Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Hanya kasus biasa

Karina-Karini, bayi kembar siam pertama yang sukses dipisahkan oleh tim dokter Indonesia tahun 1957. Dr.H. Djamaloeddin salah satu anggota tim yang masih hidup. Kini mereka sudah berumah tangga.

23 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

T~IGA puluh tahun lalu operasi kembar siam sudah dilakukan di Jakarta. Dan sukses. Waktu itu pada suatu hari di tahun 1957. Para dokter mendengar berita adanya bayi kembar siam dempet perut di Semarang. Segera mereka putuskan mengirim seseorang ke sana, menjemput kedua bayi, dan membawan~ya ke Jakarta. "Saya sudah lupa tanggalnya~' ujar Prof. Dr. H. Djamaloeddin, 72 tahun, ahli bedah anggota tim operasi bersejarah itu. Djamaloeddin adalah salah seorang anggota tim yang terdiri dari 4 ahli bedah dan seorang ahli anestesi. Tim diketuai langsung oleh Kepala Bagian Bedah FKUI, Almarhum Prof. M. Soekarjo. Anggota yang lain adalah dr. Utama dan dr. Ramli. Semuanya -- ditambah ahli anestesi, Prof. dr. Mohammad Kellan -- telah meninggal dunia, kecuali Djamaloeddin. Orangtua kedua bayi perempuan itu, seingat Djamaloeddin, adalah petani sederhana yang tidak mampu datang ke Jakarta. "Sebelum perang kemerdekaan, kita memang tidak pernah mendengar ada bayi kembar dioperasi," ujar ahli bedah yang diangkat menjadi guru besar pada tahun 1951 ini. Pada waktu itu, jangan tanya peralatan canggih. Peralatan anestesi pun masih payah. Metode anestesi yang dipakai cuma dengan ether, yang dimasukkan lewat bekapan cup ke hidung dan mulut. Akibatnya, banyak komplikasi terjadi, termasuk kematian pada anak-anak sehabis operasi. Terutama akibat tersumbatnya jalan napas oleh banyaknya lendir yang sulit dibersihkan dan panas yang tinggi sekali. Belakangan ada metode anestesi yang lebih maju, menggunakan endotracheal tube (slang yang dimasukkan ke trachea, bagian saluran napas di leher), yang bisa membersihkan lendir dari jalan napas. Dan metode itulah yang dipakai tim dr. Soekarjo. Hanya mengandalkan foto ronsen, operasi tim itu memakan waktu sekitar tiga jam. Mirip den~an kedua Adi asal Kisaran, tim Soekarjo juga menghadapi kasus sama: menyatunya kedua hati pasiennya. Ketika perut dua bayi dibuka, tim menemukan dua hati yang menempel, dengan diameter sekitar 5 cm. "Alhamdulillah, organ yang lain tidak ada yang dempet," kata Djamaloeddin lagi, "sehingga tak ada kesulitan luar biasa yang menghadang kami." Setelah terpisahkan, kedua bayi itu masing-masing di tangani dua ahli bedah, di dua meja operasi pula. Bayi pertama oleh dr. Soekarjo dan dr. Djamaloeddin, sedang bayi kedua oleh dr. Utama dan dr. Ramli. Untuk menutup kulit yang disayat, tim tidak menggunakan tenaga ahli bedah plastik seperti di RS Pirngadi. Yang ada, selain para ahli bedah dan ahli anestesi, hanya ahli kesehatan anak. "Kami rasa memang tidak perlu terlalu banyak melibat dokter," ujar Djamaloeddin. Sebabnya? Karena, menurut Ketua Dewan Penyantun Ikatan Ahli Bedah Indonesia itu, operasi omfalopagus termasuk kasus biasa, beda dengan kraniopagus (dempet kepala)-nya Yuliana-Yuliani. Dengan rendah hati bekas dekan FKUI itu menyatakan bahwa yang dilakukannya terhadap kembar Semarang itu sesuatu yang biasa saja. "Kalau kraniopagus, itu baru bisa dibilang operasi yang sangat sulit, operasi prestasi. Karena harus memisahkan selaput otak pula," ujarnya. Bagaimanapun juga, operasi kembar Semarang mengawali sukses bedah kembar dempet di Indonesia. Operasi itu sukses sempurna. Hanya saja, keberhasilan itu tak pernah didokumentasikan tim Soekarjo. Mereka bahkan tidak sempat membuat case report, laporan kasus ilmiah, sebagaimana lazimnya para dokter sekarang mencatat kasus-kasus yang unik. "Ahli bedah kita waktu itu belum sebanyak sekarang," ujar Djamaloeddin, "dan kami ketika itu sudah sangat sibuk dengan operasi itu, mana sempat mengabadikannya?" Prof. Djamaloeddin masih tetap sibuk sampai sekarang. Ia sudah pensiun, tapi kariernya berlanjut di sebuah RS swasta di Jakarta. Ia juga jadi anggota tim dokter ahli kepresidenan. Dari empat anak Djamaloeddin, hanya seorang putri yang mengikuti jejaknya. Dialah dr. Chaula Luthfia Sukasah, salah seorang ahli bedah plastik yang ikut dalam tim operasi kraniopagus Yuliana-Yuliani, Oktober tahun lalu. Bertubuh tinggi besar, Prof. Djamaloeddin yang sudah haji ini tetap aktif di hari tuanya. Ia tampak sehat selalu. Kendati demikian, ia pernah sakit agak berat, terutama ketika hernia tulang belakangnya terasa mengganggu, sekitar tahun 1979. Karena tak tertahankan, Djamaloeddin menginginkan hernia itu dioperasi di Groningen, Belanda. Mendengar rencananya itu, diam-diam seorang bekas muridnya terbang ke sana, dengan alasan melakukan penelitian. "Padahal, dia pergi karena tahu gurunya mau ke sana," ujar Djamaloeddin. Di Belanda, sang murid yang lulusan Groningen itu membantunya habis-habisan. Mulai dari mencarikan rumah, mengemudikan mobil, sampai ikut membantu operasi bedah saraf yang dijalani Djamaloeddin. Murid itu tak lain adalah dr. Padmosantjojo, ahli bedah saraf yang memisahkan Yuliana-Yuliani. Yang menarik ialah ketika jahitan operasi dibuka suster di Groningen. Saat itu suster nyeletuk, "Oh, ini pasti jahitan Dokter Padmo, ya ....~" Tapi bagaimana nasib si kembar Semarang? Kabarnya, kini mereka telah tumbuh sehat dan dewasa. Sayang, orangtua angkat kedua kembar yang konon bernama Karina-Karini itu tidak bersedia ditemui ataupun memberi alamatnya. Alasannya, karena tidak etis. Djamaloeddin bersikap serupa: keberatan memberikan identitas orangtua angkat itu maupun identitas bekas pasiennya. Tapi melalui Djamaloeddin, orangtua angkat Karina-Karini menjelaskan, "Sekarang keduanya sudah menikah, dan masing-masing punya dua anak." Menurut sebuah sumber di RSCM, orangtua angkat Karina-Karini itu adalah ahli bedah Prof. Soenarjo, pensiunan guru besar yang pindah dari Medan ke Jakarta. Dari contoh itu, jelaslah bahwa kedua guru besar itu tampak kukuh sekali berpegang pada etika kedokteran. Sebuah sikap yang, secara jujur, patut digarisbawahi dan dipuji. Bahkan mungkin bisa dijadikan suri teladan bagi angkatan dokter masa kini. S~yafiq Basri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus