DI Bali Edward Hop mengakhiri wisatanya. Juga riwayatnya. Ia meninggal di Zal L, RSUP Sanglah, Denpasar, pukul 07.45, 5 April lalu. Jenazahnya dipulangkan -- dalam sebuah peti kemas -- Jumat sore pekan lalu dengan pesawat KLM. Sederetan kecemasan ditinggalkannya di Indonesia. Tak diragukan lagi turis Belanda itu penderita AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrome). Sesak napas akibat Pnemocystis Carinii dan bercak-bercak ungu yang menandakan ia terjangkit kanker Sarcoma Kaposi adalah dua bukti tak terbantah. Kedua gejala itu umum diketahui sebagai serangan akhir AIDS, penyakit kejam yang meruntuhkan seluruh kekebalan tubuh manusia. Pemeriksaan darahnya, menurut pihak RSUP Sanglah, positif. Ketika dihubungi pekan lalu, dr. S. Donner, ahli penyakit dalam di Akademische Zieken Huis, Amsterdam -- tempat Hop pernah dirawat -- menegaskan Mendiang memang menderita AIDS. Tak urung ia terkejut ketika mendengar bahwa Hop telah meninggal. Enam minggu sebelum perjalanannya ke Indonesia, Hop datang untuk konsultasi. Dokter ini menyarankan agar Hop membatalkan kunjungannya ke Indonesia. "Sejak setengah tahun yang lalu penyakitnya sudah terkategori berat, dan ia pernah koma," kata Donner kepada Hendrix Mandagie dari TEMPO. Tapi pasiennya itu memaksa. "Apa pun yang terjadi dan bagaimanapun keadaan saya, saya harus pergi ke Indonesia," ujar Donner menirukan keteguhan niat Hop. Ia berangkat ke Indonesia dalam rombongan yang terdiri dari 10 orang. Mereka mendarat di Medan 27 Februari lalu. Sebelum mencapai Bali, rombongan sempat mengunjungi kota-kota: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan akhirnya berkunjung cukup lama di Ambon. Dari sini, 26 Maret, rombongan mendarat di Bali dan langsung menuju Bungalow SYS di Kuta. Ikut dalam rombongan adik dan ipar Hop, suami istri Van Dommelen. Juga "pacar" Hop, pemuda asal Ambon bernama Solomon. Merekalah -- terutama Solomon yang merawat dan memapah Hop selama perjalanan. "Dia sudah sakit sejak di Ambon," kata Solomon pada Ketut Kuna pemilik SYS. Namun, Solomon merahasiakan AIDS yang diderita Hop. "Cuma batuk-batuk, dan kulitnya kepanasan," kata Kuna menirukan Solomon. Di penginapan, Hop hampir tak pernah keluar sementara anggota rombongan lainnya bepergian. "Ia selalu tinggal di kamar bersama Solomon kawannya itu, atau paling-paling duduk di teras," ujar Kuna mengisahkan. Solomon dengan setia menunggui, merawat, membelikan makanan, bahkan menyuapinya. "Mereka itu seperti suami istri saja," kata Kuna lagi. "Solomon itu banci barangkali, wajah dan jalannya persis perempuan," ujar Wayan Rangkap, pelayan SYS. Sehari sebelum berangkat ke rumah sakit, keduanya bertangis-tangisan di teras Bungalow no. 18 yang mereka tempati bersama. Begitu yang dilihat Rangkap. Bahkan di rumah sakit, dalam keadaan Hop sakit berat, Solomon menurut para perawat berusaha menyenangkan pasangannya secara seksual. Mereka memang pasangan homoseksual, golongan yang dikenal punya risiko paling tinggi untuk dijangkau AIDS yang diderita Hop sudah sampai pada stadium paling akhir. Pagi hari tanggal 1 April di bungalownya di Kuta, ia mendapat serangan. Suhu badannya naik sampai 39 derajat Celsius dan napasnya terganggu akibat radang paru-paru berat. Selang beberapa jam, serangan itu tak tertahankan. Tengah hari Solomon dan pasangan Van Dommelen minta tolong Ketut Kuna memanggilkan ambulans dan Hop pun segera dilarikan ke RSUP Sanglah, Denpasar, yang terletak 8 kilometer dari Kuta. Di RSUP Sanglah, Hop segera mendapat pernapasan bantuan. Kendati langsung melihat adanya bercak-bercak merah keunguan, dr. Dwi Sutanegara, ahli penyakit dalam RSUP Sanglah, tidak menyangka pasien yang baru datang itu menderita AIDS. "Dan saya kaget setengah mati, ketika kawannya Solomon mengatakan pasien yang saya tangani penderita AIDS, " Sutanegara mengungkapkan. Maka, Edward Hop pun segera dipindahkan ke Zal L, bangsal khusus untuk penderita penyakit menular. Namun, supaya tidak panik, Sutanegara tak mengumumkan di Bangsal L ada penderita AIDS. Hanya beberapa dokter yang mengetahuinya. Apakah tindakan ini bijaksana atau tidak, yang pasti tenaga paramedis yang bertugas merawat Hop kini resah. Ada sekitar 10 perawat bertugas di Bangsal L ketika itu. Ketut Murtiani misalnya sempat membantu membersihkan bercak-bercak luka di tubuh Hop. "Ngeri kalau ingat, bisul-bisul itu sering mengeluarkan keringat dan nanah," ujar Murtiani. Tak jelas bagaimana usaha pencegahan penularan yang dijalankan para perawat ketika itu. Tak ada usaha istimewa untuk itu. "Habis, saya cuma tahu ia terkena penyakit menular, dan tidak terbayang AIDS," ujar Murtiani lagi. Sejak kasus Hop terbongkar, ketakutan meruyak di sekitar bungalow SYS di Kuta. Ketut Kuna membakar semua isi kamar no. 18. "Saya sampai rugi 100.000 rupiah lebih," katanya. Sementara itu, Prof. Dr. A.A. Loeddin, Ketua Panitia Nasional Penanggulangan AIDS, pekan lalu menyatakan penularan penyakit itu tidaklah seperti yang kita bayangkan. Dalam jumpa pers di Departemen Kesehatan Loeddin membacakan patokan epidemiologis AIDS yang digariskan WHO (organisasi kesehatan sedunia). Sementara ini patokan WHO memang yang paling bisa dipercaya karena di organisasi itu berkumpul ahli epidemiologi paling terkemuka di dunia. Data perambatan penyakit yang paling lengkap juga terhimpun di situ. Menurut WHO, hubungan sosial dengan penderita AIDS tidak mengakibatkan penularan. Menurut penelitian, virus HTLV III penyebab AIDS tersebar di semua cairan tubuh, tapi teori tentang penularan lewat ludah, air mata, dan keringat belum terbukti benar. Menurut WHO, penularan yang pasti adalah hubungan seks, transfusi darah, dan penggunaan jarum suntik tidak steril, khususnya pada pecandu narkotik. Membakar dan membuang semua benda yang sudah disentuh penderita AIDS merupakan ketakutan yang tak beralasan. Mengapa? Karena sama dengan virus mana pun, virus penyebar AIDS termasuk jazad renik yang cuma bisa hidup pada organ yang hidup seperti manusia dan binatang. Bila binatang dan manusia yang "ditumpangi" mati, virus ikut mati pula. Virus dibedakan dari bakteri -- penyebab TBC misalnya -- jazad renik lain yang bisa hidup di benda mati. Berdasarkan standar WHO pula dr. Donner di Negeri Belanda tidak mencegah keberangkatan Edward Hop. Ketika ditanya apakah ia sadar AIDS yang diidap Hop bisa menjalar di Indonesia, ia menjawab, "Satu-satunya bahaya ialah bila penderita itu melakukan hubungan seks." Hal ini sudah dijelaskannya secara terinci pada Hop, dan penderita AIDS itu mengutarakan tidak lagi melakukan hubungan seks sembarangan. "Dia sadar keadaannya sudah sangat berat dan umurnya tidak panjang lagi," ujar Donner, "justru itu yang membuat ia ingin melihat Indonesia sekali lagi." Menurut Loeddin, sementara ini memang tidak mungkin melakukan pemeriksaan terhadap semua turis asing yang masuk. Prosesnya terlampau lama, sekitar dua jam, dan hasilnya pun tak segera bisa diketahui. Menparpostel Achmad Tahir Sabtu pekan lalu menyatakan Indonesia tidak akan mengeluarkan kartu bebas AIDS karena akan menghambat kemudahan berlibur bagi turis asing di negeri ini. "Jangan panik, cuma baru satu kasus," demikian pesan Menteri yang diutarakan pada wartawan Antara di Denpasar. Di Jakarta Prof. Loeddin menambahkan, "Sampai kini belum ada cara efektif untuk mencegah penyebran AIDS." Namun, karena penyebaran AIDS banyak terjadi melalui hubungan seks, Loeddin berpetuah untuk "menghindari gaya hidup seksual yang sembarangan sebagai cara pencegahan paling utama." Hop terlambat menghindarinya, dan pada usia 44 ia harus melepas nyawa di Pulau Dewata. Jim Supangkat, Laporan Masduki, N. Weja (Bali), H. Mandagie (Amsterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini