Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dokter Spesialis Anestesi dan Konsultan Perawatan Intensif, Pratista Hendarjana mengatakan pasien ICU rentan mengalami resistensi antimikroba. Kondisi ini terjadi karena berbagai faktor. "AMR sangat rentan dialami pasien di ICu. Faktornya bisa karena kuman, kondisi pasien, serta penggunaan antibiotik yang tidak tepat," kata Pratista pada diskusi virtual akhir November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pratista mengatakan AMR adalah suatu kondisi di mana mikroba penyebab infeksi pada tubuh pasien sulit untuk dilawan oleh antibiotik, antivirus, atau antijamur. Kondisi ini menyebabkan pasien sulit sembuh dan perlu dirawat lebih lama. Masalah ini adalah salah satu ancaman kesehatan masyarakat yang serius. WHO memperkirakan akan terjadi 10 juta kematian pada tahun 2050 karena peningkatan kasus AMR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ICu adalah tempat pasien menerima antibiotik, sebagai salah satu terapi yang berfungsi untuk menyembuhkan infeksi. Sayang berbagai faktor yang disebutkan tadi, yaitu pasien, kuman, dan pemakaian antibiotik bisa mengakibatkan pasien rentan dengan AMR.
Pertama adalah pasien. Pratista mengatakan kondisi pasien yang sedang sakit membuat daya tahan tubuh pasien tidak bekerja dengan sempurna. Akibatnya, respon imun pasien tidak akan sebaik orang sehat. Selain itu, pasien pun mungkin memiliki latar belakang masalah imun.
Faktor kedua adalah pemakaian alat dan kuman. Pratista mengatakan Jika memamsang alat monitor yang dimasukkan langsung ke pembuluh darah, ada beberapa risiko yang bisa dialami pasien. Salah satu risikonya adalah AMR. "Kulit adalah salah satu pelindung diri yang membantu imun kita. Bila kita terobos dengan melukai kulit maka kuman pun bisa masuk. Jika higienitasnya tidak bagus, maka bisa masuk ke dalam darah menyebabkan kuman yang berat itu terjadi kuman yang resisten," kata Pratista.
Faktor lainnya adalah pemakaian antibiotik. Bila penggunaan antibiotik itu tidak tepat, maka bisa saja kuman pun akan jadi resisten dengan antibiotik yang diberikan. Pemakaian antibiotik yang kurang tepat dari segi dosisnya pun bisa menyebabkan pasien terkena AMR. Misalnya, antibiotik seharusnya diminum tiga kali dalam sehari, makan dikonsumsi dua kali dalam sehari. Jadi proses penyembuhannya belum tercapai, sehingga kumannya banyak mati suri. "Mati suri membuat enzim, penangkalnya sehat lalu, jadi resisten," ujarnya.
Faktor lain lagi yang bisa meningkatkan resisten pasien ICU rentan dengan AMR adalah pemilihan antibiotik yang kurang tepat. Misal kuman A diberikan antikuman B. Seharusnya, kata Pratista, kuman A harus diberikan antikuman A. Jadi waktu menangani pasien di ICU, kita membantu pasien berjuang melawan penyakit salah satunya melawan kuman. Bukan otomatis membunuh kumannya tersebut tetap harus dibantu imun," ujarnya.
Pratista pun mengingatkan agar dokter dan pasien menggunakan antibiotik secara bijak dan rasional. Salah satu upaya untuk mendorong pengobatan yang jitu di ICU adalah dengan menciptakan kesempatan komunikasi yang produktif antara pasien dengan tenaga kesehatan yang bertugas. Namun, banyak dari masyarakat yang ragu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan.
Presiden Direktur Pfizer Indonesia Nora T. Siagian mengatakan peningkatan pemahaman mengenai risiko terjadinya AMR dapat tercapai melalui komunikasi dua arah yang produktif antara tenaga kesehatan dengan pasien atau keluarganya. Ketika terdapat keluarga atau kerabat yang harus dirawat di ICU, seringkali keluarga pasien merasa bingung, takut, dan panik. Akibatnya, mereka sangat mengandalkan petugas kesehatan untuk memberikan solusi. Padahal, komunikasi dua arah diperlukan agar kedua pihak memiliki tingkat pemahaman yang sama tentang kondisi pasien dan berorientasi pada peningkatan kualitas perawatan pasien,3 termasuk dengan meminimalkan risiko terjadinya AMR di ICU. “Sejalan dengan tema World AMR Awareness Week tahun ini ‘Preventing Antimicrobial Resistance Together’, Pfizer Indonesia bekerjasama dengan Indonesia One Health University Network (INDOHUN), serta pakar kesehatan dan komunitas pasien, menyosialisasikan gerakan #JitudiICU untuk mendorong penggunaan antibiotik yang bijak dan rasional di unit perawatan intensif (ICU)," kata Nora
Nora berharap gerakan ini dapat meningkatkan kesadaran publik dan para pemangku kepentingan terkait untuk menekan risiko terjadinya AMR.
Pilihan Editor: Bahaya Resistensi Antimikroba, Bisa Sebabkan Kematian