Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Rahasia Daya Pikat Kodok

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KATA orang, cinta itu buta. Tampaknya tak persis begitu. Rasa ketertarikan ternyata punya mata untuk memilih sasaran. Para ilmuwan menduga, rasa ketertarikan bisa timbul akibat pancaran feromon (pheromone) yang dimiliki seseorang. Feromon adalah sinyal kimia yang sangat kuat yang dipancarkan seseorang. Hal itu secara lebih mendetail dibuktikan oleh sekelompok ilmuwan Australia pada kodok.

BBC Online melaporkan, para ilmuwan berhasil mengidentifikasi feromon yang dimiliki kodok jantan. Sinyal kimia itu dipancarkan sang kodok selama musim kawin untuk memikat kodok betina. Para peneliti itu, yang menuliskan temuannya dalam The Journal Nature, yakin bahwa itulah temuan feromon seks pertama pada kodok yang dapat diidentifikasikan. Sebelumnya, jurnal tersebut juga melaporkan adanya penemuan sinyal pemikat yang dipunyai salamander. Karena itu, penemuan senyawa itu pada kodok adalah identifikasi pertama pada vertebrata (hewan bertulang belakang).

Dalam percobaan menggunakan katak pohon jantan atau Litoria splendida, Profesor John Bowie dan koleganya di Universitas Adelaide, Australia Selatan, mengetahui adanya kelenjar di ujung kepala. Kelenjar ini berfungsi memuncratkan feromon splendipherin ke dalam air. Akibatnya, lingkungan air yang sudah penuh molekul tadi segera merangsang gairah L. splendida.

Ilmuwan juga mengetahui, hanya dengan jumlah kecil splendiferin, yakni 40 nanogram (sepermiliar gram), katak betina sudah bisa terangsang mendekati si jantan. Tapi jumlah ini harus tepat—sebab, kalau terlalu sedikit, katak betina belum terangsang, dan jumlahnya yang terlalu banyak malah membuat mereka bingung.


Bakteri Pembersih Polusi

AIR tanah merupakan sumber pasokan air bersih yang harus dijaga kemurniannya. Karena itu, di negara mana pun, pencemaran air tanah merupakan ancaman serius. Polusi lingkungan air tanah biasanya diakibatkan oleh gelontoran limbah kimia dan bahan beracun lain, yang mengendap, lalu menimbulkan pencemaran.

Salah satu daerah yang menghadapi masalah air tanah adalah Perth, Australia Barat. Polusi di bawah kota ini diakibatkan oleh akumulasi tumpahan bahan-bahan kimia beracun yang disebut atrazine. Itu sebabnya sekelompok ilmuwan Australia tergerak hatinya untuk ikut turun tangan mengatasi masalah tersebut. Belakangan, mereka berhasil menemukan sekelompok bakteri Pseudomonas yang mampu mengenyahkan polusi atrazine.

Pemimpin tim ilmuwan tersebut, Dr. Greg Davis, mengatakan kepada BBC Online, gagasan mereka adalah menciptakan semacam penghalang bawah tanah yang "terbuat" dari bakteri yang dapat ditembus air. Sebagai penghalang, bakteri akan menyaring setiap atrazine, tapi tetap membiarkan air melewatinya.

Kunci keberhasilan teknik ini terletak pada bagaimana ilmuwan mampu membuat koloni mikrobe dapat berkembang biak di tempat yang diinginkan. Caranya, mula-mula ilmuwan memasukkan sejumlah Pseudomonas ke dalam tanah. Kemudian, mereka memompakan udara penuh oksigen yang akan diserap oleh bakteri agar dapat berkembang biak. Setelah berhasil berkembang biak, bakteri akan menjalankan tugasnya sebagai pengunyah atrazine, sehingga air pun bersih kembali.


Vaksinasi Melawan Kanker

SETIAP individu pada dasarnya punya gen yang disebut id. Gen id sangat vital bagi pertumbuhan dan pengembangan pembuluh darah ketika manusia masih berupa janin. Begitu seseorang beranjak dewasa, gen tersebut tidak aktif lagi. Meski begitu, gen ini bisa disalahgunakan sel-sel kanker guna membentuk pembuluh darah baru, sehingga sel kanker mendapat pasokan oksigen dan nutrisi yang cukup untuk berkembang biak dan menyebar.

Dari kenyataan tersebut, para ilmuwan lalu berpikir, seandainya gen tadi dapat direkayasa sedemikian rupa hingga tak aktif lagi dan tak disalahgunakan sel kanker, perkembangan penyakit kanker mungkin bisa dihambat. Periset medis di New York Memorial Sloan Kettering Cancer Center (MSKCC) berhasil menemukan caranya, yakni dengan teknik mirip vaksinasi. Sementara pada vaksinasi tubuh manusia diberi sejumlah virus penyakit tertentu yang sudah dilemahkan, pada uji coba ini ilmuwan menyuntikkan gen id ke sel kanker di bawah kulit hewan percobaan (tikus). Hasilnya, ternyata, kanker memang tidak berkembang di dalam tubuh tikus. Artinya, tikus tadi resisten terhadap kanker.

"Sejauh ini, setiap kanker yang kami tanam di bawah kulit hewan percobaan menjadi mandul, dan pembuluh darah tumbuh tidak semestinya," ujar Dr. Robert Benezra dari MSKCC, seperti yang tertulis dalam jurnal ilmiah Nature.

Namun, Benezra mewanti-wanti, hasil percobaan tersebut masih dalam tahap yang amat awal. Saat ini timnya tengah melakukan serangkaian uji coba lanjutan untuk membuktikan bahwa apa yang terjadi pada tikus bisa juga terjadi pada tubuh manusia. Benezra berharap, dalam waktu enam bulan ke depan hasilnya sudah kelihatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum