TIM khusus telah dikerahkan selama sebulan ini untuk
menangkap kembali Hasanudin. Penggerebekan juga telah dilakukan
para petugas kejaksaan di Cianjur Sukabumi dan kota lain di Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Dugaan memang macam-macam. Seorang "saksi mata" mengaku
melihatnya masih di sekitar daerah perumahan Pluit di Jakarta.
Tapi ada lagi yang menduga-duga ia berada di sebuah areal
pengusahaan hutan di Kalimantan.
Tapi sejauh itu, Asisten 11 Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta,
R. Mardjuki Machdi, hanya berkesimpulan Hasanudin, tertuduh
tunggal perkara pembunuhan suami-istri Wibowo yang lolos dari
pengawalan 22 Oktober lalu, belum "kabur ke luar negeri atau
mati dibunuh orang. "
Tapi jelas, pemeriksaan terpaksa ditunda. Padahal,
pengadilan sedang berlangsung cukup menarik, ketika Hasanudin
tiba-tiba minggat. Hari itu terdakwa membantah melakukan sesuatu
yang mencelakakan Wibowo dan istrinya. Bahkan, pengadilan yang
dipimpin Hakim Ketua Pitojo dimintanya agar memperhatikan salah
seorang saksi, Liem. Saksi ini dianggapnya lebih
bertanggungjawab dalam perkara tersebut.
Yang Tersisa
Sedianya, Liem hendak dihadirkan jaksa sebagai saksi pada
sidang berikutnya. Tapi selesai sidang hari itu, Hasanudin dapat
membujuk pengawalnya agar mampir ke rumah orang tuanya di Jalan
Bekasi Barat, sebelum kembali ke tempat tahanan di LPK Cipinang.
Kemudian ia dapat pula mengecoh pengawalnya Tak begitu sukar
baginya. Sesampai di rumah orang tuanya, ia mengatakan hendak
membayar taksi yang disewanya. Sejak itu Hasanudin dapat lolos
dari pengawalan, dan terus melarikan diri. Menghilang.
Yang tersisa adalah sesuatu yang sangat menarik: sebuah
buku-hariannya yang kumal, berjudul "Diary San-San Untuk
Dikenang".
San-San adalah nama panggilan Hasanudin, yang baru 24 tahun
dan masih jadi mahasiswa sebuah universitas swasta di Jakarta
itu. Isinya, seperti dikemukakannya di pengadilan, merupakan
"penjelasannya" sekitar peranan seorang bernama Liem, Direktur
Salawati Hayu dalam peristiwa Wibowo (TEMPO, 18 Oktober) .
Halaman pertama buku-harian Hasanudin, tanpa tanggal,
mencatat nama polisi yang memeriksanya dan cara pemeriksaan yang
dialaminya. "Saya disiksa," tulis San-San, "tengah malam dibawa
ke kubur dan dipaksa untuk mengaku. "
Di halaman berikutnya Hasanudin menyatakan
ketidak-puasannya terhadap pemeriksa yang selalu mendesaknya. Ia
berharap polisi memeriksa Liem seteliti-telitinya. Seperti yang
ditulisnya 7 Mei, ia heran "Saya tidak habis pikir . . . Liem
dan kawannya yang membawa Bowo dan Yanthi. Tapi kenapa dia
bebas? Tidak diperiksa?"Liem, katanya, pernah mendatanginya di
tempat tahanan. Menyuruhnya mengakui semua tuduhan. Untuk itu
ada dijanjikan imbalan Rp 20 juta. "Saya pikir dia bekas boss
saya, dan pernah membantu saya, . . . dia janji akan memberi
uang dan mengurus, asal saya mau mengakuinya," tulisnya dalam
buku harian itu.
Hasanudin juga menuduh Liem melakukan kegiatan gelap
seperti menyelundupkan bahan peledak, senjata dan "pengembalian
orangorang Cina di Kalimantan", seperti ditulisnya 1 Mei. Wibowo
dan orang lain bernama Priambodo, katanya, dibunuh karena tahu
kegiatan tersebut. "Tapi, Liem, . . . saya juga tahu dan bisa
buka suara dalam sidang nanti. "
Selama dalam tahanan ternyata, katanya, ia tidak melihat
ada usaha Liem mengurusnya seperti yang dijanjikan. Sekitar
akhir Mei, tulisan Hasanudin menunjukkan kemarahannya, dan meng
ancam: "Liem, kalau sampai saya yang menjalani hukuman, jangan
harap kamu lepas dari saya." Ia berjanji akan membalas dendam
sampai kepada seluruh keluarga Liem.
Tak jelas adakah buku harian Hasanudin tersebut bermanfaat
bagi yang berwajib atau tidak. Tapi Liem, sampai minggu lalu,
hanya akan ditampilkan jaksa sebagai saksi. Direktur Salawati
Hayu tersebut mengelak ketika dimintai keterangan oleh TEMPO
sekitar "tuduhan" Hasanudin. "Tak ada waktu . . ," kata
sekretarisnya yang bernama Yuni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini