Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Penggunaan ganja medis menimbulkan pro-kontra di berbagai negara, termasuk Indonesia. Padahal, tanaman ini dikenal memiliki manfaat dalam dunia medis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dilansir dari laman Harvard Health Publishing, ganja memiliki lebih dari 100 komponen aktif. Ekstrak tanaman ganja yang disebut CBD (cannabidiol) biasanya digunakan dalam pengobatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ini juga memiliki sedikit sifat memabukkan karena mempunyai sedikit atau bahkan tidak ada THC (tetrahydrocannabinol). THC adalah bahan kimia yang menyebabkan sensasi ‘fly’ saat orang mengonsumsi ganja.
Manfaat ganja medis
Dilansir dari laman WebMD, para peneliti sedang mempelajari penggunaan ganja medis terhadap sejumlah kondisi, termasuk:
- penyakit alzheimer;
- kehilangan nafsu makan;
- kanker;
- penyakit crohn;
- penyakit yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh seperti HIV/AIDS atau multiple sclerosis (MS);
- gangguan makan, seperti anoreksia;
- epilepsi;
- glaukoma;
- kondisi kesehatan mental, seperti skizofrenia dan PTSD (gangguan stres pascatrauma);
- kejang otot;
- mual;
- rasa sakit;
- kejang;
- sindrom wasting (cachexia).
Namun, ahli penyalahgunaan zat di Fakultas Kedokteran Pennsylvania Perelman University, Marcel Bonn-Miller, mengatakan, belum ditemukan bukti kuat ganja bisa mengobati kondisi-kondisi itu.
Meski begitu, ganja memiliki efek terapeutik. Bukti terbesar efek terapeutik ganja berhubungan dengan kemampuannya mengurangi rasa sakit kronis, mual dan muntah karena kemoterapi, serta otot tegang karena MS.
Selain itu, penelitian terbatas menunjukkan efek bahan kimia aktif dalam ganja medis yang disebut cannabinoid, yaitu:
- mengurangi kecemasan;
- mengurangi peradangan dan menghilangkan rasa sakit;
- mengontrol mual dan muntah karena kemoterapi kanker;
- membunuh sel kanker dan memperlambat pertumbuhan tumor;
- merilekskan otot yang tegang pada orang dengan MS;
- merangsang nafsu makan dan meningkatkan berat badan pada penderita kanker dan AIDS.
Sementara itu, ganja medis juga membantu mengendalikan kejang. Badan Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) telah menyetujui obat dari CBD yang disebut Epidiolex pada 2018.
Obat ini digunakan untuk mengatasi kejang kronis terkait sindrom Lennox-Gastaut dan sindrom Dravet. FDA juga telah menyetujui dua obat cannabinoid lain buatan manusia, dronabinol (Marinol, Syndros) dan nabilone (Cesamet), untuk mengobati mual dan muntah akibat kemoterapi.
Namun, ganja medis dilaporkan menimbulkan efek samping, seperti mata merah, depresi, pusing, detak jantung cepat, halusinasi, dan tekanan darah rendah. Selain itu, juga mempengaruhi penilaian dan koordinasi, yang bisa mengakibatkan kecelakaan dan cedera.
AMELIA RAHIMA SARI