JALAN Deli di Pasar Sindang Rawa Badak, Tanjung Priok
(Jakarta Utara), selalu rusak berat. Bukan karena lalu lintas di
jalan yang sempit ini selalu padat. Tapi penyebab lebih penting
adalah karena tumpahan air dari gerobakgerobak penjual air minum
untuk warga di daerah yang memang langka air bersih itu .
Puluhan, bahkan ratusan, gerobak air setiap saat berlalu-lalang
di sepanjang jalan itu. Sehingga walaupun dalam musim kemarau,
jalan itu selalu terlihat becek dan tentu saja lubang-lubang yang
ada semakin dalam.
Biang, kebecekan dan kerusakan jalan itu minggu lalu untuk
pertama kalinya dijatuhi hukuman. Lebih kurang 300 gerobak air
terjerat, pemiliknya dihukum denda antara Rp 3.500 sampai Kp
5.000 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Mereka dianggap
melanggar Perda No. 3/1972 yang mengatur masalah ketertiban di
wilayah DKI ini. Berdasar Perda ini, mereka dianggap telah
melanggar ketertiban yang menyebabkan Jalan Deli selalu dalam
keadaan rusak.
Razia
Saat ini diperkirakan ada 30 ribu gerobak air beroperasi di
Jakarta Utara. Kebutuhan air minum di wilayah ini memang
merepotkan penduduk. Air ledeng baru menjamah sebagian kecil
rumah, sementara air sumur terasa asin dan payau sehingga tak
mungkin diminum. Kebutuhan akan air minum memaksa penduduk
bergantung kepada tukang air, baik pikulan maupun gerobak.
Bisnis air ini, ternyata menarik banyak orang. Puluhan
pangkalan air bersih bertebaran di Jakarta Utara. Mereka
menampung air-air dari mobil tangki, dan kemudian
mendistribusikannya melalui pedagang pikulan atau gerobak.
Sementara itu, tumbuh pula usaha menyewakan gerobak air.
Sayangnya gerobak air tidak cukup dilengkapi peralatan agar
airnya tidak tumpah ke jalan. Jerigen air yang dimuat sampai 10
buah di satu gerobak, terbuka bagian atasnya, sehingga air mudah
tumpah kalau terguncang.
Begitu terjadi berulang kali setiap hari ratusan gerobak
menyirami jalan, digilas mobil, dan akhirnya jalan pun bolong.
"Jalan Deli selalu dalam keadaan rusak. Bahkan 3 bulan lalu
diperbaiki kini kembali jadi kubangan kerbau," keluh J. Soedarmo,
Kepala Urusan II/Kamtib Jakarta Utara.
Untuk mencegah tumpahan air ini, akhir September 1980,
Walikota Jakarta Utara mengeluarkan SK penertiban gerobak dorong
air. Isinya: mengharuskan pengusaha gerobak mendaftar di kantor
pajak. Selain itu, gerobak air dilarang menumpahkan airnya ke
jalan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini gerobak bisa disita,
usaha ditutup ataudiajukan ke pengadilan.
Pemberitahuan peraturan ini kepada penduduk, menurut J.
Soedarmo telah dilakukan. Penerangan mula-mula dilakukan memalui
camat, kemudian juga memakai mobil penerangan. Tapi para penjual
air rupanya tak hirau. Sehingga dilakukan razia.
Pada razia pertama, para penjual ditangkap dan diserahkan ke
camat untuk diberi peringatan. Setelah semua dirasa cukup, 3
November lalu, razia dilakukan tanpa ampun. Yang tertangkap,
langsung diajukan ke pengadilan.
Sesudah razia agaknya pengusaha air jera. Ramai-ramai mereka
mendaftarkan diri, dan sampai sekarang sudah terdaftar 426 5
gerobak . Razia juga dimaksudkan untuk membatasi gerobak air.
Sebab "kalau berkembang cepat, susah mengaturnya," kata
Soedarmo. Apalagi, Kamtib bukan hanya mengatur gerobak air,
tetapi juga WTS, gelandangan, kaki lima, becak, bangunan liar
dan sebagainya.
Tukang air yang menjadi biang kerusakan jalan itu, tidak
menolak tuduhan. "Betul, airnya tumpah," kata seorang tukang
gerobak. Kubangan air itu juga menyusahkan tukang gerobak." Ada
yang terbalik, ada yang rodanya penyok, pokoknya macam-macam
oom," kata Cecep seorang tukang gerobak.
Setiap penjual air menyewa gerobak dari pemiliknya dengan
tarif Rp 400 sehari. Air bersih mereka beli di bak-bak
distributor dengan harga Rp 50 satu gerobak. di musim hujan.
Bila kemarau datang, harga bisa naik menjadi Rp 200. Air bersih
itu dibeli pemakai dengan harga Rp 500 segerobak.
Setiap hari biasanya seorang penjual dapat melljual antara 5
sampai 6 gerobak air, dengan jalan menjajakan ke rumah-rumah.
Seorang penjual, Cecep, (35 tahun) mengaku telah 5 tahun
menjual air dengan penghasilan antara Rp 1.500 sampai Rp 2.000
sehari. Tetapi di musim hujan seperti sekarang penghasilannya
bisa turun menjadi Rp 500.
Hingga saat ini PAM Jakarta Utara hanya mampu memberi air
bagi 170 langganan khusus di Sindang dan sekitarnya. Mereka
inilah yang menjual air bersih kepada para pedagang pikulan dan
dengan gerobak tadi. Walikota Jakarta Utara pernah menghubungi
PAM agar jumlah langganan lebih disebar. Tapi belum didapat
alasan resmi pihak PAM, sehingga jumlah langganan sekarang belum
bertambah juga.
Tapi sekarang ini sedang disiapkan instalasi air mini di
Sunter. Pemda DKI merencanakan instalasi ini sudah dapat
mengucurkan air tahun depan. "Mudah mudahan dapat mencukupi
kebutuhan warga setempat," kata Walikota Jakarta Utara,
Kustamto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini