JABANG bayi ditunggu lahir. Saat ibu menggeliat, dan mengerang, terdengar perintah pada anggota keluarganya atau tetangga dekat supaya dukun bayi dipanggil. Terutama di pe- desaan, tindakan ini lazim. Tradisi berkarat yang sudah berabad ini sampai sekarang masih menunjukkan besarnya peran dukun bayi. Kenyataan ini diungkapkan Dokter Ariawan Soejoenoes, 54 tahun, dari hasil penelitiannya tahun silam. Penelitian ahli kandungan pada Laboratorium obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, ini menjadi salah satu bahan dalam Simposium Perinatal yang diselenggarakan 9 Juni lalu oleh Perkumpulan Perinatologi Indonesia Cabang Jawa Tengah di Gedung Rimba Graha Semarang. Daerah penelitian Ariawan meliputi 50 kecamatan dan 220 desa yang diambilnya secara acak di 12 kabupaten -- semuanya di Jawa Tengah. Penelitian dilakukan dalam bentuk survei rumah tangga dan wawancara. Jumlah responden yang diwawancarai 704.314 orang dan rumah tangga yang disurvei meliputi 147.587. Berdasarkan perkiraan Ariawan, masih banyak persalinan d Jawa Tengah ditangani dukun bayi sehingga peranannya dalan menolong tugas mulia tersebut memang masih dominan. Karena itu, perannya tak bisa diabaikan begitu saja. Paling tidak, dalam waktu dekat ini mereka tetap berpengaruh, karena rumah sakil bersalin belum menjadi pilihan masyarakat untuk tempat melahirkan bayinya. Di provinsi ini ada 121 puskesmas dengan perawatan, 720 puskesmas biasa, 1150 puskesmas pembantu, 440 puskesmas keliling, dan 35 rumah sakit pemerintah. Dari hasil penelitian itu bahkan terungkap, masyarakat di desa kebanyakan memilih melahirkan di rumahnya masing-masing dengan bantuan dukun bayi. Sebanyak 94,6 persen melahirkan di rumah sendiri, 2,5 persen yang melahirkan di puskesmas, dan cuma 2,9% yang melahirkan di rumah sakit. Besarnya peranan dukun bayi dalam menangani persalinan memang didukung oleh pilihan masyarakat. Dari 94,6 persen wanita yang melahirkan di rumah sendiri 86,6 persen minta pertolongan pada dukun bayi. Sebagian besar di antaranya (71,9%) ditolong dukun bayi terlatih, dan 14,7% ditangani dukun bayi tidak terlatih. Hanya 13,2 persen yang ditangani tenaga medis. Menurut Ariawan, pilihan masyarakat pada dukun bayi sama sekali bukan disebabkan kurangnya sarana kesehatan, tenaga medis, dan paramedis profesional. "Melainkan karena dukun bayi punya karisma di mata masyarakat kita walau tidak memi- liki keahlian medis," ujar ahli obstetri sosial itu. Yang menarik, malah, pengetahuan kesehatan ibu-ibu hamil yang diteliti Ariawan itu terhitung lumayan. Kebanyakan meme- riksakan kandungan mereka ke lembaga puskesmas, rumah sakit, atau dokter meskipun tidak secara kontinu. Sebanyak 81,6 persen dari wanita hamil itu pernah memeriksakan kandungannya ke rumah sakit atau puskesmas. "Tapi ketika melahirkan mereka memilih dukun bayi untuk menolong persalinan," katanya. Pilihan tersebut bukan karena faktor ekonomi, misalnya tidak mampu membayar. Biaya melahirkan dengan pertolongan dokter atau bidan memang lebih mahal dibandingkan membayar upah dukun bayi. Tapi banyak di antara mereka sebenarnya mampu membayar dokter tetap saja pilih dukun bayi. Mengapa demikian? Masalah berobat rupanya sering berkait dengan kepercayaan pasien. Dari segi sosial-budaya dukun bayi punya ikatan kuat dengan masyarakatnya. Ia tak hanya menolong pada saat kelahiran saja, tapi juga memandikan bayinya, memberi jampi-jampi, sampa bayi itu besar. Ikatan sosial semacam itu tidak mungkin diberikan dokter dan bidan. "Sebab, dokter atau bidan menitikberatkan pelayanan medis, sementara dukun lebih banyak melakukan pelayanan sosial," tutur Ariawan. Ia tak hanya mengungkap peran dukun bayi. Penelitiannya juga mengukur tingkat kematian ibu dan bayi dalam persalinan yang dibantu sang dukun. Ternyata, tingkat kematian persalinan dengan dukun bayi relatif tinggi (60%) bila dibandingkan de- ngan persalinan yang ditolong dokter dan bidan. Sebanyak 32.% toh meninggal, walau dukun bayinya terlatih, dan 28 meninggal karena dukun bayi tidak terlatih. Sementara itu, kematian ibu yang melahirkan dengan pertolongan dokter dan bidan cuma 18%. Angka kematian bayi atau perinatal mortality, dalam penelitian itu, terungkap cuma 14,2, per 1.000. "Tapi khusus angka kematian bayi ini masih saya ragukan. Mestinya lebih besar," kata Ariawan Soejoenoes. Mengapa ia ragu pada hasil penelitian sendiri? "Kenyataan yang saya temui di lapangan masih banyak anggota masyarakat kita yang menyembunyikan kematian bayinya. Mereka agaknya menganggap kematian bayi itu hal biasa," ujarnya. Kendati demikian, kalau diamati secara keseluruhan, di Jawa Tengah kematian ibu dalam persalinan relatif kecil. Menurut Ariawan, ini berkaitan erat dengan keberhasilan pembangunan di segala bidang, khusus pembangunan bidang kesehatan masyarakat. Angka kematian ibu yang melahirkan di Jawa Tengah cuma 343 per 100 ribu. Angka nasional di akhir Pelita IV, 450 per 100 ribu. "Dan target pemerintah di Pelita V mendatang adalah menurunkan angka maternal mortality ini menjadi di bawah 350 per 100.000," kata Ariawan. Setelah teringat pada angka-angka itu, kemudian ia menganjurkan agar masyarakat tidak lagi bergantung pada dukun bayi. Antara lain mencari kemungkinan pola kerja sama tenaga medis dan paramedis di desa-desa dengan para dukun bayi. Di samping itu, menjadikan mereka mitra bidan dan dokter. Sebab, kalau melarang mereka berpraktek, hanya menimbulkan keresahan. "Saya percaya suatu ketika dukun bayi akan hilang dengan sendirinya," kata Ariawan. Heddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini