SEJUMLAH babi memimpin revolusi. Mereka menang melawan manusia yang menindas. Tapi, di akhir cerita, mereka meniru manusia. Sebagai penindas. Karya George Orwell yang termasyhur itu, Animal Farm, yang kini di Jakarta dipungut oleh Teater Koma untuk sebuah lakon yang kocak, tentu saja tak berbicara tentang hewan. Orwell konon menyebutnya sebagai sebuah "dongeng peri". Orang-orang lain melihatnya sebagai sebuah satire. Dan keduanya betul. Tak mudah untuk menyangkal bahwa cerita pendek ini mencemooh -- dengan pedas -- riwayat sebuah revolusi. Khususnya, revolusi sosialis, sebagaimana terbukti di Uni Soviet di tahun 1917. Animal Farm ditulis di pertengahan tahun 40-an. Ada jarak waktu 30 tahun bagi Orwell untuk menyaksikan, bagaimana sebuah revolusi yang semula berniat membebaskan kaum buruh, pada akhirnya, berkembang menjadi penindas -- juga penindas kaum buruh itu sendiri. Orwell, meskipun tetap seorang sosialis, pada akhirnya memang terdengar seakan berada di pihak yang salah: ia telah mematahkan harapan, seperti dirumuskan Marx, bahwa proletariat kelak akan bisa dibebaskan oleh mereka yang berasal dari kalangannya sendiri. Animal Farm berakhir dengan kebuntuan. Tokoh yang paling mulia, meskipun bodoh, mati. Si Bokser, seekor kuda yang ingin mengabdi kepada kebersamaan, dengan bekerja keras, akhirnya dikhianati. Si Napoleon, babi yang disanjung sebagai Sang Pemimpin setelah mengalahkan saingan-saingannya dengan teror, hidup terus. Dalam hal itu, kisah ini memang mirip sebuah dongeng peri. Di dalam dongeng untuk anak-anak itu hidup manusia bukanlah sebuah riwayat keadilan. Kita tak tahu kenapa seorang nenek yang tak bersalah dimakan serigala. Kita tak tahu kenapa beratus anak-anak harus hilang ditelan gunung, setelah mengikuti suara seruling seorang sakti yang marah. Kita tak tahu kenapa kancil yang cerdik -- dan liak itu -- bisa menang seraya mencelakakan gajah yang tak berprasangka buruk. Ada seorang penulis yang mempersamakan Animal Farm dengan dongeng peri dalam hal ini: kisah itu didongengkan tanpa moralitas apa pun. Tokoh-tokohnya hidup di dunia yang tak lagi mengenal baik dan buruk. Seorang bisa menderita atau bahagia, tanpa dilihat sebagai buah kejahatan ataupun kebajikan. Hidup memang tampak sebagai serangkaian aksiden, tanpa penjelasan. Tentu saja tak mudah mengakui bahwa cerita ajaib Orwell ini persis macam itu. Dalam cerita ini, sebuah usaha pertanian dan peternakan telah direbut dari tangan si pemilik. Yang berontak dan menang adalah hewan-hewan yang selama ini hidup -- dan diperas -- di sana. Yang memimpin pemberontakan ialah babi-babi, hewan yang dianggap paling pandai. Sedikit demi sedikit, para babi merebut hak-hak lebih dari hewan lainnya. Dan di bawah kepemimpinan Si Napoleon, mereka akhirnya mengubah semboyan. Di masa awal kemenangan Revolusi, semboyannya adalah "semua hewan sederajat". Dalam perkembangannya kemudian, semboyan itu diganti: "Semua hewan sederajat, tapi sebagian lebih sederajat ketimbang yang lain." Kegetiran Orwell di dalam satire ini adalah kegetiran lantaran moralitas tertentu -- dan dalam hal itu ceritanya bukanlah sebuah dongeng peri sama sekali. Orwell mengambil pihak: ia memang tidak berpihak kepada si penindas lama yang digulingkan, tapi ia mengutuk sang penindas baru. Di dalam sikapnya yan memihak itu, Orwell bahkan tak mencoba melihat motif lain dari Si Napoloen dalam berkuasa, selain keinginan untuk berkuasa. Di dalam kehidupan yang sehari-hari, kekuasaan selalu punya dalih. Dalih itu mungkin justa, tapi dalih adalah penting dalam hubungan antarmanusia biarpun antara yang menguasai dan yang dikuasai. Dalih itu tak cuma sekadar slogan. Ia sebuah appeal, sebuah imbauan yang kalau mungkin masuk ke ulu hati. Rousseau benar, ketika ia mengatakan, "Otoritas yang paling mutlak ialah yang menembus inti terdalam manusia." Maka, lahirlah ideologi. Dengan itu, orang banyak diajak. Maka, lahirlah indoktrinasi. Dengan itu, orang banyak hendak diubah. Mula-mula dengan penalaran dan argumentasi, tapi kemudian, tatkala menghadapi makin banyak orang, proses itu dilakukan dengan ajaran yang diringkaskan. Semakin ringkas, semakin yakin, semakin tak ada isi pikiran lagi. Dalam bentuknya yang paling sederhana, ideologi itu pun hanya jadi sejumlah kata-kata yang hanya punya daya desak. Di tengah-tengah itu semua, berbahagialah mereka yang masih bisa berbicara lain satu hal yang tak terdapat di dalam Animal Farm. Si Napoleon punya anjing-anjing yang bisa menggigit. Ia punya teror. Kemudian soalnya ialah: Adakah hewan-hewan yang membisu itu masih punya kemerdekaan berpikir -- satu hal yang pada akhirnya lebih penting, dalam kepengapan itu, ketimbang kemerdekaan bersuara? Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini