Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Sekitar otopsi dan sanksi

Otopsi atas jasad korban malapraktek ny. sri sulastri, kabut kematiannya mulai terkuak. klinik asih trisna dilarang beroperasi satu bulan. tim dokter yang menangani bedah plastik mendapat sanksi.

18 April 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OTOPSI atas jasad korban malapraktek Ny. Sri Sulastri mulai menunjukkan adanya titik-titik terang. Klinik Asih Trisna (AT) telah dilarang beroperasi satu bulan, lantaran tak mampu mempertanggungjawabkan malapetaka yang menimpa istri Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu. Juga empat dokter yang menangani bedah plastik atas diri Almarhumah dicabut ijin prakteknya -- paling lama tiga bulan oleh Kanwil Depkes DKI Jakarta dua pekan berselang. Korban diotopsi pertengahan bulan lalu di RSCM. Keadaan mayat rusak berat hingga menyulitkan tim otopsi untuk melakukan pemeriksaan. Memang, biasanya jasad manusia dianggap masih bertahan selama 55 hari setelah penguburan. Namun, dengan struktur tanah di Indonesia, tim otopsi FK UI/RSCM menghadapi tantangan berat. Toh otopsi jalan terus, sedangkan hasllnya sampai kini masih dirahasiakan. Sumber TEMPO di ruang bedah mayat RSCM mengatakan bahwa otopsi secara makroskopis (pemeriksaan tahap pertama) pada selaput lendir lambung tidak menemukan gejala ulcer stress. Ini berarti tabir kematian ibu enam anak ini mulai tersingkap. Sebab, alasan tim dokter Klinik AT bertentangan dengan hasil temuan itu. Menurut tim yang dipimpin ahli bedah dr. Kartadinata ini, kematian pasiennya karena pendarahan lambung, akibat stress setelah dioperasi. Pendarahan yang disebut juga ulcer stress itu, katanya, terjadi karena kelainan pada lapisan lendir lambung yang kemudian menimbulkan luka. Berlindung pada alasan itu, mereka berharap bisa terhindar dari tuduhan telah melakukan malapraktek. Sebab, sejauh ini, ulcer stress adalah perisai ampuh, terutama untuk menangkis kasus malapraktek. Ternyata, hasil otopsi tidak menunjukkan adanya gejala ulcer stress. Alasan tim Kartadinata memang sejak mula sudah diragukan keabsahannya. Pendarahan akibat ulcer stress, menurut kalangan dokter yang dihubungi TEMPO, tidak dapat terjadi secara mendadak seperti dalam kasus Ny. Sri Sulastri. Pendarahan seperti itu biasanya terjadi bila pasien shock, misalnya pada korban luka bakar. Sekarang timbul dugaan mungkin pendarahan yang terjadi adalah DIC alias Dissiminated Intravascular Coagulation. Mengapa? "Karena ini yang umum terjadi. Kalau ulcer stress, pendarahan terjadi setelah beberapa hari. Bukan mendadak begitu," ujar sumber TEMPO yang enggan disebut namanya ini. Menurut dr. Soepartondo, DIC merupakan proses penggumpalan darah (koagulasi) yang diikuti proses pencairan kembali. Kedua proses itu silih berganti. "Jika proses pencairan lebih kuat, tentunya akan terjadi pendarahan secara besar-besaran, atau sebaliknya" kata Kepala Bagian Penyakit Dalam RSCM/FK UI ini. Timbulnya proses yang tidak normal dapat diakibatkan oleh faktor penyakit bawaan. Nah, kalau medical record Ny. Sri Sulastri tak lengkap, misalnya adanya gangguan pada paru-parunya yang sebelum operasi tak terdeteksi, maka pendarahan ataupun penggumpalan secara besar-besaran sangat mungkin terjadi. Kenyataan itu belum terjawab tuntas karena penelitian lewat mikroskop agaknya menemui kesulitan. Pendarahan memang terjadi, tapi dengan keadaan mayat yang sudah membusuk sulit membuktikan apakah karena ulcer stress atau bukan. Jadi, penyebab kematian masih belum bisa dipastikan. Tapi pihak Kanwil Depkes DKI Jakarta pertengahan bulan lalu telah menjatuhkan ganjaran pada Klinik AT dan tim dokter yang melakukan tindakan gegabah tersebut. Klinik AT dilarang beroperasi selama satu bulan. Alasannya: AT melanggar izin status. Klinik yang seharusnya tidak boleh melakukan rawat menginap ini telah keluar garis. Dengan melakukan operasi besar, berarti pasien harus menginap. Dan tidak hanya itu. Klinik ini, ternyata, mengantungi surat izin yang sudah kedaluwarsa. Empat dokter yang tercantum namanya sebagai tim bedah Ny. Sri Sulastri, ternyata, tidak mendapat ganjaran yang sama. Dr. Tresiaty Pohe, misalnya, dijatuhi sanksi paling berat. Ia dinyatakan bersalah karena dua hal: ikut membantu pengambilan lemak pasien, dan memberi keterangan yang menyesatkan. Hingga pasien nahas. Maka, surat izin prakteknya dicabut selama tiga bulan. Adapun dr. Kartadinata, kendati berstatus sebagai penanggung jawab operasi, sanksi yang ditetapkan atas dirinya lebih ringan: sebulan tidak boleh melakukan praktek di luar tempatnya bertugas di RS Gatot Subroto. "Kesalahannya, ia menyimpang dari etik. Seharusnya dia tidak boleh melakukan bedah plastik, karena ia dokter bedah umum," kata dr. Soeharto, Kakanwil Depkes DKI Jakarta. Lain lagi hukuman yang dijatuhkan untuk dr. Linda Rahmad, yang bertindak sebagai ahli anestesi. Dia dinyatakan tidak boleh melakukan praktek di luar tempatnya bertugas di RSCM, selama sebulan. Alasannya, melanggar disiplin. Sebagai pegawai negeri, dr. Linda telah berpraktek di Klinik AT selama jam kantor. Ahli kebidanan dr. Hasnah Siregar mengalami nasib serupa. Selama sebulan ia tidak boleh melakukan praktek di luar RS Tarakan, tempat ia terdaftar sebagai pegawai negeri. Hukuman paling ringan jatuh pada Direktur Klinik AT, dr. Peter Hasan. Direktur ini hanya mendapat teguran keras. "Memang hukuman ini paling ringan, karena dia 'kan tidak terlibat langsung dalam operasi," begitu alasan Kakanwil. Ganjaran itu, menurut dr. Soeharto, merupakan pelajaran yang harus diterima oleh mereka yang nakal. "Bukan untuk mematikan klinik atau kehidupan dokter tersebut," ujarnya. Kakanwil ini mengakui bahwa sanksi yang dijatuhkan relatif ringan. "Sebab, kalau anak kita nakal, ya kita jewer atau dipukul pantatnya. Masa harus ditembak," ujarnya berseloroh. Hukuman ringan itu diterima dengan pasrah oleh yang bersangkutan. "Ya, pokoknya kami terima," kata dr. Kartadinata dengan kalem. Bagi suami korban, sanksi itu sebenarnya masih belum setimpal, jika dibanding dengan nyawa istrinya. "Sanksi itu seharusnya dapat dijadikan pelajaran bagi dokter lainnya. Supaya mereka tidak sembrono," kata Soebandi, suami Almarhumah. Harus diakui bahwa hukuman itu terlalu ringan. "Itu 'kan masih dari Kanwil, yang sifat hukumannya lebih banyak menjurus pada hukuman administratif, walaupun ada sedikit tindakan etisnya. Dan belum ada hukuman dari IDI yang melihat lebih banyak aspek etisnya. Mungkin malah lebih memberatkan," kata Kartono Mohamad, Ketua Umum IDI Pusat. Di samping itu bukan tidak mungkin ada hukuman lain dari pengadilan. Sampai kini pihak IDI DKI dalam hal ini MKEK (Majelis Kode Etik Kedokteran) masih mengadakan penelitian. Menurut Prof. Judono Marsidi, Ketua MKEK IDI DKI, pihaknya menangani kasus ini dari segi etik kedokteran. Dan sifatnya hanya membina dan mendidik, tidak menghukum. "Keputusan untuk menghukum diserahkan kepada rapat IDI," katanya. Gatot Triyanto, Laporan Agus Sigit (Biro Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus