POPO ISKANDAR, 61 tahun, dan Srihadi Sudarsono, 57 tahun, pada masa lalu pernah melukis dengan memadukan penggeometrian -- penggubahan raut-raut geometrik -- dan pewarnaan terang dan rata. ~emudian mereka bereaksi terhadap seni lukis yang secara salah kaprah disebut orang "kubisme" ini. Mereka membebaskan tangan, dan di kanvas meninggalkan palitan yang jelas kelihatan, meninggalkan bekas laku memalitkan cat: bekas menyapukan, mengoleskan, maupun mencoletkan. Affandi (lihat boks) adalah contoh klasik seni lukis palit" atau "seni lukis semangat" ini, begitu kita namakan kalau boleh memakai sebutan sederhana. Asal, tentu saja, kata "semangat" itu kita ingati seluruh gugus maknanya: daya hidup, jiwa atau watak, keadaan atau suasana batin, kemauan. Dalam hal emosionalisme, Popo dan Srihadi tidaklah sama karatnya dengan Affandi. Mereka berdua cenderung merenung juga. Barangkali ini sebabnya mereka tidak mengumbar palitan. Mereka menggunakan juga pewarnaan rata, palitan luluh atau redam. Dalam Tiga Jago Pulih Popo, palitannya kuat, lebar, dan lengkung. Leher Jago tegak di atasnya, dengan kepala merah. Sosok jago mendapatkan kekukuhannya, bahkan ketegangan atau kekakuannya, sekalipun ini harus dibayar -- mungkin Anda rasa -- dengan kehilangan irama dan kesinambungan sosok organik. Srihadi ada mengisi bidang dengan warna rata dalam Fenomena Alam. Tetapi Imaji Dunia Topeng berisi banyak palitan kecil yang memberi tekanan dan irama dan menghidupkan lukisan ini, di samping warna-warninya. Dengan corat-coret begitu, Srihadi pandai menangkap gerak, sikap, dan air muka, dengan cara hemat, ringkas. Pelukis bisa saja mementingkan unsur lain, bukan palitan. Berbeda dengan sapuan, corengan, dan corctan yang membawa pandangan klta meluncur sepanjang garis, barik alias tekstur membawa perhatian kita kepada bidang. Misalnya, pada pelukis A.D. Pirous, 55 tahun, pandangan kita tertambat pada bidang, dan merenungi amanah yang tertulis dengan huruf Arab di situ. Karena bariknya, citra bongkah atau lempeng dalam lukisan Pirous itu tampak tua, selagi tulisan -- citra bekas kerja tangan yang terkendali dan bertujuan -- tampak mempertahankan keapikan dan ketegasannya, mencerminkan kemauan yang lestari. Latar biru bersih (Amanah 11) atau berupa bidang atau lajur-lajur tegak berwarna rata (Amanah 12), memberi cerlang kepada lukisan, mengagungkan amanah. Ada pula pelukis yang asyik dengan raut yang terbentuk oleh coretannya. Pada Widayat, 65 tahun, dan Suparto, 59 tahun, sejumlah raut menjadi satuan-satuan pola yang diulang-ulang teratur pada bidang gambar, diragamkan (divariasikan), diperlawankan, dan kesemuanya digubah menjadi satu paduan yang utuh. Dengan cara ini Widayat memberi kesan kekayaan ikan di laut (Ikan) dan kekayaan flora dan fauna (Flora dan Fauna). Pewarnaan kecokelatan memberi perasaan bahwa inilah alam yang tua dan lestari itu, yang boleh jadi mendapatkan lambangnya pada ayam jantan yang gagah berkokok di tengah tumbuhan yang kaya (Ayam Jantan). Suparto, melalui penyederhanaan, peng~ayaan, dan pemolaan raut itu, dan den~gan garis-garis halus dan warna-warna lunak, menyajikan citra yang lembut, manis, kalau bukan sentimental (Matahari dan Pohon Kelapa, Peraga~wati, Dua Penari). Mungkin, corak lukisan yang diperlihatkan Suparto dan Widayat ini dalam pikiran kita sukar diceraikan dari tradisi seni rupa kita yang kaya dengan seni dekoratiff itu. Abas Alibasyah, yang beroleh banyak gagasan dari topeng dan wajah, juga berkecenderungan kepada citra ruang dwimatra dan tertib bentuk dekoratif di satu pihak (Tiga Wajah), dan citra ruang trimatra "realisme" (Patung Tanimbar) dan ketakberaturan (Celengan) di lain pihak. Ia sedang di persimpangan, memilih perubahan ? Fadjar Sidik, 58 tahun, juga asyik dengan raut, yang diletakkannya pada latar berwarna rata, dalam lukisan "lurik"-nya (Fantasi Lurik I, II, dan III). Lajur-lajur geometrik sederhana, pendek-pendek, ditata berjajar, digabung pula dengan raut lain seperti segitiga dan lingkaran. Oleh peragaman dan penataan, tersirat gerak dan Irama. Lukisan Fadjar memadukan geometri dan sifat-sifat organik (hayat). Kita melihat raut-raut geometrik mati, tetapi juga, dengan sedikit berkhayal, makhluk hidup: hewan dengan kepala, mata, dan tanduk atau telinga. Kesederhanaan lukisan Fadjar menyelubungi makna ganda, kerancuan, sifat liris dan khayali. Kita bersua dengan penerima Anugerah Seni 1969 (Affandi), 1971 (Suparto, Fadjar Sidik, Srihadi), 1972 (Widayat), 1980 (Popo Iskandar), 1984 (Abas Alibasyah), dan 1984 (Pirous). Adapun para pelukis yang mengiringi pameran mereka kebanyakan muda-muda, umur sekitar 30. Yang mencolok ialah kelompok yang telah kita sebutkan sebagai pendukung "arus baru" (TEMPO, 5 Desember 1987). Mereka adalah Dede Eri Supria (32), Agus Kamal (32), I Gusti Nengah Nurata (32), Sutjipto Adi (31), Ivan Sagito (31), Effendi (31), dan Lucia Hartini (29). Kunci seni lukis mereka bukan palitan melainkan citra yang terbayang dalam lukisan. Yang terbayang tentu saja obyek-obyek. Dan mereka bekerja tekun untuk menampilkan citra segi-segi fisik seperti massa, volume, ruang trimatra, serta sinar dan bayangan. Bukan mereka pergi ke realisme atau naturalisme. Sebab, citra itu selalu mengandung keanehan, keganjilan, atau keajaiban. Dalam lukisan mereka terdapat gabungan antara unsur-unsur yang bersirangan, yaitu unsur-unsur yang dalam pengalaman normal bukan merupakan pasangan. Badan boneka atau patung dan kepala manusia (Effendi), pohon dan cakar atau mata binatang (Nurata), benda angkasa dan permukaan yang berkerut-kerut otak atau usus (Hartini), untuk menyebut beberapa misal. Kemustahilan gabungan ataupaduan terjadi, atau ditempatkan, dalam "realisme" citra, seakan hendak memperbesar efek keanehan atau keajaiban. "Bahasa" atau gaya demikian dipergunakan untuk mengungkapkan bermacam pengalaman, tema, atau maksud: dari sosial (Dede) hingga spiritual (Sutjipto Adi, Nurata), melewati perkara psikologis (Effendi) dan ketakjuban serta kegentaran akan alam (Hartini), kalau saja para pelukis itu tidak memperumit pengelompokan. Dalam hal gabungan atau paduan sirang ada hubungannya dengan mereka, tetapi berbeda dalam segi-segi gaya lainnya, adalah dua orang pelukis lebih tua yang juga serta dalam pameran: Made Wianta (39) dan Suatmaji (36). Ada "pelukis palit": Acep Zamzam Noor (28) dan Diyanto (26). Agaknya mereka hendak mendorong seni lukis macam ini lebih jauh ke ujung. Palitan jadi dominan, memporak-porandakan citra (Acep) atau mengaburkannya (Diyanto). Ada "pelukis barik" yang tampakya belum mejelajahi bermacam fungsi yang dapat dilakukan barik dalam lukisan: Agus Burhan (28), dan Alexanri Luthfi (30). Ada Harjiman (34) yang dekoratif dan merindukan kehidupan desa. Lalu harus ditambahkan 2 orang pelukis dari Pengosekan, Bali: I Dewa Putu Sena (30) dan I Dewa Nyoman Batuan (51). "Pameran Lukisan 8 Pelukis Penerima Anugerah Seni Dan 17 Pelukis" diselenggarakan oleh Direktorat Kesenian di Gedung Pameran Seni Rupa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 11-17 Januari. Ramuan yang cukup beragam dalam sebuah pameran yang tidak terbilang besar. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini