Ulil Abshar-Abdalla
Lakpesdam NU dan staf Institut Studi Arus Informasi (ISAI)
Ada seorang teman yang pernah berseloroh, "Kenapa Gus Dur seperti tidak pernah bisa disalahkan? Setiap apa yang dia lakukan, pasti orang lain memaafkannya, atau sekurang-kurangnya memakluminya." Komentar ini muncul sebagai semacam perbandingan dengan figur Amien Rais, yang meski sudah melakukan tindakan-tindakan reformis sejak sebelum hingga sesudah Soeharto jatuh, orang masih terus mencurigainya.
Sementara itu, terhadap Gus Dur, yang berkelak-kelok dan terkesan plin-plan, khalayak ramai toh tetap saja memaafkannya. Orang memang jengkel dan bahkan mengumpat-umpat, tapi pada akhirnya tetap bisa menerimanya kembali. Bahkan, meski tahu tindakannya licin dan kadang "sulit dipegang", toh begitu ada "pekerjaan rumah bangsa" yang gawat, khalayak menoleh kembali ke Gus Dur.
Kami di dalam NU juga mempunyai kesulitan-kesulitan dengan watak Gus Dur yang "mbeling" itu. Warga nahdliyin tahu bahwa Gus Dur kurang sukses menata administrasi organisasi NU secara rapi dan modern. Kritik dan gerundelan selalu dikemukakan dalam setiap kesempatan kongko. Banyak juga anak-anak muda NU yang dikecewakan oleh sebagian tindakan Gus Dur. Tapi pada akhirnya mereka juga memaafkan Gus Dur karena berkat "gus" yang satu inilah NU bisa menjadi ormas Islam yang diperhitungkan dalam wacana demokratisasi di Indonesia. Usai mengkritik, biasanya anak-anak muda itu berseloroh, "Ya, jelek-jelek, Gus Dur-lah yang membuat NU ini dihitung orang lain."
Yang aneh adalah proses terpilihnya Gus Dur itu sendiri sebagai presiden. Seperti kita tahu, banyak kalangan Islam kota yang tidak suka Gus Dur karena sikapnya yang terlalu lengket dengan golongan minoritas. Yusril Ihza Mahendra bahkan pernah mengkritik di depan khalayak ramai bahwa Gus Dur itu lebih menyayangi "umat agama lain" ketimbang umatnya sendiri. Menjelang kampanye pemilu yang lalu, beredar banyak selebaran yang "mengais-ngais" habis kesalahan dan cacat pribadi Gus Dur. Gus Dur juga diejek sebagai agen Zionis karena sering berkunjung ke Israel dan menjadi seorang penasihat Yayasan Simon Peres. Orang-orang yang mempermasalahkan "komitmen keislaman" Gus Dur itu, anehnya, malah menjadi pendukung Gus Dur yang "fanatik" untuk maju sebagai presiden. Anehnya lagi, pencalonan itu pertama kali bahkan ditentang oleh partai yang didirikannya sendiri, yaitu PKB.
Keanehan Gus Dur itu bertambah lagi ketika akhir-akhir ini ia gemar menggunakan pertimbangan-pertimbangan "mistik" dalam setiap manuver politik yang dilakukannya. Konon, ada sejumlah kiai "spiritual" yang selalu memberi nasihat kepada Gus Dur. Sejumlah teman yang dekat dengan Gus Dur sudah sering bercerita bahwa sedari awal ia sudah begitu yakinnya akan menjadi presiden berdasarkan mimpi yang ia peroleh. Sekitar enam bulan yang lalu, saya berkunjung ke rumah Gus Dur di Ciganjur. Dengan mengenakan celana pendek, T-shirt yang sudah agak lusuh, dan rebahan di atas dipan, Gus Dur bercerita panjang lebar dalam gaya yang begitu santai dan enteng tentang "formasi kabinet" mendatang.
Mengikuti tindakan Gus Dur selama ini, saya jadi teringat pada cerpen-cerpen Putu Wijaya yang penuh dengan "teror mental". Putu sering kali bercerita dalam gaya yang penuh dengan kejutan yang sangat tidak wajar. "Imajinasi politik" Gus Dur sarat dengan kontradiksi, paradoks, dan kejutan, persis seperti kisah-kisah Putu Wijaya. Jika seluruh tindakan Gus Dur digelar, didalamnya akan kita temui inkonsistensi, paradoks, dan keanehan, meskipun seorang pastor ada yang berkata bahwa dalam inkonsistensi itu sebetulnya ada suatu "benang merah" yang menghubungkan, sehingga secara keseluruhan tindakan Gus Dur terlihat konsisten.
Apa yang hendak dikemukakan dari kisah tentang segi "privat" Gus Dur ini adalah bahwa ada segi-segi yang kontroversial dan sulit dipahami dalam diri Gus Dur. Sudah pasti ini akan mempunyai pengaruh yang besar dalam gaya kepemimpinanya ke depan. Orang-orang yang berharap adanya suatu "prediktabilitas" dalam suatu proses politik mungkin akan kecewa karena unsur itu hampir-hampir bisa dikatakan absen dalam diri Gus Dur. Seperti kita kenal selama ini, Gus Dur adalah seorang yang betul-betul "unpredictable", orang yang sulit diramalkan. Tindakannya penuh dengan—meminjam istilah Putu Wijaya—"teror mental".
Meskipun demikian, boleh jadi, tidak adanya prediktabilitas dalam diri Gus Dur ini berdampak positif bagi upaya penanganan beberapa kasus "abnormalitas" dalam kehidupan politik kita. Keadaan negeri kita yang sangat abnormal sekarang ini, mungkin, memang tepat ditangani oleh orang yang selama ini dikenal kaya dengan gagasan-gagasan yang tidak konvensional seperti Gus Dur itu. Sikap Gus Dur, yang selama ini dikenal tak mau terikat dengan "protokoler", mungkin akan banyak membantu kekakuan birokrasi politik kita yang tidak luwes dalam menanggapi perubahan sosial dan politik yang begitu cepat.
Pada akhirnya, saya setuju dengan pendapat Cak Nur: siapa pun yang terpilih sebagai presiden nanti, dia akan memimpin suatu pemerintahan transisi tahap kedua. Bagaimanapun, kita belum bisa mengatakan bahwa sepanjang lima tahun mendatang, negeri kita sudah bisa keluar dari situasi "abnormalitas" sekarang ini. Lima tahun mendatang ini masihlah merupakan kelanjutan dari situasi transisi sekarang ini, sehingga keadaan-keadaan yang abnormal masih tetap saja akan kita temui. Salah satunya, yang membutuhkan penanganan yang tidak konvensional sekarang ini adalah derasnya tuntutan untuk memisahkan diri dari Jakarta. Separatisme tampaknya merupakan "hantu" yang jika tidak ditangani secara "genuine", bisa jadi, akan berubah menjadi kenyataan.
Yang ideal bagi Gus Dur adalah menjabat presiden satu periode saja. Dan dalam jangka satu periode itu, kita berharap situasi dapat dikembalikan ke keadaan yang normal. Setelah itu, Gus Dur akan kembali menjadi "Semar" yang medar sabdo di luar sistem kekuasaan. Jika Gus Dur terlalu lama memerintah, saya khawatir negeri ini akan diguncang terus oleh tindakan-tindakannya yang tidak konvensional itu. Shock therapy biasanya hanyalah dibutuhkan dalam keadaan yang terbatas. Jika melampaui dosis, si pasien bisa "anfaal".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini