PEKIK "Hidup Koperasi, hidup Kopti" bergema di ruang sidang Pengadilan Negeri Bandung, Kamis pekan lalu. Sejumlah orang itu bukan sedang merayakan hari koperasi. Hari itu, Majelis Hakim yang diketuai Soenardi menjatuhkan vonis kepada Oo Somantri, 48 tahun, Ketua Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Kopti) Kabupaten Bandung, dengan hukuman 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 30 juta dan ganti rugi Rp 130 juta. Majelis juga memerintahkan agar terdakwa segera masuk ke tahanan. Oo, yang terperanjat mendengar vonis itu, kontan mengamuk. "Hidup koperasi, hidup Kopti ! Mana keadilan ? Semua itu bohong," teriaknya histeris sambil meronta-ronta ketika dimasukkan ke kendaraan tahanan. Para anggota yang hadir di sidang menyambut teriakan Oo dengan pekikan serupa sebagai tanda simpati kepada pesakitan. Pernyataan simpati itu tidak hanya datang dari para anggota Kopti Bandung. Awal Maret lalu, Menteri Koperasi Bustanil Arifin bahkan mengirimkan surat ke Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung, yang isinya menyatakan pemerintah sama sekali tidak dirugikan oleh terdakwa. Surat itu diperkuat oleh pernyataan Dewan Pengurus (DP) dan Badan Pemeriksa (BP) Kopti Bandung, yang menyebutkan bahwa anggota Kopti tidak dirugikan Oo. Malah, pada 1 Maret, Oo dipilih kembali oleh anggotanya menjabat ketua untuk ketiga kalinya. Padahal, ayah tujuh anak itu didakwa Jaksa Penuntut Umum Yamin Suhermin telah mengkorup uang negara dan merugikan anggota koperasi. Oo dituduh telah memanipulasikan dana susut/rusak, dana angkut, dan bongkar muat kedelai dari gudang sampai ke unit pelayanan. "Akibatnya, kedelai sampai kepada pada perajin tahu tempe mengalami kenaikan rata-rata Rp 20 per kg," tuduh Yamin. Sebab itu, ia menuntut Oo, yang juga pengusaha tahu tempe itu, 10 tahun penjara plus denda Rp 30 juta. Ketua Majelis Soenardi ternyata lebih mempercayai tuntutan jaksa ketimbang simpati para anggota atau surat Menteri Koperasi. "Dakwaan primer korupsi Rp 188 juta dan penggelapan uang anggota Rp 58 juta lebih sudah terbukti," kata Soenardi. Hukuman terhadap Ketua Kopti itu di luar dugaan Oo dan penasihat hukumnya. "Kami tak mengira Pak Oo akan divonis," kata Soemeroe, penasihat hukum Oo. Sebab, dari surat yang dilayangkan Menteri Koperasi Bustanil Arifin, tidak ada alasan lagi bagi jaksa untuk menuntut Oo dalam tuduhan korupsi, yang salah satu unsurnya kerugian negara. Dalam surat itu Bustanil menegaskan bahwa tidak ada kerugian negara dalam kasus itu. "Dalam transaksi penyaluran kedelai itu, baik Departemen Koperasi, Bulog, maupun pemerintah tidak pernah dirugikan," tulis Menteri. Soemeroe pun heran, uang Kopti mana yang dikorup. "Kopti tidak menyalurkan dana pemerintah seperti Bimas. Jadi, tak heran kalau pemerintah tidak merasa dirugikan. Sedangkan tuduhan penggelapan, malah dibantah sendiri oleh anggota koperasi di rapat anggota," kata penasihat hukum itu. "Karena tidak ada pihak yang merasa dirugikan, logis kalau terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan," tambahnya. Tapi, dalam persidangan, baik surat Menteri, surat DP dan BP, maupun hasil Rapat Anggota Tahunan (RAT) sebagai lembaga kekuasaan tertinggi di koperasi sedikit pun tidak disinggung hakim. "Untuk apa disinggung? Surat itu tak ada hubungan apa-apa dengan perkara yang diperiksa," kata Soenardi kepada TEMPO. Tapi tidak hanya di Bandung Kopti tertimpa perkara. Di Semarang, Bendahara Perwakilan Pusat Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Perpuskopti) Nyonya Sri Patno Mukhayat dituduh bekerja sama dengan perusahaan swasta CV Bahagia memanipulasikan jatah kedelai untuk 31 buah Kopti di daerah itu sehingga negara dirugikan sekitar Rp 5,7 milyar. Pada Juni 1985, direktur dan wakil direktur CV Bahagia, Bambang Sulistyo dan Adrianto Kartosucipto, divonis masing-masing 8 tahun karena korupsi kedelai itu. Di Jawa Barat, selain di Kabupaten Bandung, kasus Kopti juga muncul di Cirebon. Mohammad Saeri, Ketua Kopti Kabupaten Cirebon, dituduh melakukan tindak pidana korupsi Rp 1,2 milyar. Ia, 1986, sempat empat bulan mendekam di tahanan polisi sebelum dilepaskan kembali, juga karena tuduhan korupsi. Tapi perkaranya sampai kini terkatung-katung karena berita acara pemeriksaan polisi ditolak jaksa. "Saya ingin segera diadili supaya jelas apakah saya salah atau tidak. Kalau salah, silakan hukum tapi kalau tidak salah, tolong nama saya direhabilitasi," katanya beriba. Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini