SANTOSO Soewandi khusyuk berdoa, pasrah pada Yang Kuasa. "Jika Tuhan menginginkan berhasil, pasti akan berhasil," tuturnya, lalu kembali melafazkan satu ayat dari kitab suci Quran. Selasa pagi itu, ahli bedah digestif (alat cerna) berumur 55 tahun ini akan menghadapi tugas berat: operasi Adi Suhendra dan Adi Suhendri, kembar siam jenis sifopagus dan omfalopagus (dempet di bagian ujung tulang dada dan pusat). Kendati bukan tipe yang tergolong rumit, si kembar Adi juga tidak bisa dikatakan mudah. Suhendra punya kelainan jantung, sedangkan usus Suhendri tersangkut ke rongga perut kakaknya. Maka, seluruh tim operasi yang beranggotakan 29 orang itu menyongsong detik-detik operasi dengan hati berdebar. Terlebih jika mengingat kebocoran antar bilik jantung Suhendra, yang memerlukan pengawasan ekstra ketat "Bayangkan, selama pemasangan alat anestesi saja, tubuh Suhendra sempat membiru tiga kali," kata dr. Santoso, sang komandan meja operasi. Kendati demikian, tim sudah bertekad bulat. Banyak belajar dari keberhasilam tim RSCM dalam operasi Yuliana-Yuliani, tim Medan ini berkali-kali mengevaluasi kondisi si kembar Adi. Dibentuk akhir September lalu oleh Direktur RS Pirngadi, Medan, dr. Raharjo Slamet, tim Medan itu sampai tiga kali mengadakan gladi resik latihan operasi. Berbagai kemungkinan dipelajari dan didiskusikan, termasuk mencari jalan keluar bila listrik tiba-tiba padam (di Medan belakangan ini listrik memang sering mengecewakan). Ruang operasi dipermak, dan empat hari sebelum hari H, ruangan itu disterilkan kembali. Berbagai peralatan disiapkan, termasuk dua mesin anestesi merk Engstrum 300, yang dipinjam dari RS Tanjungpura, Sumatera Utara 2 ventilator bayi yang konon harganya sekitar 130 juta rupiah per buah, dan peralatan monitor jantung dan nadi. Ada pula sumbangan unik dari seorang anggota tim, Dr. Effendi Nasution, 50 tahun. Ahli bedah vaskuler (pembuluh darah) ini membuat meja operasi dari baja antikarat, berukuran 120 x 50 cm. Meja itu memiliki dua tempat kepala yang bisa diturun-naikkan. "Meja itu bisa direnggangkan ketika bayi mulai terpisah," ujar Effendi, sang desainer. Seperti yang diharapkan, operasi berjalan lancar dan sukses. Tahap-tahap kritis sudah lewat. Dan semua ini bermula pada dinihari, Selasa 12 Januari lalu, saat kedua Adi dipuasakan. Lalu pukul 06.20 keduanya dibawa ke kamar operasi. Semua hampir beres, sebetulnya. Tiba-tiba muka Suhendra membiru lagi. Para dokter merasa kecut. Namun, syukurlah, semua bisa diatasi. Sekitar pukul 10.15 Santoso mulai mengangkat pisau bedah. Tapi, ah, ia ingin menguji sekali lagi tubuh kedua Adi: kuatir kalau-kalau mereka belum terbius benar. Ternyata sudah. Pertama-tama dibuat sayatan melengkung di bagian penyatuan, dengan arah cekungan pada Suhendri. Setelah kulit dan otot dibuka, sayatan mencapai peritonium, lapisan tipis kuat yang melindungi organ-organ di rongga perut. Sampai di sini operator mesti ekstra hati-hati. Soalnya, liver (hati) kedua Adi memang menyatu, yakni antara lobus (belahan) kanan hati bayi yang satu dan lobus kiri hati saudaranya, seluas 8-9 cm. Sebelum dipisahkan, hati itu dijahit lebih dulu, untuk melindungi sebagian pembuluh darah di sana. Antara dua jahitan itulah hati dibelah. Inilah saat-saat menegangkan. Selain banyak pembuluh darahnya, hati ini rapuh sekali. "Kalau tidak hati-hati, organ hati bisa jebol," kata Effendi Nasution. Adalah pemisahan hati yang paling mengesankan bagi para dokter, termasuk dr. Yani A. Kasim, Kepala Ruang Perawatan Intensif (ICU) Anak RSCM yang (bersama 2 dokter lain) ikut diundang ke RS Pirngadi. "Liver yang menempel tcrnyata lebih luas ketimbang dugaan semula, hingga waktu dilepaskan banyak darah yang mengalir," ujar Kasim, sepulan~g dari Medan, dua hari setelah operasi. Pemisahan sulit itu sukses. Berikutnya memisahkan penyatuan tulang dada dan tiga buah iga serta selaput Jantung (perikardium) yang dempet sepanjang 3 cm. Inipun lancar. Sekitar pukul 11.00, operator memperlebar sayatan ke arah bawah, untuk menempatkan kembali bagian ileum (usus halus) Suhendri, yang tadinya menjelajah ke rongga perut abangnya. Lebih lanjut, peritonium Suhendra yang tadi telah dipisahkan, ditambal dengan Iyodura, sementara pada perltonium adiknya dilakukan penambalan dengan bahan teflon, berhubung persediaan habis. Tim Pirngadi, menurut dr. Santoso, memperkirakan 2 kotak Iyodura sudah cukup, karena dikira satu kotak berisi lebih dari satu lembar Iyodura. "Eh, Iyodura di kotak cuma seluas 8 x 2 cm, padahal tadinya kita mengharap 10 x 8," ujar Santoso. Ringkasnya, setengah jam sebelum tengah hari, kedua Adi sudah terpisahkan. Tim bedah pun terpecah dua. Tiga ahli bedah, dr. Santoso, dr. Asmui Yosodiharjo, dan dr. Ismet menangani Suhendra, sementara dr. Effendi Nasution, dr. Maruhum Hutapea, dan dr. Menam Ginting menangani Suhendri. Pada penutupan luka operasi di tubuh Suhendri (yang beratnya 7,2 kg), ahli bedah plastik dr. Buchari Kasim menutupkan bahan teflon dan flap kulit dan otot yang diambil dari bagian tubuh bayi itu sendiri. Sementara itu, pada Suhendra (dengan berat 6,3 kg) tak dilakukan operasi plastik demikian, mengingat kelainan jantung yang dideritanya. Operasi usai sudah. Pemantauan ketat para ahli anestesi dan ahli kesehatan anak menunjukkan hasil yang baik. Kondisi kesehatan kedua putra pasangan Mijan (24 tahun) dan Ernawati (21 tahun) itu cukup menggembirakan. Kamis malam pekan lalu, kedua Adi sudah buang air besar. Artinya, usus keduanya mulai aktif kembali. Namun, tetap saja ada kekhawatiran terjadinya komplikasi, mengingat kondisi rumah sakit. "Soalnya, di sini angka kejadian infeksi masih sangat tinggi. Saya tidak tahu bagaimana kondisi RS Pirngadi. Tapi di RSCM orang bisa masuk lewat pintu mana saja, dan tidak bisa dicegah -- hingga meninggikan angka penularan penyakit," ujar Prof. Dr. Iskandar Wahidayat, ketua tim pemisahan Yuliana-Yuliani, yang juga Kepala Bagian Kesehatan Anak RSCM/ FKUI. Tapi kekhawatiran macam itu tidak mengurangi kegembiraan dr. Raharjo Slamet. "Kondisi kedua bayi cukup baik, sebagaimana diharapkan," katanya. Setelah tertunda dan tersendat, operasi yang menelan biaya sekitar 250 juta rupiah itu akhirnya membuahkan rasa lega. Penundaan itu kabarnya menyangkut soal pengadaan peralatan, termasuk selimut pengatur suhu. Ternyata, belakangan banyak yang mengulur tangan. Gubernur Sumatera Utara Kaharuddin Nasution menyumbang 51 juta rupiah, sementara Pemda Tingkat I Medan, Ketua DPRD Medan, dan masyarakat Kisaran juga membantu jutaan rupiah. PT United Sumatera Plantation (USP), tempat kerja Mijan, tidak saja menyumbang 7,5 juta, tapi juga menjamin biaya hidup kedua Adi sampai tamat SMTA. Selepas SMTA, menurut Direktur Komersial PT USP, Yusuf Benoni Siwabessy, terserah mereka. "Seandainya mereka mau meningkatkan kemampuan, kita menyediakan sarana untuk itu, misalnya kursus komputer. Pokoknya, kita jadi bapak asuh," ujar Siwabessy. Seperti diketahui, kembar dempet Adi Suhendra dan Adi Suhendri dilahirkan 3 Juli 1987 di Kisaran, melalui sebuah operasi Caesar. Adapun operasi pemisahan mereka sebetulnya merupakan operasi kembar siam kelima di Indonesia. Operasi pertama dilakukan 30 tahun lalu, oleh tim kecil ahli bedah RSCM. Menurut Prof. Dr. Djamaloeddin, 72 tahun,satu-satunya anggota tim yang masih hidup, kedua bayi wanita dempet perut itu berasal darl Semarang. Hidup normal, kini keduanya sudah berkeluarga. Yang kedua, September 1979, dilakukan tim RSCM terhadap dempet perut asal Ruteng, Nusa Tenggara Timur: Maria G~retti Ani dan Maria Immaculata Ana. Berbeda dengan dempet perut lainnya, Ani Ana rupanya berposisi terputar: kepala Ani men~hadap kaki Ana, dan kepala Ana menghadap kaki Ani. Ini disebut kembar kano. Nama kembar kano, meniru nama kembar dempet Wariboko dan Tomunotonye, yang lahir dari seorang ibu suku Ibo, di Kano, Nigeria, 25 Juli 1953. Operasi ketiga, juga pada dempet perut asal Sumetara Utara, dari Pulau Nias. Dilakukan di sebuah RS swasta di Jakarta sekitar 5 tahun lalu, sayangnya operasi itu gagal. Kedua bayi meninggal. Keempat adalah si kembar Yuliana-Yuliani. Syafiq Basri (Jakarta), Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini