Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Air, Dilarang Tumpah

300 penjual air dengan gerobak di tanjung priok di adili, mereka dituduh melanggar ketertiban, menumpahkan air sehingga merusakkan jalan. pengusaha gerobak harus mendaftar di kantor pajak.

29 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN Deli di Pasar Sindang Rawa Badak, Tanjung Priok (Jakarta Utara), selalu rusak berat. Bukan karena lalu lintas di jalan yang sempit ini selalu padat. Tapi penyebab lebih penting adalah karena tumpahan air dari gerobakgerobak penjual air minum untuk warga di daerah yang memang langka air bersih itu . Puluhan, bahkan ratusan, gerobak air setiap saat berlalu-lalang di sepanjang jalan itu. Sehingga walaupun dalam musim kemarau, jalan itu selalu terlihat becek dan tentu saja lubang-lubang yang ada semakin dalam. Biang, kebecekan dan kerusakan jalan itu minggu lalu untuk pertama kalinya dijatuhi hukuman. Lebih kurang 300 gerobak air terjerat, pemiliknya dihukum denda antara Rp 3.500 sampai Kp 5.000 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Mereka dianggap melanggar Perda No. 3/1972 yang mengatur masalah ketertiban di wilayah DKI ini. Berdasar Perda ini, mereka dianggap telah melanggar ketertiban yang menyebabkan Jalan Deli selalu dalam keadaan rusak. Razia Saat ini diperkirakan ada 30 ribu gerobak air beroperasi di Jakarta Utara. Kebutuhan air minum di wilayah ini memang merepotkan penduduk. Air ledeng baru menjamah sebagian kecil rumah, sementara air sumur terasa asin dan payau sehingga tak mungkin diminum. Kebutuhan akan air minum memaksa penduduk bergantung kepada tukang air, baik pikulan maupun gerobak. Bisnis air ini, ternyata menarik banyak orang. Puluhan pangkalan air bersih bertebaran di Jakarta Utara. Mereka menampung air-air dari mobil tangki, dan kemudian mendistribusikannya melalui pedagang pikulan atau gerobak. Sementara itu, tumbuh pula usaha menyewakan gerobak air. Sayangnya gerobak air tidak cukup dilengkapi peralatan agar airnya tidak tumpah ke jalan. Jerigen air yang dimuat sampai 10 buah di satu gerobak, terbuka bagian atasnya, sehingga air mudah tumpah kalau terguncang. Begitu terjadi berulang kali setiap hari ratusan gerobak menyirami jalan, digilas mobil, dan akhirnya jalan pun bolong. "Jalan Deli selalu dalam keadaan rusak. Bahkan 3 bulan lalu diperbaiki kini kembali jadi kubangan kerbau," keluh J. Soedarmo, Kepala Urusan II/Kamtib Jakarta Utara. Untuk mencegah tumpahan air ini, akhir September 1980, Walikota Jakarta Utara mengeluarkan SK penertiban gerobak dorong air. Isinya: mengharuskan pengusaha gerobak mendaftar di kantor pajak. Selain itu, gerobak air dilarang menumpahkan airnya ke jalan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini gerobak bisa disita, usaha ditutup ataudiajukan ke pengadilan. Pemberitahuan peraturan ini kepada penduduk, menurut J. Soedarmo telah dilakukan. Penerangan mula-mula dilakukan memalui camat, kemudian juga memakai mobil penerangan. Tapi para penjual air rupanya tak hirau. Sehingga dilakukan razia. Pada razia pertama, para penjual ditangkap dan diserahkan ke camat untuk diberi peringatan. Setelah semua dirasa cukup, 3 November lalu, razia dilakukan tanpa ampun. Yang tertangkap, langsung diajukan ke pengadilan. Sesudah razia agaknya pengusaha air jera. Ramai-ramai mereka mendaftarkan diri, dan sampai sekarang sudah terdaftar 426 5 gerobak . Razia juga dimaksudkan untuk membatasi gerobak air. Sebab "kalau berkembang cepat, susah mengaturnya," kata Soedarmo. Apalagi, Kamtib bukan hanya mengatur gerobak air, tetapi juga WTS, gelandangan, kaki lima, becak, bangunan liar dan sebagainya. Tukang air yang menjadi biang kerusakan jalan itu, tidak menolak tuduhan. "Betul, airnya tumpah," kata seorang tukang gerobak. Kubangan air itu juga menyusahkan tukang gerobak." Ada yang terbalik, ada yang rodanya penyok, pokoknya macam-macam oom," kata Cecep seorang tukang gerobak. Setiap penjual air menyewa gerobak dari pemiliknya dengan tarif Rp 400 sehari. Air bersih mereka beli di bak-bak distributor dengan harga Rp 50 satu gerobak. di musim hujan. Bila kemarau datang, harga bisa naik menjadi Rp 200. Air bersih itu dibeli pemakai dengan harga Rp 500 segerobak. Setiap hari biasanya seorang penjual dapat melljual antara 5 sampai 6 gerobak air, dengan jalan menjajakan ke rumah-rumah. Seorang penjual, Cecep, (35 tahun) mengaku telah 5 tahun menjual air dengan penghasilan antara Rp 1.500 sampai Rp 2.000 sehari. Tetapi di musim hujan seperti sekarang penghasilannya bisa turun menjadi Rp 500. Hingga saat ini PAM Jakarta Utara hanya mampu memberi air bagi 170 langganan khusus di Sindang dan sekitarnya. Mereka inilah yang menjual air bersih kepada para pedagang pikulan dan dengan gerobak tadi. Walikota Jakarta Utara pernah menghubungi PAM agar jumlah langganan lebih disebar. Tapi belum didapat alasan resmi pihak PAM, sehingga jumlah langganan sekarang belum bertambah juga. Tapi sekarang ini sedang disiapkan instalasi air mini di Sunter. Pemda DKI merencanakan instalasi ini sudah dapat mengucurkan air tahun depan. "Mudah mudahan dapat mencukupi kebutuhan warga setempat," kata Walikota Jakarta Utara, Kustamto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus