu kemudian meninggal. Tak kurang ,lari empat penderes legen yang dikenal Salimun juga bernasib sama, di bulan yang sama. Peristiwa tersebut membuat Salimun, 58 tahun, kecut. "Saya belum rernah jatuh, tapi sudah pernah hampir atuh,'' ujarnya. Lalu ia menceritakan ia kembali kenang-kenangannya yang tak terlupakan. Meskipun habis hujan lebat, pada suatu pagi di Desa Blendung, Salimun nampak mengenakan celana kolor hitam, baju kaus, topi dan membawa sabut serta potongan bambu sebagai penampung nira. Ia memanjat kelapa. Memotong manggar (pelepah buah). Kulit mancungnya dikupas, lalu diikat rapat. Tetesannya ditadah pada bumbung bambu. Setelah itu rampung, ia memeriksa bumbung yang sudah dipasangnya sehari sebelumnya--pipa bambu itu sudah berisi cairan legen. Lupa pada bahaya, Salimun bekerja sambil menembangkan suatu lagu. Sementara mata mengawasi tangannya bekerja, pikirannya melayang pada si Marinem, wanita pujaannya ketika itu. Tapi begitu kakinya meleng sedikit, karena pelepah licin, badannya kehilangan keseimbangan. Ia hampir saja melayang ke bumi seperti Superman. Untung tangannya sempat menggapai pelepah lain. Salimun selamat. Tapi sejak itu hatinya guncang. Selama seminggu lebih Salimun tak berani lagi memanjat kelapa. Dalam keadaan begitu, seorang tetangganya mengulurkan pekerjaan sebagai tukang bangunan. Langsung diterimanya. Sejak itu ia pindah ke Surabaya. Berhenti memanjat kelapa. Es Gula Jawa "Ketakutan mernanjat kelapa, sampai sekarang sebenarnya belum lenyap, tapi apa boleh buat, ya, saya berani-beranikan. Pelan-pelan dan sangat hati-hati," ujarnya menJelaskan perasaannya kini. Bayangkan harga gula di Surakarta Rp 625 sekilo, karena itu ia merasa tak mungkin mampu membeli gula, Dengan menekan ketakutarlnya, ia toh berhasil juga mcndapat gula dengan kembali menyadap kelapa--setidak-tidaknya untuk dipergunakan sendiri. Tidak banyak, terutama karena pohon kelapa yang tidak dipersiapkan sejak semula untuk dideres--artinya yang sudah sempat berbuah--tidak banyak memberikan hasil. Setelah nira kelapa terkumpul, dituang ke dalam panci dan dimasak sampai mendidih. Setelah itu tinggal pilih,ingin membuat gula encer, atau gula padat. Salimun seringkali minum langsung cairan legen itu, setelah agak dingin, karena rasanya memang enak. "Waktu gula mahal seperti sekarang, saya tak perlu pusing-pusing lagi," kata Salimun. Kalau legen yang sudah mendidih terus dipanasi, akan mengental seperti bubur. Adonan itu kemudian dituangkan ke dalam cetakan, yaitu tempurung atau cangkir. Makin dingin akan makin keras. Akhirnya akan jadi apa yang disebut gula jawa. "Biasanya dipergunakan untuk bumbu masak, rujak--tapi bisa juga untuk pemanis minuman," ungkap lelaki itu. "Bukankah di restoran kota ada es susu gula jawa, es dawet gula jawa?" Upaya Salimun untuk mengatasi krisis gula kemudian tersiar di kampungnya. Para tetangga tertarik. Mereka mulai membeli gula dari Salimun. Sayang Salimun belum siap. "Untuk dijual sulit, mana pohon kelapanya?" katanya menjelaskan, "di Kota Sala tak hanyak punya pohon kelapa. Cuma dua. Terpaksa saya tolak, yang kepingin-kepingin saya beri gratis saja." Pada masyarakat Batak Karo, Sumatera, pembuat gula aren disebut pergula. Lazimnya mereka membangun gubuk di ladangnya untuk memasak air dari tumbuhan yang disebut mergat. "Memasak air mergat menjadi gula nira, adalah pekerjaan yang setengah mati," kata Lias Kembaren, 51 tahun, wanita Desa Tembungan -- 3 5 km tenggara Kota Medan. Pohon mergat yang menghasilkan buah kolang-kaling adalah tumbuhan liar, tidak sengaja ditanam. Kalau dirawat, dalam tempo delapan tahun ia menghasilkan air gula. Kalau dibiarkan saja, baru 15 tahun kemudian bisa dimanfaatkan. Tapi tidak semua pohon mergat (enau) bisa menghasilkan air gula. Kalau nasib seorang pergula sedang sial, sampai kapan pun usahanya akan sia-sia. Tapi kalau lagi langkah kanan, sebatang mergat bisa memberi dua tandan bunga yang masing-masing meneteskan air -total keduanya sehari bisa memberikan 40 liter. Tuak Sebagaimana di Jawa, yang dipergunakan untuk menadah air mergat adalah tabung bambu. Kenapa bambu? Menurut para pergula, kalau yang dipergunakan kaleng, rasa air mergat akan berubah, tidak manis lagi tapi seperti tuak. Dalam memasaknya juga harus hatihati, tidak boleh kecipratan air asam. Bisa kental. Juga kalau tidak langsung dimasak--ditunggu sampai satu malam --rasanya akan asam seperti tuak. Jadi membuat gula mergat membutuhkan ketelitian. Di Kabupaten Deli Serdang, 2716 kepala keluarga menjadi pergula. Mereka sudah siap bekerja pukul 5 pagi. Setelah sarapan, langsung menuju sasaran di tengah hutan -- kadangkala sampai 3 km. Dipanjat dengan menegakkan batang bambu di pohon enau itu. Ini memerlukan ketrampilan ibu jari kaki berpijak di lubang ruas-ruas bambu. Sebuah tabung bambu yang dipasang akan diambil pada hari berikutnya. Dan kalau hasilnya dimasak sekitar pukul 8, baru menjadi gula pada pukul 3 sore. Enampuluh liter air mergat hanya bisa jadi 8 kilo gula aren. Mengambil air mergat selalu dikepung bahaya. Sitepu, 48 tahun, di Desa Tembungan (Deli Serdang), adalah pergula yang tampak jauh lebih tua dari usianya. Pada Juni 1976 ia sempat dipatuk ular di bawah pohon mergat. Bukan main sakitnya. Ia tidak mampu berdiri, hanya mampu menjerit. Istrinya mendengar jeritan itu, lalu datang dan memapahnya. Tak kurang dari enam hari Sitepu demam. Lias Kembaran, 51 tahun, di Desa Simpang Ruma Slmbul, Kecamatarl Sibolangit --40 km di selatan Medan -- terus terang mengatakan hidupnya penuh ancaman. Di pohon mergat ada ular berkepala merah yang suka tidur di pelepah daun. Bes21rnya sekitar pergelangan tangan orang dewasa. IIobi binatang itu mematuk jari. Banyak teman Lias yang sudah jadi korbannya. Kalau dibawa ke dokter, sring dianjurkan untuk dipotong supaya racunnya jangan merambat. Biasanya para pergula geli, lantas membawa jatinya yang terpatuk itu pulang kembali ke rumah untuk diobati secara tradisional. Umumnya sembuh, tanpa dipotong. Ancaman lain adalah tawon, kalajengking dan lipan di pelepah daun. Belum lagi bahaya jatuh. Anak Lias yang berusia 22 tahun pernah melayang dari ketinggian 12 meter. Pergelangan tangan kirinya patah. "Tapi meski begitu, kami harus selalu gembira melakllkannya," kata Lias. Lias adalah orang yang beruntung Sebagai pergula, air mergatnya sejak tahun 1961 tak pernah putus. "Mungkin karena saya selalu ingat petuah orang tua yang menyebut, kalau ada yang meminta gula arenmu, jangan menampik -- sebab air mergatmu akan tamhal deras," ujarnya. Orang-orang di Desa Gaprang, Godo desa, Karangsana, Tlogo dan beberap. desa di sekitar Kota Blitar, Jawa TimuIjuga termasuk lebih suka menyuna t kelapanya, daripada menunggunya ber buah. Mereka hidup dari gula aren. Bila dari seluruh daerah ini dikumpulkan. setiap bulan tak kurang dari 40 ton gula aren yang diproduksi. Sayang mereka tidak terorganisir, sehingga nasibnya tetap berada di tangan para tengkulak penyalurnya. Juru Panjat "Dulu pernah ada koperasi yang mengatur penjualan hasil gula kelap. dari Gaprang, tapi umurnya hanya sat bulan. Pengurusnya tak mampu menghadapi taktik damping dari pedagan, kuat. Akibatnya koperasi bubar," kata Abdul Mukti. Lelaki berusia 45 tahun ini memiliki 18 batang kelapa di sekitar rumahnya. "Selama 10 tahun menderes gula kelapa, hasilnya dibilang cukup yah cukup, kurang ya kurang,?' ujarnya lebih lanjut. Menurut Mukti harga gula kelapa tak menentu. Artinya tergantung dari pedagang yang membelinya. Meskipun gula putih sudah melejit, harganya masih tetap saja, Rp 150 per kg. "Harganya naik waktu bulan puasa dan menjelang lebaran, karena banyak orang membuat kue. Tapi kalau musim hujan, harganya jatuh, mutunya pun kurang," kata Mukti terus terang. Usaha membuat gula dari kelapa, melahirkan pula mata pencaharian lain. Karena tidak semua pemilik kelapa mau naik pohon kelapa, terbukalah kesempatan kepada seorang bernama Tiram, 56 tahun, misalnya, sebagai tukang panjat. Dengan telanjang dada dan celana pendek, serta parang dan sepasang bumbung di pinggang, tiap hari ia merangkul batang kelapa. Hujan atau tidak, harus memanjat. "Waktu masih muda, naik 50 pohon pagi dan 50 pohon sore sudah biasa," katanya mengenangkan. Tiram sudah menjadi buruh panjat selama 44 tahun, mulai ketika masih berusia 10 tahun. Kemudian ia beristri dan beranak, sementara tak ada kerja lain. Akhirnya ia sudah seperti ditakdirkan jadi tukang panjat. Sekarang prestasinya sudah menurun. Ia hanya mampu memanjat 20 batang pagi dan 20 sore harinya. Upah panjat Rp 25 per pohon.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus