SEBELUM hujan AIDS menyiram, Yogyakarta buru-buru cari payung pengaman. Maklum, program pariwisata "Visit Indonesia", yang berlangsung tahun depan, bukan cuma diharap mendatangkan rahmat masuknya devisa. Sebab, kalau tak jeli bahkan mengundang virus AIDS berbiak. Ingat yang menimpa Muangthai: sektor pariwisata kemudian berubah menjadi pintu gerbang menyebarnya bala AIDS. Inilah yang dikhawatirkan Yogyakarta. Sebagai salah satu kota tujuan wisata yang setiap tahun dikunjungi ribuan turis asing, tidak mustahil Yogyakarta luput dari bahaya menyebarnya virus celaka itu. Namun, menurut Dr. H. Prastowo Mardjikoen, Kepala Laboratorium UPF Obstetri-Ginekologi FK U- niversitas Gadjah Mada dan RSUP Dr. Sardjito, hingga saat ini belum ada laporan tentang penderita AIDS di Yogyakarta. Walau demikian, para ahli kesehatan di sana bersepakat: harus tetap waspada. Untuk menghadapi banjirnya wisatawan tahun 1991, IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat In- donesia) Cabang Yogya, di RSU Dr. Sardiito. Senin dan Selasa pekan lalu, menyelenggarakan seminar-lokakarya (semiloka) "Kewaspadaan untuk Mencegah AIDS". Semiloka ini, kata dr. Duljachman, Ketua Umum IAKMI di kota itu, untuk menyampaikan pesan edukatif dan informatif. Secara umum, kelompok seksual aktif (usia 20-50 tahun) punya risiko tertular. Alasan: 60-75% penularan AIDS terjadi melalui kontak seksual, khususnya hubungan seks sejenis (homoseksual). Jadi, ujar Dr. H. Prastowo Mardjikoen, "Tak heran kalau AIDS di Eropa Barat dinamakan sebagai Lover's Disease." Bisa dibayangkan betapa repotnya menerima banjiran turis asing yang umumnya dari Amerika dan Eropa Barat. Sebab, tahun 1991 di Amerika Serkat saja kasus AIDS diramalkan bakal bengkak menjadi 270 ribu. Eropa punya angka agak lebih rendah. Dari 27 negara di Eropa Barat, barulah Belgia, Denmark, dan Swiss yang punya angka tinggi. Di tiga negara ini sekitar 1,0-1,2 per 100 ribu penduduk sudah terjangkit AIDS. Kendati di seluruh dunia total kasus AIDS relatif belum besar, jumlah itu, kata Praswoto, ibarat puncak gunung es yang terapung di lautan. Apalagi sebagian besar penderita AIDS belum menampakkan dirinya secara nyata, sehingga sekarang angka yang sudah diketahui belum mencerminkan populasi AIDS sebenarnya. Kecuali, dilihat kemungkinan penularannya. Kini, diperkirakan sekitar 5-10 juta orang yang sudah terinfeksi virus penyebab AIDS. Pembawa virus HIV itu tampaknya sehat dan merasa sehat. Padahal, mereka tetap sangat potensial dalam menebarkan HIV -- atau virus AIDS -- ke mana-mana. Lalu mendarat di Indonesia? Menurut laporan Litbang Departemen Kesehatan, sampai saat ini baru ditemukan sembilan kasus AIDS kebanyakan orang asing. Beberapa malah turis. Jadi, jelaslah wisatawan adalah jembatan masuknya virus AIDS ke Indonesia. Karenanya, semiloka "Kewaspadaan untuk Mencegah AIDS" itu menyertakan pihak yang diduga berkaitan dengan penyebaran AIDS. Misalnya petugas hotel, kaum homoseks, pelacur, perawat, dan dokter. "Mereka yang dapat membantu mencegah penularan AIDS, khususnya yang bersumber dari turis," ujar dr. Duljachman. Memang, edukasi dalam memberantas AIDS sangat penting. Apalagi hingga saat ini belum ditemukan obat pembunuh virus AIDS. Maka, tak berlebihan kalau WHO mengeluarkan pernyataan: satu-satunya vaksin AIDS sekarang adalah pendidikan. "Penyebaran AIDS saat ini adalah dilema medis global," kata Prastowo. Bila tidak sejak dini disiapkan penangkal, Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata kedua, setelah Bali, pada gilirannya bakal masuk dalam dilema ini. Untuk menghadapi kemungkinan penularan, kini sudah disediakan laboratorium yang mampu mendeteksi jejak virus HIV. Laboratorium Kesehatan Daerah memiliki perangkat tes dengan metode ELISA -- walau hanya sensitif untuk pemeriksaan tahap awal. "Jika seseorang dinyatakan positif de-ngan metode ELISA, lebih lanjut masih perlu diperiksa, apakah dia sesungguhnya menderita AIDS," kata Prastowo. Untuk memperoleh hasil pasti, maka dilakukan tes lagi dengan metode yang lebih mantap, seperti Western Note Method (WNM) dan Immuno Blot Method (IBM). Kedua metode ini belum ada di Yogya, bahkan RSUP Dr. Sardjito tak memilikinya. Sementara ini, yang paling mungkin dilakukan untuk menghambat merebaknya AIDS di Yogyakarta, menurut dr. Dul- jachman, dengan menyebarkan informasi di jalur-jalur penularannya. Penyebaran informasi di lingkungan medis tak terlalu susah. Sebab, dokter dan perawat selalu ingat pada sesuatu yang menjadi kewajibannya. Yang menjadi problem besar adalah penerangan di luar lingkungan medis, seperti hotel, losmen, pelacur, pekerja panti pijat, dan pramuwisata. Problem dimaksud barusan segera terdengar. "Kami memang belum begitu tahu seluk-beluk AIDS dan cara penanggulanginya," ujar Drs. Saloko. Pemilik Losmen Prasta Jaya, Yogya, ini pantas tak berbuat banyak melindungi losmennya dari kemungkinan penularan AIDS. Umum tamunya tu- ris asing. "Di sini saya tak menyediakan kondom. Aparagi saya lihat bule-bule membawa kondom sendiri," tambah ayah empat anak itu. Padahal, penularan AIDS melalui wisatawan besar kemungkinan hinggap di Sosrowijayan -- tempat losmen Saloko berada. Sebab, di perkampungan Sosrowijayan dan Malioboro berkeliaran guide liar. Selain sebagai pemandu -- dan itu sudah rahasia umum -- mereka juga merangkap pelacur (pria dan wanita) yang menjajakan kelaminnya kepada turis asing. "Hubungan seks antara seorang guide dan turis asing yang wanita, biasanya, lebih banyak karena saling membutuhkan," ujar seorang pemilik losmen yang tak mau disebutkan namanya. Menurut dia, sekarang malah ada perkembangan baru. Seperti kehidupan guide di Bali, banyak guide pria di Yogya bersedia melayani kebutuhan seks turis asing yang sejenis. "Tentu dia dibayar," tambahnya. Karena bursa perkelaminan sudah demikian, maka tindakan untuk mewaspadai menularnya AIDS lewat sektor wisata di Yogya menjadi penting. Bukan hanyut memikirkan devisa melulu, tapi payung pengaman perlu cepat disediakan. Laporan Biro Yogya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini