Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Trauma, Stres, dan Depresi

Obat antidepresan Zoloft diakui bisa mengatasi penyakit kejiwaan yang lebih kompleks, stres pascatrauma. Inilah obat antidepresan pertama yang mendapat izin FDA untuk diperluas penggunaannya.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JOHN Soave dulu dikenal teman-temannya sebagai pribadi yang menyenangkan. Tapi, karena suatu kejadian pada 1995, segalanya berubah 180 derajat. Kepala Dinas Kebakaran Boston, Amerika Serikat, ini melihat dengan mata kepalanya sendiri seorang rekan kerjanya tewas mengenaskan dalam sebuah peristiwa kebakaran. Akibatnya, warga Staughton, Massachusetts, yang dulunya periang itu menjadi pemurung. Ia mengaku sangat tertekan, sulit tidur, dan ingatannya dipenuhi kilasan-kilasan tragedi itu.

Menurut dokter yang menanganinya, Soave telah mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma. Menurut pakar psikologi klinis Universitas Indonesia Dharmayati Utoyo Lubis, dalam suatu wawancara dengan TEMPO beberapa waktu lalu, PTSD adalah gangguan yang dialami seseorang gara-gara dia mendapat trauma. Trauma itu sendiri merupakan kejadian yang sangat mengerikan atau menakutkan seseorang, misalnya pemerkosaan, kecelakaan berskala besar, gempa bumi, atau kebakaran hebat.

Stres karena trauma bisa menimpa siapa saja. Dewasa ini tercatat jutaan orang di dunia mengalami gangguan stres semacam itu. Di Amerika, sekitar tujuh persen penduduk menderita gangguan stres pascatrauma. Adapun jumlah penderita PTSD di Indonesia belum pernah dihitung. "Tapi saya yakin jumlahnya meningkat sejak kerusuhan Mei 1998," kata Dr. H.A. Prayitno, psikiater senior dan wakil ketua Ikatan Dokter Ahli Jiwa Indonesia.

Itu tak mengherankan karena sejak kerusuhan Mei kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Perkelahian aparat dengan warga sipil belakangan seperti menjadi pemandangan sehari-hari yang dipertontonkan ke seluruh penjuru melalui layar televisi. Aparat dan warga sama-sama menunjukkan keberingasan yang mengerikan tanpa pandang bulu. Itu meninggalkan luka dan mimpi buruk bagi jiwa yang tak kuasa mengalami atau menyaksikannya.

Para penderita PTSD biasanya menampakkan gejala sering mimpi buruk, sulit tidur, pikiran dan ingatannya kacau, terisolasi, depresi, dan punya masalah-masalah tingkah laku. Pada saat tertentu penderita stres pascatrauma tiba-tiba bisa merasa ketakutan padahal tidak ada apa-apa. Lalu bertingkah seperti orang sedang bengong. "Kalau tidak segera ditangani, penderita PTSD dapat mengalami depresi," tutur Dharmayati.

Pada kasus Soave, dokter mencoba memberinya Zoloft, yakni obat yang pada waktu itu (1992) diakui sebagai obat antidepresi. Ia harus menelannya satu kali sehari selama dua tahun. Ternyata, terbukti kemudian Zoloft bukan hanya berfungsi sebagai antidepresi. Baru saja, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika (FDA) mengakui dan menyetujui perluasan pemanfaatan Zoloft. Dengan begitu, obat itu bisa dipergunakan untuk lebih dari satu keperluan. Dalam hal ini, obat bikinan Pfizer itu—perusahaan farmasi yang sukses meluncurkan Viagra—diizinkan menjadi obat untuk mengatasi PTSD. Ini berarti obat tersebut menjadi obat pertama yang secara resmi mendapat pengakuan sebagai obat untuk mengatasi PTSD—penyakit yang tak hanya menampakkan gejala depresi.

Apa khasiat Zoloft? "Obat ini membuat saya tenang," ujar Soave kepada Associated Press. Pria yang akhirnya berhenti dari dinas kebakaran pada 1998 ini juga mengakui bahwa Zoloft membantu dirinya menghadapi gangguan emosional pascatragedi. "Kejadian itu masih membekas hingga kini, tapi dampaknya terhadap diri saya mulai berkurang."

Prayitno mengakui bahwa Zoloft memang baik untuk penderita PTSD, meski sebetulnya semua obat antidepresan, misalnya Prozac atau Paxil, punya efek yang sama. Kelebihan Zoloft, juga Prozac dan Paxil, adalah hasil kerjanya lebih cepat ketimbang antidepresan generasi pertama. Khasiatnya bisa dilihat dalam waktu sekitar seminggu. Selain itu, Zoloft hampir tak punya efek samping. "Cuma, harganya mahal," kata guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti ini.

Sejatinya, kata Dharmayati, yang juga Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi UI, seseorang bisa mengeliminasi stres dengan cara terus melakukan rasionalisasi terhadap peristiwa yang dialami. Tapi cara ini harus didukung lingkungan sosialnya. Artinya, ada orang di sekitar penderita yang bersedia mendengarkan kisahnya. Pasien juga harus diberi penjelasan mengenai penderitaannya, ujar Prayitno. Kemudian, baru diberi obat-obatan antidepresan dan antikecemasan.

Alhasil, seberapa hebat pun obat yang diberikan, tanpa lingkungan sosial yang mendukung tampaknya sulit bagi penderita PTSD untuk kembali ke kehidupan normal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus