MENEMPATKAN satelit ke orbitnya, jauh di sana, di angkasa luar, kini bukan lagi soal yang sulit. Memang, masih ada kegagalan di sanasini, misalnya penempatan orbitnya tidak pas, tapi pada dasarnya teknologinya sudah dikuasai. Satelit orbit rendah, misalnya, paling berjarak 200-300 km dari permukaan bumi. Untuk menempatkan barang di sana, dia harus didorong dengan kecepatan paling tidak 11,2 km detik untuk arah vertikal, dan 7 km/detik untuk arah mendatar. Cara "tradisional" untuk melempar benda ke angkasa luar ialah dengan wahana roket. Tapi cara ini, seperti ditulis di majalah The Economist Mei lalu, terlalu boros. Sebagian besar energi roket justru terpakai untuk mengangkat roket itu sendiri ke angkasa. Alhasil, beban guna satelit yang dilempar ke orbit hanya boleh 1/50 dari berat roketnya. Orang pun berpaling ke pesawat ulang-alik, seperti si badai salju Buran (milik Uni Soviet) atau Columbia dan Atlantis (AS). Namun, program itu pun banyak dikritik: selain meng- hanguskan lapisan ozon di puncak atmosfer bumi (TEMPO, 9 Juni 1990), juga mahal biayanya. Gagasan paling mutakhir tentang teknik pelemparan benda ke angkasa luar adalah dengan perkakas semacam kanon. Jadi, benda itu dimasuk-kan ke dalam laras kanon. Lantas, sebuah "ledakan" akan melontarkan muatan tadi langsung ke orbit yang dimaksud. Konon, biayanya sangat murah: jauhdekat hanya US$ 100/kg. Ide itu sepintas berkesan naif dan mengadaada. Namun, kajian teoretis dan eksperimen mengatakan bahwa teknik itu merupakan jalan baru yang penuh harapan. Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa laras kanon itu sanggup melontarkan benda ke atas dengan akselerasi (percepatan) yang sangat tinggi. Masalah percepatan itu lazim diukur dalam satuan g. Satu, g nilainya setara dengan akselerasi akibat gravitasi persis di permukaan bumi. Untuk pesawat ulang-alik semacam Buran atau Atlantis, percepatan maksimum yang bisa diberikan 3,5 g. Di atas angka itu, para awak pesawat akan menderita. Akselerasi yang bisa diberikan kanon itu bisa mencapai 1-10. ribu g. Berbagai kanon eksperimen kini telah beroperasi di Amerika. Ada kanon dengan bahan peledak mesiu biasa. Kemampuannya melontarkan proyektil sekitar 3,5 km/detik. Ada pula kanon gas, dengan bahan peledak gas hidrogen. Prestasinya: 5-6 km/detik. Yang lebih canggih adalah ram cannon. Bahan peledaknya terdiri dari beberapa macam senyawa yang gampang meledak. Tipe ini telah dicoba di Universitas Washington di Seattle. Hasilnya: proyektil seberat 75 gram bisa dilontarkan dengan kecepatan lebih dari 2,5 km/detik. Akselerasi yang dicapainya konon bisa mencapai 30.000 g, tapi sayang hanya bekerja dalam tempo yang amat singkat. Di antara meriam-meriam itu, kanon listrik adalah jenis yang paling diharapkan. Kanon listrik ini pun ada dua macam, coil gun dan rail gun. Secara fisik keduanya berbeda, tapi cara kerjanya sama, yakni melontarkan proyektil dengan kekuatan medan magnet buatan. Prototipe mini meriam angkasa jenis coil (kumparan) itu telah usai dibikin di Sandia National Laboratory di New Mexico, AS. Di situ, laras kanon dibalut dengan kumparan kawat listrik. Agar tercapai arus dalam jumlah besar, energi listrik itu dikumpulkan dahulu dalam beberapa kondensator, yang sekaligus berfungsi sebagai bantalan laras. Di saat yang sama, proyektil yang hendak dilontarkan berada dalam kapsul yang juga dililit kumparan. Pada waktu sentakan listrik diberikan terhadap kumparan yang melilit laras, medan magnet yang kuat pun terbentuk. Dan berikutnya terjadilah reaksi berantai: timbul aliran listrik yang melalui kumparan proyektil, lantas kumparan tadi menghasilkan medan -magnet baru. Lantas, interaksi antara medan magnet pertama dan kedua akan melahirkan tenaga tolakan yang besar. Selanjutnya, proyektil itu mengalami percepatan sangat tinggi selama sepersekian detik. Teknik rail gun pun bersandar pada konsep serupa. Hanya saja di situ, laras kanon digantikan oleh dua buah rel. Satu rel dililit kumparan, digunakan untuk memproduksi medan magnet pertama. Rel kedua digunakan untuk lintasan proyektil. Seperti pada coil gun, proyektil di sini juga dimasukkan ke dalam kapsul yang "dibungkus" dengan kumparan. Coil cannon buatan Sandia Laboratory itu belum mencatat prestasi yang spektakuler. Pada satu uji coba, coil cannon dengan laras 80 cm sanggup mendatangkan tenaga pukulan sebesar 5,5 ton. Maka, proyektil seberat 5 kg bisa ditendangnya ke luar dengan kecepatan 335 m/detik. Tapi itu hanya prestasi awal. Proposal yang dibuat oleh para ahli di Sandia menyebutkan, mereka merencanakan membangun coil cannon yang bisa melontarkan beban satelit 0,5 ton ke orbit rendah. Biaya yang diperlukan seluruhnya mencapai US$ 2 milyar, sekitar Rp 3,6 trilyun. Namun, satelit tadi, menurut ahli-ahli Sandia, masih harus dilengkapi dengan motor kecil. Motor pendorong ini diperlukan pada detik-detik terakhir sebelum satelit sampai ke orbit yang dituju. Selain dimaksudkan untuk menggapai posisi orbit secara tepat, motor itu pun diperlukan agar satelit tak melorot ke bawah. Coil cannon kini harus bersaing dengan meriam gas buatan Lawrence Livermore National Laboratory, California. Meriam uji coba buatan Lawrence sanggup melemparkan proyektil seberat 5 kg dengan kecepatan 4 km/detik. Padahal, meriam gas itu jauh lebih murah daripada coil cannon. Lebih jauh lagi, ahli-ahli "meriam" Amerika itu menjanjikan, suatu saat nanti mereka akan sanggup membuat kanon dengan daya tendang yang sangat tinggi. Meriam jenis ini diperlukan untuk melemparkan limbah nuklir jauh ke angkasa. "Kalau perlu, sekaligus dilemparkan ke matahari," ujar seorang ahli di Lawrence Livermore. Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini