SEBARIS semboyan terpasang di bazaar Teheran: "Setiap hari
adalah Asyura, setiap tempat adalah Karbala."
Itu terjadi di bulan Muharram, dua tahun yang lalu.
Gelombang penentangan terhadap Syah sedang menjelang puncak.
Semboyan itu dengan jelas mengisyaratkan, agar tiap mukmin siap
mengorbankan diri.
Selama tiga malam berturut-turut, laki-laki berkain putih
pun muncul di jalanan, menentang jam malam yang diberlakukan.
Atau naik ke atap rumah, memekikkan "ganyang Syah!" Itulah
tanda mereka siap mati syahid, gugur seperti Hussein, putra Ali
dan cucu Nabi, yang terbunuh di Karbala pada hari Asyura (10
Muharrasn), 13 abad yang silam.
Dan benar. Menurut laporan Radio BBC, pada malam-malam
pertama Muharram tahun itu, 700 orang tewas. Revolusi
mendapatkan titik apinya kembali. Lalu Syah dikalahkan.
Di bulan Muharram 1980 ini, tak ada lagi Syah. Tapi perang
berlangsung di dekat perbatasan, melawan Irak, yang didukung
Yordania dan Arab Saudi. Adakah kali ini semangat berkorban
dikobarkan lagi? Nampaknya demikian, meskipun tak teramat
istimewa.
Kesenian Rakyat
Seperti biasa, bagi para penganut Syi'ah, bulan Muharram
adalah bulan berkabung. Awal Muharram tak diperingati sebagai
tahun baru--apalagi bagi bangsa Iran, yang punya tahun baru
sendin. Sepanjang Muharram mereka melulu mengenangkan kembali
duka cerita yang dulu sering mereka pentaskan: kisah tragedi
Karbala, yang dalam lakon mereka dimulai dari kisah Nabi Ibrahim
serta Yusuf, dan berklimaks dengan kematian Hussein.
Di kota-kota yang punya tempat ,suci malam menjelang 10
Muharram rang berkumpul. Biasanya sebuah peti besar yang berkaca
dan berselaput hiam, naql, yang akan digotong ratusan orang,
telah sedia. Itulah lambang peti jenazah Hussein. Sementara itu
kelomok anak muda berpakaian hitam meyalakan kandil dan
bernyanyi:
Shab-i 'Ashurast
Karbala ghawghast,
Karbala che jur shin-ast,
Shab-i akhirshab-ast
Inilah malam Asvura,
Karbala gundah gulama
Karbala betapa berpasir
Inilah senja terakbir
Kelompok-kelompok berpakaian hitam itu, yang disebut
dasta, di beberapa tempat telah datang pula untuk melakukan
sina-zani: seraya berbaris, mereka memukul-mukulkan tangan ke
dada -atau memukulkan rantai ke punggung,sampai berdarah.
Sina-zani melambangkan penyesalan penduduk kota Kufah yang dulu
membiarkan Hussein dihancurkan.
Yang menarik tahun ini ialah bahwa Ayatullah Khomeini
melarang upacara memukul diri dengan benda keras atau tajam.
Khomeini menganggap bahwa upacara itu, apalagi yang sampai
mengeluarkan darah, hanya menimbulkan kesan yang salah tentang
Islam.
Sebenarnya, di masa Pahlevi pun ada larangan yang semacam.
Di tahun 1930-an Reza Syah melarang banyak segi dari upacara
'azadari (dukacita) itu--terutama sina-zani dan keramaian
mengangkat naql. Juga pementasan drama tentang tragedi di
Karbala dilarang. Di pihak lain, kaum ulama sendiri sejak dulu
juga tak pernah menyetujui pementasan itu - yang tak lain memang
kesenian rakyat. Kaum ulama juga memandang dasta dengan sikap
mendua: setengah menyetujui.
Yang benar-benar dianjurkan oleh kaum ulama hanyalah rawda,
khotbah dan petuah yang biasanya mengiringi penceritaan tentang
Perang Karbala. Di kalangan ulama lapisan bawah, upacara itu
pada umumnya diisi sedikit pidato. Lebih banyak di sana orang
menyuarakan tangis. Di kalangan atas, sebaliknya, para ulama
lebih banyak memberikan ceramah. Dan yang ditekankan bukannya
nasib Hussein yang menyedihkan, tapi keberaniannya menanggung
mati. Tak heran, bila pemerintah Pahlevi tak menyukai rawda ini,
karena isinya menyalakan api oposisi.
Tahun ini sudah tentu rawda berkisar pada pengorbanan dalam
perang. Dan seperti ditunjukkan oleh penduduk Teheran di pagi
yang amat dingin pekan lalu, seruan Khomeini yang kurang
menyetujui dasta nampaknya diindahkan.
Tapi tak berarti bahwa dalam ketidaksetujuannya terhadap
beberapa ekspresi tradisional dalam 'azadari, Khomeini
sependapat dengan kaum cendekiawan Iran yang mengejek kebiasaan
zaman lampau itu.
Di kalangan cendekiawan, sejak beherapa puluh tahun yang
silam, atas nama "kemajuan Islam" beberapa hal dicela. Yang
terutama adalah kunjungan ke makam orang suci yang di kalangan
Syi'ah, baik di Irak maupun di Iran, didirikan dengan cukup
megah. Bagi mereka yang menghendaki"kemajuan" dan "pemurnian"
Islam, ziarah seperti itu--sering disertai dengan menaburkan
mata uang serta suara tangis -- sudah bisa dinilai "musyrik",
atau memuja berhala.
Terhadap ini Khomeini dengan sengit menjawab. Seperti
tertulis dalam sebuah risalahnya dari tahun 1943 (1944),
Kashif-i Asrar, Khomeini menganggap bahwa kaum intelektual yang
merasa diri bebas dari dogma itu sebenarnya "pengikut
penggembala onta yang biadab (wahshi) dari Najd."
Maksudnya, tentulah, kaum Wahhabi, yang dikenal memang
keras menentang segala yang berbau "musyrik". Di masa lalu
bahkan kaum Wahhabi, datang dari daerah yang kini adalah Arab
Saudi pernah menghancurkan makam Hussein yang didirikan di kota
Karbala. Kaum Wahhabi, seraya menghormati keturunan Nabi, tak
menghendaki kemungkinan makam disembah-sembah.
Yang layak dicatat ialah bahwa kaum Wahhabi inilah yang
jadi pemula kerajaan Arab Saudi sekarang. Dan layak dicatat pula
bagaimana dalam risalahnya itu Khomeini mencemooh "sedikitnya
kemajuan di padang pasir Najd serta daerah Hejaz." Tanyanya:
"Haruskah kita cari nasihat tentang pembangunan dari sana?"
Ditulis di awal 1940-an, 40 tahun Sebelum Irah menghadapi
dunia Arab dalam sebuah perang, pertanyaan itu terasa bergema
kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini