GEMBOK kampus Universitas Nasional, Jakarta, sudah dibuka. Halamannya pun sudah bersih dari segala bentuk protes. "Semua tuntutan kami dikabulkan. Kita menang. Hidup Pak Takdir!" sorak seribuan mahasiswa setelah bertahan dua hari tak mau pulang ke rumah, pekan lalu. Bagi Universitas Nasional (Unas), universitas swasta tertua di Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai kampus yang tenang, ini sebuah sejarah. Awal pekan lalu mahasiswa mengajukan tuntutan. Yakni biaya kuliah diturunkan, kualitas pendidikan ditingkatkan, dan manajemen terbuka diterapkan di Unas (TEMPO, 3 Oktober). Langsung -- setelah sedikit terjadi ketegangan, mahasiswa mengunci semua pintu gedung -- dua tuntutan terakhir dikabulkan. Lalu, dari perundingan 17 anggota delegasi mahasiswa dengan pihak Unas, Selasa sore selama 15 menit, Uang Penyelenggaraan Pendidikan (UPP) diturunkan. Diakui oleh Deliar Noer, doktor ilmu politik dari Cornell University yang kini menjadi Administrator Unas, kenaikan UPP yang 100% yang berlaku mulai tahun ini dirasa terlalu mencolok. Maka, tarif lama bagi mahasiswa lama kembali berlaku. Adapun bagi mahasiswa baru, berlaku ketentuan baru. Sikap mau memahami aspirasi mahasiswa, tampaknya, memang semangat dasar universitas yang berdiri pada 15 Oktober 1949, di zaman pendudukan. Landasan filosofi itu diletakkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana, salah satu pendiri, dan kemudian menjadi rektor dari 1968 sampai sekarang. "Mengembangkan pendidikan, dalam arti modern sesuai dengan perkembangan zaman," kata Deliar Noer, bekas guru besar IKIP Jakarta, tentang landasan filosofi itu. Sebagaimana universitas swasta umumnya, Unas pun boleh dikata merangkak dari bawah. Mula-mula kampus tersebar di berbagai tempat di Jakarta. Tujuh tahun lalu misalnya, sewaktu masih punya 7 fakultas perkuliahan tersebar di 6 tempat. Baru pada 1985 kampus di Pejaten, Jakarta Selatan yang terdiri tiga gedung masing-masing berlantai 5 -- selesai. Kini Unas punya 10 fakultas, tiga akademi, dan satu Sekolah Tinggi Penerjemah. Maka, sekitar 7.000 mahasiswa berebutan tempat. Kampus Pejaten nyaris tak pernah tutup: dipakai kuliah sepanjang pagi, siang, dan malam. Sebagaimana umumnya universitas swasta, soal dosen memang belum beres benar. Dari 400 dosen, sebagian besar masih berstatus honorer. Ada yang hanya mengajar dua kali dalam satu semester. Kata Deliar Noer peningkatan kualitas pendidikan ini program jangka panjang. Repotnya, idealisme di sini tinggi. Lihat saja, dalam kondisi tenaga pengajar seperti itu, ada Fakultas Filsafat yang tidak populer. Bahkan kemudian lahir tiga Pusat Pengkajian: Jepang, Korea, dan Islam. Termasuk Sekolah Tinggi Penerjemahnya, menurut Deliar Noer, pusat-pusat pengkajian itu tenaga ahlinya belum mencukupi. Maka, nama boleh keren, tapi sebenarnya pusat-pusat itu belum menghasilkan apa-apa. Juga, Pusat Penelitian Biologi seluas 10 hektar di kawasan Gunung Putri, Bogor. Akibatnya, kata seorang mahasiswa yang tak mau disebut namanya, banyak penelitian yang meleset di situ. Misalnya pembudidayaan kodok dan ikan emas kodoknya mati, dan ikannya lenyap. Tapi ini, seperti sudah disebutkan, bukannya tak akan dibenahi. Pengembangannya termasuk yang disebut Deliar sebagai program jangka panjang tadi. Bila sampai sekarang ada optimisme di Unas, pertama karena rektornya. Sutan Takdir Alisjahbana, 87 tahun, salah seorang Angkatan Pujangga Baru, memang dikenal dinamis. Menurut Deliar pula, sebagian besar yang berjalan di Unas adalah gagasan penulis roman Layar Terkembang ini. Seba kedua optimisme, karena Unas ternyata mampu menjalin kerja sama dengan banyak pihak. Termasuk berbagai lembaga di luar negeri, yang tak jarang menyediakan dana bagi kegiatan kampus. Dan sebenarnya Unas, dari segi mutu akademis, dalam beberapa hal pantas dipuji. Dua fakultasnya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Fakultas Biologi -- telah berpredikat disamakan. Juga Jurusan Sastra Indonesia, dan Sastra Inggrisnya, disamakan. Begitu pula dengan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Dan Fakultas Ekonominya diakui. Untuk menekan uang kuliah, sejumlah usaha pun dijalankan. Misalnya bekas kampus Unas di Kalilio dekat Pusat Perdagangan Senen, kini dirombak menjadi gedung perkantoran. Secara tak langsung Deliar Noer mengakui bahwa banyak sebenarnya gagasan Unas yang tinggi. Namun, "terhambat oleh sarana yang kurang memadai." Dan inilah, memang, dilema perguruan tinggi swasta. Pendidikan memang tidak murah. Untuk melengkapi sarana akademis, jalan terpraktisnya adalah menaikkan uang kuliah. Masalahnya, bagaimana menjaga agar universitas tak bercitra komersial, dan tak ada protes mahasiswa. Yang mungkin mencemaskan kini, ada kesan bahwa kehadiran Unas lebih karena tokoh pendirinya yang memang tokoh nasional, Takdir Alisjahbana itu. Nama Unas hadir dalam dunia pendidikan Indonesia karena nama Takdir yang menjadi anggota sejumlah organisasi keilmuan di luar negeri. Prestasi akademis perguruan tinggi swasta ini sendiri belum moncer benar, dibandingkan dengan universitas swasta lain. Memang, jumlah calon mahasiswa masuk ke Unas tiap tahun bertambah. Tapi apakah ini bukan karena ledakan lulusan SMA demikian besar? Ketergantungan Unas kepada Takdir, menurut sejumlah mahasiswa dan dosen, memang mengkhawatirkan. Di antara jajaran dosen, tampaknya belum ada yang sebobot penulis roman Grotta Azzura -- sebuah karya sastra yang kering, sarat dengan pemikiran filsafat -- ini bila harus duduk sebagai rektor. Sri Indrayati dan Moebanoe Moera (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini